DIAGNOSIS : Temporo Mandibular Disorder (TMD)
Berikut tiga gejala
kardinal pada TMD menurut Scrivani dkk. (2008) dan kaitannya dengan kondisi
pasien :
-Nyeri pada wajah
Nyeri berlokasi
di sekitar TMJ namun dapat menyebar ke kepala, leher, dan telinga. Nyeri yang
terjadi di depan tragus telinga, telinga, pelipis, pipi, dan sepanjang
mandibula sangat menuju pada diagnosis TMD. Dalam kasus ini pasien mengeluhkan
nyeri yang dirasakan pada area pipi dan leher kanan-kiri serta sakit kepala
kronik. Nyeri deep, aching, dan constant tersebut merupakan
karakteristik dari TMD non-arthritik (Neville, dkk., 2002)
-Terbatasnya
fungsi mandibula
TMD dapat
berpengaruh pada pergerakan mandibula dari segala arah dan pergerakan mandibula
meningkatkan rasa nyeri yang dialami pasien. Terkait dengan ciri-ciri ini, pada
permeriksaan objektif ditemukan bahwa pembukaan
mandibula pasien melenceng ke sisi kanan saat membuka mulut dan terdapat rasa sakit moderate hingga severe jika mandibula digerakkan.
-Terdapatnya
suara pada TMJ
Bunyi ‘click’ dan suara sendi lain umum terjadi
pada pasien TMD, sama seperti kondisi pasien yang memiliki riwayat clickling.
Berdasarkan
analisis kasus, etiologi yang mungkin menyebabkan TMD pada pasien adalah
kondisi bilateral upper & lower edentulous. Pasien dengan
hilangnya gigi akan mengalami overclosing
rahang yang kemudian akan
menyebabkan terganggunya fungsi TMJ dan timbulnya orofacial pain (Scrivani dkk., 2008). Terkait dengan
kondisi pasien, hasil pemeriksaan
radiologi menunjukkan posisi condylus posterior
di interkuspal, hal ini menggambarkan bahwa terdapat abnormalitas pada posisi condylus mandibula sehingga fungsi TMJ
menjadi terganggu.
Meskipun TMD merupakan
penyebab yang umum dari terjadinya nyeri kraniofasial, penting bagi dokter untuk
menganalisis riwayat pasien secara komprehensif, melakukan pemeriksaan fisik
dengan hati-hati, serta memiliki ilmu mengenai differential diagnosis yang memadai dalam penentuan diagnosis
(Scrivani, 2008). Differential diagnosis dari
TMD pada kasus ini di antaranya orofacial
pain karena karies, gangguan kelenjar saliva, serta sindrom sakit kepala
primer dan sekunder.
Selain TMD
terdapat masalah lain yang terdapat pada
pasien yaitu Kaposi’s Sarcoma, oropharyngeal candidiasis, dan karies gigi. Berikut merupakan penjelasan
dari masalah-masalah tersebut:
1.
Kaposi’s Sarcoma
Kaposi’s sarcoma merupakan neoplasma vaskuler yang umum
terjadi pada pasien yang terinfeksi virus HIV. Kaposi’s sarcoma pada kulit dan mukosa tampak sebagai makula, plak,
atau nodul berwarna ungu kebiruan dan tumbuh dengan lambat (Neville, dkk.,
2002). Ciri-ciri ini sesuai dengan hasil pemeriksaan intra oral pasien yaitu terdapat benjolan sessile berwarna
merah kebiruan dengan diameter 1 cm.
2.
Oropharyngeal Candidiasis
Oropharyngeal candidiasis merupakan infeksi fungal opurtunistik
paling sering terjadi pada pasien positif HIV. Saat ini diperkirakan bahwa
sekitar 80-90% pasien yang mengidap HIV memiliki oropharyngeal candidiasis yang berkembang seiring dengan berkembangnya infeksi ini menjadi AIDS. Oropharyngeal candidiasis yang terjadi
pada penderita HIV terjadi karena rendahnya mekanisme pertahanan tubuh pasien
(Vazquez, 2010).
Gejala
yang menyertai penyakit ini sangat bervariasi dari mulai asimtomatik, nyeri
pada mulut, rasa terbakar pada lidah, hingga disfagia). Tanda klinis penyakit
ini mencakup patch eritem atau putih
yang difus pada permukaan mukosa bukal, faring, lidah, dan gusi (Vazquez,
2010). Hal ini sesuai dengan hasil pemeriksaan intra oral pasien berupa lesi
putih di seluruh mukosa mulut yang menyebar ke faring serta keluhan nyeri mulut
yang dirasakan pasien.
Menurut Vazquez
(2010) oropharyngeal candidiasis yang
parah dapat mengganggu kualitas hidup pasien yaitu mengurangi asupan cairan dan
makanan,, hal tersebut dapat memperparah kondisi asthenia yang dialami pasien.
3.
Karies
Gigi
Karies
gigi ditemukan pada pemeriksaan intra
oral dan radiografi pasien sebagai
gambaran radiolusens pada seluruh gigi pasien yang tinggal. Karies pada pasien
merupakan dampak dari hiposalivasi yang terjadi karena efek terapi HAART. Analisis oleh Navazesh, dkk. (2009)
menunjukkan bahwa terapi HAART sangat terkait dengan berkurangnya aliran saliva
terstimulasi dan tidak terstimulasi pasien.
Hal ini didukung oleh penelitian Nittayananta, dkk. (2010) yang menyatakan
bahwa aliran saliva terstimulasi dan tidak terstimulasi pada pasien HIV dengan
perawatan HAART lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak menerima perawatan
HAART. Kaitan antara berkurangnya aliran saliva dengan terapi HAART inilah yang
menjadi faktor peningkatan terjadinya karies gigi (Navazesh, dkk., 2003).
Berkurangnya
aliran saliva dapat menyebabkan turunnya pH dalam mulut dari 7,0 menjadi 5,0
yang terhitung kariogenik. Selain itu
hal ini juga menyebabkan berkurangnya pembersihan gigi oleh saliva sehingga
membawa perubahan pada flora dalam mulut pasien yaitu meningkatnya jumlah
mikroorganisme asidogenik dan kariogenik (Kielbassa, 2004).
Source:
Kielbassa,
A. M., 2004, Radiotherapy of the Head and
Neck. Implication for Dentist, Ear-Nose-Throat Physician, and Radiologist,
Schlutersche, Hannover
Navazesh
M., dkk., 2003, A 4-Year Longitudinal Evaluation of Xerostomia and Salivary
Gland Hypofunction in the Women’s Interagency HIV Study Participants, Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral RAdiol
Endod 95: 693-8
Navazesh
M., dkk., 2009, Effect on HAART on Salivary Gland in Women’s Interagency HIV
Study (WIHS), Oral Dis. January 15
(1): 52-60
Neville,
B.W. dkk., 2002, Oral and Maxillofacial
Pathology, second edition, W.B Saunders Company, Philadelphia
Nittayananta,
W. dkk., 2010, Effects of Long-term Use of HAART on Oral Health Status of
HIV-infected Subjects, J Oral Pathol Med 39:
397-406
Scrivani,
S. dkk., 2008, Temporomandibular Disorders, N
Engl J Med 359: 2693-2705
Vazquez,
J.A., 2010, Optimal Management of Oropharyngeal and Esophageal Candidiasis in
Patients Living with HIV Infection, HIV-AIDS-
Research and Palliative Care 2:89-101
Comments
Post a Comment