CLEFT PALATE (PALATOSKISIS)

BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang

Kepala dan leher dibentuk oleh beberapa tonjolan dan lengkungan, antara lain prosesus frontonasalis, prosesus nasalis medialis dan lateralis, prosesus maxillaris dan prosesus mandibularis (Kummer, 2008). Menurut Brooker (2008), kegagalan penyatuan prosesus maxilla dan prosesus nasalis media akan menimbulkan celah pada bibir atau labioskisis yang terjadi unilateral atau bilateral. Bila prosesus nasalis media, bagian yang membentuk dua segmen antara maksila gagal menyatu maka terjadi celah pada atap mulut yang disebut palatoskisis.
Cleft palate atau palatoskisis merupakan kelainan kongenital pada wajah dimana palatum tidak berkembang secara normal selama masa kehamilan yang menyebabkan terbukanya palatum sampai ke kavitas nasal sehingga terbentuk hubungan antara rongga hidung dan mulut. Kelainan ini terjadi karena gangguan pada kehamilan trimester pertama yang menyebabkan terganggunya proses tumbuh kembang janin. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kelainan ini adalah akibat kekurangan nutrisi, obat-obatan, infeksi virus, radiasi, stres pada masa kehamilan, trauma dan faktor genetik (Siampa, 2013).
Palatoskisis dapat meluas dari bagian depan mulut ke arah tenggorokan dan seringkali juga melibatkan bibir. Palatoskisis dapat merupakan satu-satunya kelainan, dapat juga berhuhubungan dengan labioskisis atau sindroma lain (Siampa, 2013). Pada beberapa kasus, apabila salah satu anggota keluarga menderita palatoskisis maka anggota keluarga lain juga memiliki kemungkinan menderita palatoskisis ketika lahir (Beaty dkk, 2011).

Menurut Leonard dan Brust (1991) dan Howard dan Lohmander (2011), palatoskisis dapat menimbulkan berbagai gangguan pada penderita. Gangguan pada penderita palatoskisis ini sudah muncul sejak lahir. Adanya celah akan membuat kesulitan dalam minum, gangguan pada penampilan, gangguan bicara, serta gangguan psikis baik pada penderita dan keluarga. Maka dari itu dibutuhkan suatu perawatan khusus pada penderita palatoskisis.


BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Palatoskisis adalah celah pada palatum yang terjadi akibat kegagalan penyatuan palatum yang mempengaruhi baik jaringan lunak, komponen tulang bagian atas, alveolar ridge, serta palatum keras dan lunak (Hayward, 1968). Insidensi terjadinya palatoskisis sekitar 1:1000 kelahiran. Insidensi tertinggi kelainan ini terdapat pada orang Asia dan terendah pada orang kulit hitam. (Behrman, dkk., 1999). Palatoskisis lebih sering terjadi pada perempuan dan semakin parah kondisi palatoskisisnya, predileksi pada perempuan semakin tinggi. Kelainan dapat melibatkan palatum keras dan palatum lunak atau hanya palatum lunak (Neville, dkk., 2002).
Menurut sistem Veau, palatoskisis dapat dibagi dalam empat tipe klinis, yaitu :
Kelas I Kelas II
Kelas III
: celah yang terbatas pada palatum lunak
: celah pada palatum keras dan lunak, meluas tidak melampaui foramen

insisivum dan terbatas hanya pada palatum sekunder.
: celah pada palatum sekunder dapat komplit atau tidak komplit. Celah palatum

komplit meliputi palatum lunak dan keras sampai foramen insisivum. Celah tidak komplit meliputi palatum lunak dan bagian palatum keras, tetapi tidak meluas sampai foramen insisivum. Celah unilateral yang komplit dan meluas dari uvula sampai foramen insisivum di garis tengah dan prosesus alveolaris unilateral juga termasuk kelas III.
Kelas IV : celah bilateral komplit meliputi palatum lunak dan keras serta prosesus alveolaris pada kedua sisi premaksila.

Kernahan dan Stark mengklasifikasikan labio dan palatoskisis ke dalam bentuk skema yang kemudian disebut stripped Y. Pada klasifikasi ini lengan Y mewakili palatum primer (bibir dan prosesus alveolaris sampai dengan foramen insisivum) dan batang Y mewakili palatum sekunder (palatum lunak sampai dengan foramen insisivum). Foramen insisivum digambarkan dengan lingkaran kecil pada pertemuan antaran lengan dan batang Y. Bagian 1-3 pada lengan kanan dan 4-6 pada lengan kiri mewakili bibir, alveolus, dan area dari prosesus alveolaris sampai dengan foramen insisivum. Bagian 7-8 mewakili palatum keras sedangkan bagian 9 mewakili palatum lunak

Pada gambaran radiografis, palatoskisis terlihat sebagai gambaran radiolusen atau yang memisahkan tulang palatum yang terkena (Janti, 2009).

Dengan kemajuan teknologi dan peralatan resolusi ultrasonik saat ini, malformasi craniofacial pada fetus dapat teridentifikasi. Diagnosis palatoskisis ultrasonic prenatal pertama kali dilaporkan pada tahun 1981 (Christ dan Meininger, 1981). Fakta bahwa deteksi prenatal palatoskisis yang rendah (0-1,4%) menunjukkan bahwa tidak ada indikator Ultrasonografi (USG) yang memuaskan untuk mendeteksi palatoskisis. Karena bentuknya yang seperti kubah dan struktur osseous di sekitarnya menyebabkan palatum tidak dapat divisulisasikan secara menyeluruh dan jelas dengan USG 2D (Wilhelm dan Borgers, 2010)
Palatoskisis selalu dimulai dari uvula oleh karena itu keberadaan uvula dalam gambaran USG menjadi sangat penting. Uvula yang terlihat menandakan tidak ada kelainan pada palatum, sebaliknya jika terdeteksi kelainan pada uvula atau bahkan uvula tidak terlihat sama sekali mengindikasikan terdapat defek pada palatum (Wilhelm dan Borgers, 2010).

BAB III PEMBAHASAN
3.1. Etiologi dan Patogenesis a. Etiologi
Pada tahun 1963, Falconer mengemukakan suatu teori bahwa etiologi palatoskisis bersifat multifaktorial dimana pembentukan celah pada palatum berhubungan dengan faktor herediter dan faktor lingkungan yang terlibat dalam pertumbuhan dan perkembangan prosesus (Tozun dkk., 2003). Hal-hal yang dapat menyebabkan terhentinya proses pertumbuhan palatum ini antara lain:
1.Faktor herediter
Faktor herediter merupakan penyebab tertinggi terjadinya palatoskisis. Setiap

individu merupakan pembawa gen yang bertanggung jawab terhadap kelainan ini, namun dengan jumlah yang berbeda-beda. Ketika jumlah ini melebihi nilai threshold atau nilai ambang maka palatoskisis akan terjadi (Bailoor dan Nagesh, 2005). Pada celah palatum yang diakibatkan oleh faktor herediter terjadi mutasi pada faktor transkripsi yang menyandi (encoding) gen p63 dan interferon regulatory factor (IRF6) (Acton, 2012). Menurut Tozun dkk. (2003), sekitar 25% pasien yang menderita palatoskisis memiliki riwayat keluarga yang menderita penyakit yang sama. Orang tua dengan palatoskisis mempunyai resiko lebih tinggi untuk memiliki anak dengan palatoskisis.

2.Obat-obatan
Obat-obatan yang dikonsumsi oleh ibu seperti
phenytoin, valproic acid, retinoid dan
thalidomine dapat mengakibatkan kelainan palatoskisis pada bayi yang dikandung. Hal ini dikarenakan obat-obatan tersebut bersifat teratogenik sehingga dapat mengakibatkan terjadinya mutasi pada gen yang bertanggungjawab terhadap munculnya kelainan ini (Bailoor dan Nagesh, 2005).

3.Kebiasaan merokok dan minum minuman beralkohol
Merokok dan minuman beralkohol dapat menyebabkan kondisi hipoksia. Kondisi

hipoksia ini akan mempengaruhi aktivitas katalitik gen PHF8 yang merupakan penyebab langsung terjadinya celah pada palatum (Loenarz dkk., 2009).

4.Trauma
Trauma mekanis dapat mengakibatkan kerusakan jaringan vaskular pada

embriogenesis. Apabila kerusakan vaskular terjadi pada daerah pertumbuhan palatum maka kondisi ini akan mengakibatkan kurangnya suplai oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan untuk proses pertumbuhan palatum janin tersebut (Bailoor dan Nagesh, 2005).

5.Infeksi
Infeksi di trimester pertama seperti infeksi rubella dan
cytomegalovirus dihubungkan
dengan terbentuknya celah palatum walaupun dengan kemungkinan yang sedikit (Bailoor dan Nagesh, 2005).
b. Patogenesis
Jaringan-jaringan wajah, termasuk didalamnya bibir dan palatum berasal dari migrasi,

penetrasi, dan penyatuan mesenkimal dari sel-sel cranioneural. Ketiga penonjolan utama pada wajah (hidung, bibir, palatum) secara embriologi berasal dari penyatuan prosesus fasialis bilateral (Tozun dkk., 2003).
Embriogenesis palatum dapat dibagi dalam dua fase terpisah yaitu pembentukan palatum primer yang akan diikuti dengan pembentukan palatum sekunder. Pertumbuhan palatum dimulai kira-kira pada hari ke-35 kehamilan atau minggu ke-4 kehamilan yang ditandai dengan pembentukan prosesus fasialis. Penyatuan prosesus nasalis medialis dengan prosesus maksilaris, dilanjutkan dengan penyatuan prosesus nasalis lateralis dengan prosesus nasalis medialis, menyempurnakan pembentukan palatum primer. Kegagalan atau kerusakan yang terjadi pada proses penyatuan prosesus ini menyebabkan terbentuknya celah pada palatum primer (Yuzuriha et al., 2008).
Pembentukan palatum sekunder dimulai setelah palatum primer terbentuk sempurna, kira-kira minggu ke-9 kehamilan. Palatum sekunder terbentuk dari sisi bilateral yang berkembang dari bagian medial dari prosesus maksilaris. Kemudian kedua sisi ini akan bertemu di midline dengan terangkatnya sisi ini. Ketika sisi tersebut berkembang kearah superior, proses penyatuan dimulai. Kegagalan penyatuan ini akan menyebabkan terbentuknya celah pada palatum sekunder (Yuzuriha dkk., 2008)
Tahap penting dalam pembentukan bibir, palatum, hidung dan rahang, terjadi pada 9 minggu pertama kehidupan embrio. Mulai sekitar minggu kelima umur kehamilan, prosesus maksilaris tubuh kearah anterior dan medial, dan menyatu dengan pembentukan prosesus fronto nasal pada dua titik tepat dibawah lubang hidung dan membentuk bibir atas. Sementara itu palatum dibentuk oleh proses prosesus palatal dari prosesus maksilaris yang
tumbuh kearah medial untuk bergabung dengan septum nasalis pada garis tengah, kira kira pada umur kehamilan 9 minggu (Underwood, 1994).
Kegagalan pada proses yang kompleks ini dapat terjadi dimanapun pada tahap pembentukannya, yang akan menghasilkan celah kecil sampai kelainan bentuk wajah. Ada kemungkinan yang terkena bibir saja atau dapat meluas sampai kelubang hidung, atau mengenai maksila dan gigi. Kelainan celah palatum yang paling ringan hanya melibatkan uvula atau bagian lunak palatum. Celah bibir dan palatum bisa terjadi secara terpisah atau bersama- sama (Underwood, 1994).
Minggu ke 5-7
Minggu ke 5-7
3.2. Gangguan yang Diakibatkan Palatoskisis
Palatoskisis dapat mengakibatkan gangguan pada fungsi bicara, penguyahan dan menelan. Palatoskisis juga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan rahang, erupsi dan susunan oklusi gigi (Schwartz, 1983). Penderita palatoskisis mengalami gangguan bahkan gagal dalam menjalankan fungsi artikulasi. Gangguan artikulasi akibat palatoskisis ini selanjutnya mengakibatkan gangguan pada organ atau fungsi pembentukan suara dan proses bicara dan timbul kebiasaan buruk yang menetap pada penderita saat menjalankan fungsi organ-organ pembentuk suara. (Morrison, 1985). Selain itu menurut Cooper (1979) masalah yang sering terjadi pada penderita palatoskisis adalah penampilan yang kurang normal, karies gigi, oklusi dan bicara buruk, infeksi teling tengah, masalah psikologi dan ketakutan pada pola keturunan.
Kejelasan suara sering menjadi ukuran penilaian yang mempengaruhi penerimaan dalam komunikasi seseorang karena merupakan bagian yang bermakna untuk kelancaran komunikasi seseorang sehingga dapat dipahami. Jika terjadi suara sengau akan mengakibatkan dampak psikologis dan mempengaruhi diri penderita (Munardyansih, 1996). Dalam berbahasa dan berbicara seseorang dapat mengalami kesalahan atau kelainan. Salah satu faktor yang dapat menjadi dasar untuk mengidentifikasi kelainan sistem bicara atau kelainan perilaku komunikasi adalah perkembangan artikulasi (pengucapan) yaitu perkembangan kemampuan untuk memproduksi bunyi-bunyi bahasa yang dipergunakan untuk mengekspresikan secara verbal (Cameron dan Widmer, 1995 dan Setyono, 2000).
Kesalahan dalam proses produksi bunyi bahasa dapat menyebabkan kesalahan pengucapan fonem, baik dalam segi penempatan artikulasi maupun dalam segi cara pengucapan, sehingga menyebabkan penderita dapat melakukan kelainan pengucapan berupa ketidak jelasan (distorsi) dan penggantian (substitusi) huruf yang diucapkan menjadi huruf yang lain (Setyono, 2000).

BAB IV KESIMPULAN
Palatoskisis adalah kelainan kongenital pada wajah dimana palatum tidak berkembang secara normal. Penyebabnya adalah gangguan pada kehamilan trimester pertama yang menyebabkan terganggunya proses tumbuh kembang janin. Etiologi palatoskisis adalah multifaktorial. Diagnosis palatoskisis dapat dilakukan prenatal namun biasanya jarang dilakukan dan baru diketahui setelah bayi lahir. Gangguan yang dapat muncul karena palatoskisis di antaranya adalah fungsi bicara, penguyahan dan menelan, oklusi dan psikologis.

DAFTAR PUSTAKA
Acton, Q.A., 2012, Insight for the Healthcare Professionals, Scholarly Editions, Atlanta, h.19. Bailoor, D.N., dan Nagesh, K.S., 2005, Fundamentals of Oral Medicine and Radiology,
Jaypee, New Delhi, h.100.
Beaty, TH., Ruczinski, I., Murray, JC.. 2011. Evidence for Gene-Environment Interaction in A

Genome Wide Study of Isolated, Non-Syndromic Cleft Palate. Gene Epidemol., 35(6):
469-78.
Behrman, RE., Kliegman, RM., dan Arvin, A.M., 1999,
Ilmu Kesehatan Anak Vol. 2 Ed. 15
(terj.), EGC, Jakarta, h. 1282
Brooker, C.. 2008.
Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta: EGC.
Cameron A C and Widmer RP. 1995.
Handbook of Pediatric Dentistry. Mosby Elseiver:
Philadelphia
Christ, J. E., Meininger, M. G. 1981. Ultrasound diagnosis of cleft lip and cleft palate before

birth. Plast Reconstruct : 68
Cooper H K, Harding R L, Krogman W H. 1979. Cleft Palate and Cleft Lip: A Team Approach to Clinical Management and Rehabilitation to Patient. W B Saunders Co: Philadelphia Friedman, IH., Sayetta, BR., Coston, NG. dan Hussey, RJ. 1991. Symbolic Representation of
Cleft Lip and Palate. Cleft Palate-Craniofacial Journal. 28(3): 252-260.
Hayward, J.R., 1968, Cleft lip and cleft palate. in: Kruger GO, eds.
Textbook of oral surgery.
3rd, The CV Mosby Company, Ed. Saint Louis, h.386-91
Howard, S. dan Lohmander, A.. 2011
. Cleft Palate Speech: Assessment and Intervention. UK:
John Wiley & Sons Ltd. http://www.scielo.br/img/revistas/jaos/v15n3/a09f01.jpg diakses 24-11-2013.
Janti, S. Gangguan Tumbuh Kembang Dentokraniofasial. Indonesia, Jakarta : EGC. 2009.
Kummer, AW. 2008. Cleft Palate & Craniofacial Anomalies, 2nd ed.: Effects on Speech and Resonance. USA: Thomson Delmar Learning.
Leonard, BJ. dan Brust, JD.. 1991. Self-concept of Children and Adolescents with Cleft Lip and/or Palate. Cleft Palate Craniofac. J., 28(4): 347-53.
Loenarz, C., Ge, W., Coleman, M.L., Rose, N.R., Cooper, C.D.O., Klose, R.J., Ratcliffe, P.J., Schofield, C.J., 2009, PHF8 : A Gene Associated With Cleft Lip/Palate and Mental Retardation, Hum. Mol. Genet, 19 (2): 21722.

Morrison G, et al,. 1985. The incidence of cleft lip and palate in the Western Cape. S Afr Med J. 68:576577.
Munardyansih. 1996. Penanganan psikologis pada penderita celah bibir dan/ celah langit- langit. Seminar Penanganan Komprehensif Kasus Celah Bibir dan Langit-langit di RSAB Harapan Kita: kumpulan makalah, Jakarta, 9-10 Des 1996
Neville, WB., Damm, DD. Allen, MC., dan Bouquot, EJ. 2002. Oral and Maxillofacial Pathology. W.B. Saunders Company: Philadelphia.
Schwartz J H. 1983. Premaxillary-maxillary suture asymmetry in a Juenile Gorilla: Implications for understanding Dentofacial Growth and Development. Folia Primatol(Basel) 40: 69-82
Setyono, Bambang. 2000. Terapi Wicara Untuk Praktisi Pendidikan dan Kesehatan. EGC: Jakarta
Siampa,VN..2013.CleftPalate (Palatoschisis). http://www.scribd.com/doc/126212860/Vindy- Nugraha-Siampa, diakses: 24-11-2013.
Tozun Z, Hoşnuter M, Sentürk S, Savaci N (2003). “Reconstruction of microform cleft lip”. Scand J Plast Reconstr Surg Hand Surg 37 (4): 2325.
Underwood, J. C. E., 1994, Patologi Umum dan Sistematik Vol 1 Ed. 2 (terj.), EGC, Jakarta, h.112.
Wilhelm, L. dan Borgers, H. 2010. The ‘Equals Sign’: a Novel Marker in the Diagnosis of Fetal Isolated Cleft Palate. Ultrasound Obstet Gynecol. 36: 439-444.
Yuzuriha S, Mulliken JB (November 2008). “Minor-form, microform, and mini- microform cleft lip: anatomical features, operative techniques, and revisions”. Plast. Reconstr. Surg.122 (5): 148593. 

Comments

Popular posts from this blog

KUMPULAN SOAL OSCE, PRETEST, DAN UKMP PART 2

KUMPULAN SOAL CBT, OSCE, UKMP, PRETEST PART 12