HIV/AIDS


1.     AIDS/HIV
AIDS atau Sindrom Kehilangan Kekebalan tubuh adalah sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia seesudah system kekebalannya dirusak oleh virus HIV. Akibat kehilangan kekebalan tubuh, penderita AIDS mudah terkena bebrbagai jenis infeksi bakteri, jamur, parasit, dan virus tertentu yang bersifat oportunistik. Selain itu penderita AIDS sering kali menderita keganasan,khususnya sarcoma Kaposi dan imfoma yang hanya menyerang otak. Virus HIV adalah retrovirus yang termasuk dalam family lentivirus. Retrovirus mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA pejamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selam periode inkubasi yang panjang. Seperti retrovirus yang lain, HIV menginfeksi tubuh dengan periode imkubasi yang panjang (klinik-laten), dan utamanya menyebabkan munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan beberapa kerusakan system imun dan menghancurkannya. Hal tersebut terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasi diri. Dalam prose itu, virus tersebut menghancurkan CD4dan limfosit.
Secara structural morfologinya, bentuk HIV terdiri atas sebuah silinder yang dikelilingi pembungkus lemak yang melingkar-melebar. Pada pusat lingkaran terdapat untaian RNA. HIV mempunyai 3 gen yang merupakan komponen funsional dan structural. Tiga gen tersebut yaitugagpol, dan envGag berarti group antigen, pol mewakili polymerase, dan env adalah kepanjangan dari envelope (Hoffmann, Rockhstroh, Kamps,2006). Gen gag mengode protein inti. Gen pol mengode enzim reverse transcriptase, protease, integrase. Gen env mengode komponen structural HIV yang dikenal dengan glikoprotein. Gen lain yang ada dan juga penting dalam replikasi virus, yaitu : rev, nef, vif, vpu, dan vpr.


Siklus Hidup  HIV
Sel pejamu yang terinfeksi oleh HIV memiliki waktu hidup sangat pendek; hal ini berarti HIV secara terus-menerus menggunakan sel pejamu baru untuk mereplikasi diri. Sebanyak 10 milyar virus dihasilkan setiap harinya. Serangan pertama HIV akan tertangkap oleh sel dendrite pada membrane mukosa dan kulit pada 24 jam pertama setelah paparan. Sel yang terinfeksi tersebut akan membuat jalur ke nodus limfa dan kadang-kadang ke pembuluh darah perifer selama 5 hari setelah papran, dimana replikasi virus menjadi semakin cepat.
Siklus hidup HIV dapat dibagi menjadi 5 fase, yaitu :
·         Masuk dan mengikat
·         Reverse transkripstase
·         Replikasi
·         Budding
·         Maturasi


Tipe HIV
Ada 2 tipe HIV yang menyebabkan AIDS: HIV-1 dan HIV-2.
HIV-1 bermutasi lebih cepat karena reflikasi lebih cepat. Berbagai macam subtype dari HIV-1 telah d temukan dalam daerah geografis yang spesifik dan kelompok spesifik resiko tinggi
Individu dapat terinfeksi oleh subtipe yang berbeda. Berikut adalah subtipe HIV-1 dan distribusi geografisnya:
Sub tipe A: Afrika tengah
Sub tipe B: Amerika selatan,brasil,rusia,Thailand
Sub tipe C: Brasil,india,afrika selatan
Sub tipe D: Afrika tengah
Sub tipe E:Thailand,afrika tengah
Sub tipe F: Brasil,Rumania,Zaire
Sub tipe G: Zaire,gabon,Thailand
Sub tipe H: Zaire,gabon
Sub tipe O: Kamerun,gabon
Sub tipe C sekarang ini terhitung lebih dari separuh dari semua infeksi HIV baru d seluruh dunia

  Etiologi
HIV ialah retrovirus yang di sebut lymphadenopathy Associated virus (LAV) atau human T-cell leukemia virus 111  (HTLV-111) yang juga di sebut human T-cell lymphotrophic virus (retrovirus) LAV di temukan oleh montagnier dkk. Pada tahun 1983 di prancis, sedangkan HTLV-111 di temukan oleh Gallo di amerika serikat pada tahun berikutnya. Virus yang sama ini ternyata banyak di temukan di afrika tengah. Sebuah penelitian pada 200 monyet hijau afrika,70% dalam darahnya mengandung virus tersebut tampa menimbulkan penyakit. Nama lain virus tersebut ialah HIV.
HIV terdiri atas HIV-1 dan HIV-2 terbanyak karena HIV-1 terdiri atas dua untaian RNA dalam inti protein yang di lindungi envelop lipid asal sel hospes.
Virus AIDS bersifat limpotropik khas dan mempunyai kemampuan untuk merusak sel darah putih spesifik yang di sebut limposit T-helper atau limposit pembawa factor T4 (CD4). Virus ini dapat mengakibatkan penurunan jumlah limposit T-helper secara progresif dan menimbulkan imunodefisiensi serta untuk selanjut terjadi infeksi sekunder atau oportunistik oleh kuman,jamur, virus dan parasit serta neoplasma. Sekali virus AIDS menginfeksi seseorang, maka virus tersebut akan berada dalam tubuh korban untuk seumur hidup. Badan penderita akan mengadakan reaksi terhapat invasi virus AIDS dengan jalan membentuk antibodi spesifik, yaitu antibodi HIV, yang agaknya tidak dapat menetralisasi virus tersebut dengan cara-cara yang biasa sehingga penderita tetap akan merupakan individu yang infektif dan merupakan bahaya yang dapat menularkan virusnya pada orang lain di sekelilingnya. Kebanyakan orang yang terinfeksi oleh virus AIDS hanya sedikit yang menderita sakit atau sama sekali tidak sakit, akan tetapi pada beberapa orang perjalanan sakit dapat berlangsung dan berkembang menjadi AIDS yang full-blown.
   Patofisiologi Virus HIV/AIDS
1.      Mekanisme system imun yang normal
Sistem imun melindungi tubuh dengan cara  mengenali bakteri atau virus yang masuk ke dalam tubuh, dan bereaksi terhadapnya. Ketika system imun melemah atau rusak oleh virus seperti virus HIV, tubuh akan lebih mudah terkena infeksi oportunistik. System imun terdiri atas organ dan jaringan limfoid, termasuk di dalamnya sumsum tulang, thymus, nodus limfa, limfa, tonsil, adenoid, appendix, darah, dan limfa.
o   Sel B
Fungsi utama sel B adalah sebagai imunitas antobodi humoral. Masing-masing sel B mampu mengenali antigen spesifik dan mempunyai kemampuan untuk mensekresi antibodi  spesifik. Antibody bekerja dengan cara membungkus antigen, membuat antigen lebih mudah untuk difagositosis (proses penelanan dan pencernaan antigen oleh leukosit dan makrofag. Atau dengan membungkus antigen dan memicu system komplemen (yang berhubungan dengan respon inflamasi).
o   Limfosit T
Limfosit T atau sel T mempunyai 2 fungsi utama yaitu :
a.       Regulasi sitem imun
b.      Membunuh sel yang menghasilkan antigen target khusus.
Masing-masing sel T mempunyai marker permukaan seperti CD4+, CD8+, dan CD3+, yang membedakannya dengan sel lain. Sel CD4+ adalah sel yang membantu mengaktivasi sel B, killer sel dan makrofag saat terdapat antigen target khusus. Sel CD8+membunuh sel yang terinfeksi oleh virus atau bakteri seperti sel kanker.
o   Fagosit
o   Komplemen

2.      Penjelasan dan komponen utama dari siklus hidup virus HIV
Secara structural morfologinya, bentuk HIV terdiri atas sebuah silinder yang dikelilingi pembungkus lemak yang melingkar-melebar. Pada pusat lingkaran terdapat untaian RNA. HIV mempunyai 3 gen yang merupakan komponen funsional dan structural. Tiga gen tersebut yaitugagpol, dan envGag berarti group antigen, pol mewakili polymerase, dan env adalah kepanjangan dari envelope (Hoffmann, Rockhstroh, Kamps,2006). Gen gag mengode protein inti. Gen pol mengode enzim reverse transcriptase, protease, integrase. Gen env mengode komponen structural HIV yang dikenal dengan glikoprotein. Gen lain yang ada dan juga penting dalam replikasi virus, yaitu : rev, nef, vif, vpu, dan vpr.
Siklus Hidup  HIV
Sel pejamu yang terinfeksi oleh HIV memiliki waktu hidup sangat pendek; hal ini berarti HIV secara terus-menerus menggunakan sel pejamu beru untuk mereplikasi diri. Sebanyak 10 milyar virus dihasilkan setiap harinya. Serangan pertama HIV akan tertangkap oleh sel dendrite pada membrane mukosa dan kulit pada 24 jam pertama setelah paparan. Sel yang terinfeksi tersebut akan membuat jalur ke nodus limfa dan kadang-kadang ke pembuluh darah perifer selama 5 hari setelah papran, dimana replikasi virus menjadi semakin cepat.
Siklus hidup HIV dapat dibagi menjadi 5 fase, yaitu :
·         Masuk dan mengikat
·         Reverse transkripstase
·         Replikasi
·         Budding
·         Maturasi

3.      Tipe dan sub-tipe dari virus HIV.
Ada 2 tipe HIV yang menyebabk
an AIDS: HIV-1 yang HIV-2. HIV-1 bermutasi lebih cepat karena reflikasi lebih cepat. Berbagai macam subtype dari HIV-1 telah d temukan dalam daerah geografis yang spesifik dan kelompok spesifik resiko tinggi
Individu dapat terinfeksi oleh subtipe yang berbeda. Berikut adalah subtipe HIV-1 dan distribusi geografisnya:
Sub tipe A: Afrika tengah
Sub tipe B: Amerika selatan,brasil,rusia,Thailand
Sub tipe C: Brasil,india,afrika selatan
Sub tipe D: Afrika tengah
Sub tipe E:Thailand,afrika tengah
Sub tipe F: Brasil,Rumania,Zaire
Sub tipe G: Zaire,gabon,Thailand
Sub tipe H: Zaire,gabon
Sub tipe O: Kamerun,gabon
Sub tipe C sekarang ini terhitung lebih dari separuh dari semua infeksi HIV baru d seluruh dunia.

4.      Efek dari virus HIV terhadap system imun
·         Infeksi Primer atau Sindrom Retroviral Akut (Kategori Klinis A)
Infeksi primer berkaitan dengan periode waktu di mana HIV pertama kali masuk ke dalam tubuh. Pada waktu terjadi infeksi primer, darah pasien menunjukkan jumlah virus yang sangat tinggi, ini berarti banyak virus lain di dalam darah.
Sejumlah virus dalam darah atau plasma per millimeter mencapai 1 juta. Orang dewasa yang baru terinfeksi sering menunjukkan sindrom retroviral akut. Tanda dan gejala dari sindrom retrovirol akut ini meliputi : panas, nyeri otot, sakit kepala, mual, muntah, diare, berkeringat di malam hari, kehilangan berat badan, dan timbul ruam. Tanda dan gejala tersebut biasanya muncul dan terjadi 2-4 minggu setelah infeksi, kemudian hilang atau menurun setelah beberapa hari dan sering salah terdeteksi sebagai influenza atau infeksi mononucleosis.
Selama imfeksi primer jumlah limfosit CD4+ dalam darah menurun dengan cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4+ yang ada di nodus limfa dan thymus. Keadaan tersebut membuat individu yang terinfeksi HIV rentan terkena infeksi oportunistik dan membatasi kemampuanthymus untuk memproduksi limfosit T. Tes  antibody HIV dengan menggunakan enzyme linked imunoabsorbent assay (EIA) akan menunjukkan hasil positif.

5.      Cara penularan HIV/AIDS
Virus HIV menular melalui enam cara penularan, yaitu :
1.      Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS
Hubungan seksual secara vaginal, anal, dan oral dengan penderita HIV tanpa perlindungan bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual berlangsung, air mani, cairan vagina, dan darah dapat mengenai selaput lender vagina, penis, dubur, atau mulut sehingga HIV yang terdapat dalam cairan tersebut masuk ke aliran darah (PELKESI, 1995). Selama berhubungan juga bisa terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur, dan mulut yang bisa menjadi jalan HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan seksual (Syaiful, 2000).
2.      Ibu pada bayinya
Penularan HIV dari ibu pada saat kehamilan (in utero). Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi HIV dari ibu ke bayi adalah 0,01% sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%, sedangkan kalau gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinannya mencapai 50% (PELKESI, 1995). Penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui transfuse fetomaternal atau kontak antara kulit atau membrane mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan (Lily V, 2004).
3.      Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS
Sangat cepat menularkan HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
4.      Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril
Alat pemeriksaan kandungan seperti speculum,tenakulum, dan alat-alat lain yang darah,cairan vagina atau air mani yang terinfeksi HIV,dan langsung di gunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi bisa menularkan HIV.(PELKESI,1995).
5.      Alat-alat untuk menoleh kulit
Alat tajam dan runcing seperti jarum,pisau,silet,menyunat seseorang, membuat tato,memotong rambut,dan sebagainya bisa menularkan HIV sebab alat tersebut mungkin di pakai tampa disterilkan terlebih dahulu.
6.      Menggunakan jarum suntik secara bergantian
Jarum suntik yang di gunakan di fasilitas kesehatan,maupun yang di gunakan oleh parah pengguna narkoba (injecting drug user-IDU) sangat berpotensi menularkan HIV. Selain jarum suntik, pada para pemakai IDU secara bersama-sama juga mengguna tempat penyampur, pengaduk,dan gelas pengoplos obat,sehingga berpotensi tinggi untuk menularkan
HIV tidak menular melalui peralatan makan,pakaian,handuk,sapu tangan,toilet yang di pakai secara bersama-sama,berpelukan di pipi,berjabat tangan,hidup serumah dengan penderita HIV/AIDS, gigitan nyamuk,dan hubungan social yang lain.


 Manifestasi Klinis
Gejala dini yang sering dijumpai berupa eksantem, malaise, demam yang menyerupai flu biasa sebelum tes serologi positif. Gejala dini lainnya berupa penurunan berat badan lebih dari 10% dari berat badan semula, berkeringat malam, diare kronik, kelelahan, limfadenopati. Beberapa ahli klinik telah membagi beberapa fase infeksi HIV yaitu :
1.Infeksi HIV Stadium Pertama
Pada fase pertama terjadi pembentukan antibodi dan memungkinkan juga terjadi gejala-gejala yang mirip influenza atau terjadi pembengkakan kelenjar getah bening.


2.Persisten Generalized Limfadenopati
Terjadi pembengkakan kelenjar limfe di leher, ketiak, inguinal, keringat pada waktu malam atau kehilangan berat badan tanpa penyebab yang jelas dan sariawan oleh jamur kandida di mulut.
3.AIDS Relative Complex (ARC)
Virus sudah menimbulkan kemunduran pada sistem kekebalan sehingga mulai terjadi berbagai jenis infeksi yang seharusnya dapat dicegah oleh kekebalan tubuh. Disini penderita menunjukkan gejala lemah, lesu, demam, diare, yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dan berlangsung lama, kadang-kadang lebih dari satu tahun, ditambah dengan gejala yang sudah timbul pada fase kedua.
4.Full Blown AIDS.
Pada fase ini sistem kekebalan tubuh sudah rusak, penderita sangat rentan terhadap infeksi sehingga dapat meninggal sewaktu-waktu. Sering terjadi radang paru pneumocytik, sarcoma kaposi, herpes yang meluas, tuberculosis oleh kuman opportunistik, gangguan pada sistem saraf pusat, sehingga penderita pikun sebelum saatnya. Jarang penderita bertahan lebih dari 3-4 tahun, biasanya meninggal sebelum waktunya.

Komplikasi
a.       Lesi Oral
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi,dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat.
b.      Neurologik
1.      kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi social.
2.      Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, meningitis / ensefalitis. Dengan efek : sakit kepala, malaise, demam, paralise, total / parsial.
3.      Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler,hipotensi sistemik, dan maranik endokarditis.
4.      Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan Human Immunodeficienci Virus (HIV)
c.        Gastrointestinal
1.      Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan sarcoma   Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan,anoreksia,demam,malabsorbsi, dan dehidrasi.
2.      Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.
3.      Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan siare.


d.      Respirasi
Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas pendek  ,batuk, nyeri,hipoksia, keletihan, dan gagal nafas.
e.       Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri,gatal,rasa terbakar,infeksi skunder dan sepsis.
f.       Sensorik
·         Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
·         Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek nyeri.

Pemeriksaan Penunjang
1.  Konfirmasi diagnosis dilakukan dengan uji antibody terhadap antigen virus structural. Hasil positif palsu dan negative palsu jarang terjadi.
2. Untuk transmisi vertical (antibody HIV positif) dan serokonversi (antibody HIV negative), serologi tidak berguna dan RNA HIV harus diperiksa. Diagnosis berdasarkan pada amflikasi asam nukleat.
3.      Untuk memantau progresi penyakit, viral load (VL) dan hitung DC4 diperiksa secara teratur (setiap8=12 minggu). Pemeriksaan VL sebelum pengobatan menentukan kecepatan penurunan CD4, dan pemeriksaan pascapengobatan (didefinisikan sebagai VL <50 kopi/mL). menghitung CD4 menetukan kemungkinan komplikasi, dan menghitung CD4 >200 sel/mm3 menggambarkan resiko yang terbatas. Adapun pemeriksaan penunjang dasar yang diindikasikan adalah sebagai berikut :
Semua pasien                                                  CD4 <200 sel/mm3
Antigen permukaan HBV*                              Rontgen toraks
Antibody inti HBV+                                       RNA HCV
Antibody HCV                                               Antigen kriptokukus
Antibody IgG HAV                                       OCP tinja
Antibody Toxoplasma                                   
Antibody IgG sitomegalovirus                       CD4 <100 sel/mm3
Serologi Treponema                                        PCR sitomegalovirus
Rontgen toraks                                             Funduskopi dilatasi
Skrining GUM                                                EKG
Sitologi serviks (wanita)                                 Kultur darah mikrobakterium
·         HAV, hepatitis A, HBV, hepatitis B, HCV, hepatitis C
·         *Antigen/antibody e HBV dan DNA HBV bila positif.
·         + Antibodi permukaan HBV bila negative dan riwayat imunisasi
·          Bila terdapat kontak/riwayat tuberculosis sebelumnya, pengguna obat suntik dan pasien dari daerah endemic tuberculosis.
4.      ELISA (Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assay) adalah metode yang digunakan menegakkan diagnosis HIV dengan sensitivitasnya yang tinggi yaitu sebesar 98,1-100%. Biasanya tes ini memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi.
5.      WESTERN blot adalah metode yang digunakan menegakkan diagnosis HIV dengan sensitivitasnya yang tinggi yaitu sebesar 99,6-100%. Pemeriksaanya cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam.
6.      PCR (polymerase Chain Reaction), digunakan untuk :
a.       Tes HIV pada bayi, karena zat antimaternal masih ada pada bayi yang dapat menghambat pemeriksaan secara serologis. Seorang ibu yan menderita HIV akan membentuk zat kekebalan untuk melawan penyakit tersebut. Zat kekbalan itulah yang diturunkan pada bayi melalui plasenta yang akan mengaburkan hasil pemeriksaan, seolah-olah sudah ada infeksi pada bayi tersebut. (catatan : HIV sering merupakan deteksi dari zat anti-HIV bukan HIV-nya sendiri).
b.      Menetapakan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok berisiko tinggi.
c.       Tes pada kelompok berisiko tinggi sebelum terjadi serokonversi.
d.      Tes konfirmasi untuk HIV-2, sebab ELISA mempunyai sensitivitas rendah  untuk HIV-2.
7.      Serosurvei, untuk mengetahui prevalensi pada kelompok berisiko, dilaksanakan 2 kali pengujian dengan reagen yang berbeda.
8.      Pemeriksaan dengan rapid test (dipstick).

Tata Laksana HIV
Belum ada penyembuhan untuk AIDS, jadi perlu dilakukan pencegahan Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk mencegah terpajannya Human Immunodeficiency Virus (HIV), bisa dilakukan dengan :
1.      Melakukan abstinensi seks / melakukan hubungan kelamin dengan pasangan yang tidak terinfeksi.
2.      Memeriksa adanya virus paling lambat 6 bulan setelah hubungan seks terakhir yang tidak terlindungi.
3.      Menggunakan pelindung jika berhubungan dengan orang yang tidak jelas status Human Immunodeficiency Virus (HIV) nya.
4.      Tidak bertukar jarum suntik,jarum tato, dan sebagainya.
5.      Mencegah infeksi kejanin / bayi baru lahir.
Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka pengendaliannya yaitu :
1.      Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan perawatan kritis.
1.      Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya <>3 . Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3
1.      Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah :
1.      Didanosine
2.      Ribavirin
3.      Diedoxycytidine
4.      Recombinant CD 4 dapat larut

2.     Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.
3.      Pendidikan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makan-makanan sehat,hindari stress,gizi yang kurang,alcohol dan obat-obatan yang mengganggu fungsi imun.
4.      Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan mempercepat reflikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV).

1.     OROFACIAL PAIN
Nyeri merupakan persepsi somatik berupa ketidaknyamanan yang mengindikasikan adanaya kerusakan jaringan atau potensi terhadap kerusakan jaringan. Nyeri merupakan perasaan tidak nyaman yang hanya dapat dirasakan oleh individu tersebut tanpa dapat dirasakan oleh orang lain. Nyeri merupakan tanda dan gejala penting yang dapat menunjukkan terjadinya gangguan fisologis.
Menurut Dorland Medical Dictionary, nyeri adalah sensasi lokal yang terjadi sebagai hasil stimulasi. Nyeri diperantarai melalui struktur neural yang diciptakan dengan tujuan bahwa nyeri mengindikasikan adanya mekanismeperlindungan terhadap kerusakan.
Orofacial pain adalah suatu penyakit umum yang dirasakan di lulut, rahang, dan muka. Merupakan suatu gejala dengan berbagai macam penyebab. Biasanya berasal dari penyakit gigi, seperti nyeri yang berkaitan dengan gigi. Seringkali berasal dari sakit gigi yang disebabkan oleh pulpitis atau abses. Selain karena nyeri gigi, penyebab lain adalah TMD (temporomandibular dysfunction).
Orofacial pain mencakup sejumlah masalah klinis yang melibatkan otot pengunyahan atau sendi temporomandibular. Masalah tersebut dapat berupa ketidaknyamanan pada sendi temporomandibular, kejang otot di leher, kepala dan rahang, migrain, atau sakit dengan wajah gigi atau rahang.

Nyeri pada daerah orofacial terdiri dari :
·      Sindrom disfungsi nyeri (Temporomandibular joint pain dysfunction syndrome)
Temporomandibular joint pain dysfunction syndrome atau biasa disebut myofascial pain dysfunction syndrome disebabkan oleh berbagai faktor. Antara lain oleh beban pengunyahan gigi yang terlalu besar, pengecilan otot rahang, dan ketegangan dari otot – otot pendukung sendi temporomandibular. Sindrom ini dapat pula disebabkan oleh sikap tubuh yang salah, kebiasaan oral yang buruk, dan kerusakan fascia yang disebabkan oleh trauma maupun penyakit. Sindrom tersebut dapat mengakibatkan rasa sakit, bunyi kliking saat membuka mulut, dan kesulitan saat membuka mulut dengan lebar.
·      Sakit kepala
Sebagian besar sakit kepala merupakan ketegangan otot, migrain, atau nyeri kepala tanpa penyebab jelas. Banyak berhubungan dengan kelainan di amta, hidung, tenggorokan, dan telinga. Tekanan darah tinggi biasanya berhubungan dengan sakit kepala.
·      Neuralgia
Neurakgia trigeminal merupakan nyeri pada nervus Trigeminus yang mengahantarkan rasa nyeri menuju ke wajah. Nyeri tersebut bercirikan suatu nyeri yang muncul mendadak, berat, seperti sengatan listrik, atau nyeri yang menusuk – nusuk biasanya pada satu sisi rahang atau pipi.
·      Nyeri pulpa dan dentin
Biasanya seseorang menyadari adanya kerusakan pada gigi apabila timbul rasa nyeri. Nyeri timbul apabila rangsang dapat mencapai ujung sel odontoblast pada batas dentin dan email. Daerah tersebut merupakan pertahanan pulp gigi paling depan. Nyeri gigi merupakan respons yang ditimbulkan oleh rangsang pada resptor nyeri di gigi yang akan diubah menjadi impuls nyeri dan dihantarkan melalui struktur serabut syaraf. Dentin dan pulpa termasukjaringan yang peka terhadap nyeri. Nyeri gigi terjadi bila terjadi rangsangan pada nosiseptor.

Treatment Planning
Manajemen nyeri orofacial dapat dilaksanakan dengan terapi farmakologi, yaitu dengan memberikan obat – obatan berupa :
-       Nonsteroidal Anti Inflammatory Drugs
NSAIDs biasa digunakan untuk nyeri orofacial pain kronis muskuloskeletal seperti temporomandibular joint disorder dan myofascial syndromes.
-       Opioids
-       Anti depressan
-       Anti-epileptic drugs
-       Muscle Relaxant/ Anti spastic

2.     LESI PUTIH
Ø Definisi
Lesi putih adalah suatu keadaan yang abnormal pada mukosa dimana nampak klinis berwarna lebih putih.
Ø Etiologi
Etiologi dari lesi putih pada mukosa mulut, antara lain factor lokal, herediter, respon autoimun, dan adanya infeksi.
Ø Klasifikasi
v Herediter
ü Leukoedema
       Leukoedema adalah perubahan mukosa yang umum, yang  dapat dikatakan lebih mewakili variasi kondisi normal daripada perubahan patologis sejati.
1.       Etiologi
       Tidak diketahui, dipekirakan berkaitan dengan faktor herediter atau kerusakan stratified squamous epithelium pada saat proses maturasi. Leukoedema juga diperkirakan dapat terjadi sebagai hasil dan fungsi mastikasi dan berkaitan dengan kebersihan mulut yang buruk.Leukoedema secara signifikan lebih prevalen di antara orang-orang yang mempunyai kebiasaan merokok sehari-hari daripada di antara yang tidak merokok.

2.       Gambaran Klinis
       Leukoedema tampak sebagai diskolorasi (perubahan warna) mukosa menjadi tampak keputihan, diffuse, dan filmy (seperti lapisan film), dengan banyak lipatan-lipatan permukaan yang diakibatkan mengkerutnya mukosa. Lesi tidak dapat dikelupas, dan menghilang atau memudar saat mukosa diregangkan. Leukoedema paling sering terjadi di mukosa bukal (pipi bagian dalam) secara bilateral (kanan dan kiri), dan kadang-kadang dapat ditemui pada mukosa labial (jaringan lunak bibir), palatum (langit-langit) lunak, dan dasar mulut.
       Leukoedema biasanya dijumpai bilateral pada mukosa pipi sebagai suatu film tipis yang opak, putih atau abu-abu. Pada mukosa bibir dan palatum molle jarang ditemukan. Leukoedema seringkali pucat dan sulit dilihat. Menonjolnya lesi berhubungan dengan derajat pigmentasi melanin di bawahnya, derajat kebersihan mulut, dan banyaknya merokok. Pemeriksaan yang cermat dan leukoedema menunjukkan garis-garis putih halus, kerutankerutan dan lipatan-lipatan jaringan yang menumpuk. Tepi-tepi lesi tidak teratur dan difus; lesi tersebut memudar ke jaringan disekitarnya sehingga sulit untuk menentukan dimana lesi mulai dan berakhir. Diagnosis didapat dengan cara meregang mukosanya, menyebabkan tampak putih hilang sama sekali dalam beberapa kasus. Menggosok lesi tidak akan menghilangkannya
Description: C:\Users\Dell\Downloads\Midis A-Z   Leukoedema_files\leukoedema.JPG
Gbr. Leukoedema, perhatikan daerah mukosa yang berwarna putih di daerah pipi
3.       Pemeriksaan Mikroskopis
       Pemeriksaan mikroskopis memperlihatkan penebalan epitel, dengan edema intraseluler yang signifikan pada stratum spinosum. Permukaan epitel dapat menunjukkan penebalan lapisan parakeratin.
Epitel tampak lebih tebal daripada normalnya dan disertai dengan tonjolan rete pegs yang lebar. Sel-sel dalam bagian superfisial stratum spinosum tampak bervakuola dalam inti yang diwarnai dengan hematoksilin dan eosin (H&E), karena mengandung glikogen dalam jumlah besar. Sel-sel pada permukaannya mungkin menjadi gepeng, akan tetapi tetap memiliki nukleus piknotik, dan biasanya rnemperlihatkan keratinisasi yang nyata.
ü Dyskeratosis congenital
Etiologi :
Penyakit ini termasuk penyakit genetis yang diwariskan secara resesif. Disebut pula Zeinssner-Engman-Cole. (Burket, et al., 2003)
Patogenesis :
Biasanya pada anaka-anak diawali pada usia 10 tahun, muncul sebagai kumpulan vesikel dengan bercak putih dari mukosa nekrotik yang terinfeksi dengan candida. Kemudian terjadi ulserasi dan terjadi distrofi pada kuku (Burket, et al., 2003). Lesi oral yang terus berkembang pada penyakit ini dapat berpotensi menjadi maligna atau ganas dan berkemungkinan timbul anemia aplastik (Neville, et al., 2002).
Perangai klinis :
Pada lidah dan mukosa bukal tampak muncul bula yang berkembang menjadi erosi dan terdapat lesi leukoplakik. Sedangkan pada leher, wajah, dan di atas daerah dada timbul hiperpigmentasi retikuler. (Neville, et al., 2002)
Histopatologi dan pemeriksaan penunjang :
Dapat dilakukan biopsi pada mukosa oral yang menunjukkan hiperortokeratosis dan atrofi papilla. Lesi dapat berkembang menjadi epitel dysplasia hingga kanker karsinoma sel squamosa.  Selain itu perlu diperiksa kadar trombosit. Pasien biasanya mengalami trombositopeni yang mengarah pada anemia aplastik. (Neville, et al., 2002)
Treatment planning :
Perlunya memonitor kesehatan medis, terutama untuk memantau anemia aplastik. Selain itu perlu memantau adanya kelaianan genetis tersebut sejak awal. (Neville, et al., 2002)

ü White Sponge Nevus
Etiologi
            White Sponge Nevus (WSN) adalah suatu kondisi klinis dari kelainan autosomal dominan yang tampaknya disebabkan oleh keratin 4 dan / atau 13 titik mutasi. Ini mempengaruhi mukosa oral bilateral, dan pengobatan tidak diperlukan.  
 Gambaran  Klinis
Bersifat asimptomatis,  lesi berlekuk-lekuk, putih yang dapat mempengaruhi beberapa bagian mukosa rongga mulut. Lesi cenderung menebal dan memiliki konsistensi kenyal. Presentasi intraoral hampir selalu bilateral dan simetris dan biasanya muncul sebelum masa puber. Karakteristik klinis manifestasi dari bentuk tertentu dari keratosis biasanya lebih jelas diamati pada buccal mukosa, meskipun pada bagian lain seperti lidah dan mukosa vestibular juga mungkin terkena. 
Description: http://dermatology.cdlib.org/145/nyu/cases/112106_3b.jpg

Diagnosa Banding
Diagnosis diferensial mencakup faktor herrediter, dyskeratosis jinak epitel, lichen planus, reaksi obat lichenoid, lupus eritematosus, trauma gigitan pada bukal, dan kemungkinan kandidiasis. Setelah diagnosis jaringan dikonfirmasi, tidak ada tambahan biopsi \diperlukan.

ü Intraepitelial diskeratosis
Etiologi
Kriteria diskeratosis:
-                 adanya peningkatan yang abnormal dari mitosis
-                 keratinisasi sel-sel secara individu
-                 adanya pembentukan epithel pearls pada lapisan spinosum
-                 perubahan perbandingan antara inti sel dengan sitoplasma
-                 adanya pembesaran inti
Tanda klinis
            lesi terlihat tebal, soft, ada lipatan putih, dan plak. Asimptomatik dan pasien kadang tidak menyadari adanya lesi tersebut.. setiap region pada mukosa oral dapat terkena. Lesi okuler terlihat seperti plak yang bergelatin

ü Pachyo nychi congenital
Etiologi
Bersifat genetis dan diturunkan oleh autosom dominan.
Tanda klinis
            Karakteristik ditandai oleh penebalan kuku simetris , hiperhidrosis, dan formasi blister. Lesi oral ini muncul saat lahir atau setelah itu, dan terlihat tebal dan terlihat plak berwana putih atau keabuan. Biasa terdapat  pada mukosa bukal, lidah, dan gingival.
v Infeksi
ü  PseudomembranKandidiasisAkut(Thrush)
Thrush adalah tipe dari infeksi oral yang disebabkan oleh Candida.Dan lesi tersebut adalah infeksisuperfisial di luar lapisan epitel, dan menghasilkan pembentukanplak putih yang merata atau bintik-bintik pada permukaan mukosa. Penghapusan plak  dilakukandengan menggosok secara lembut atauScraping dan biasanya akan tampak eritema luas atau bahkan ulserasi dangkal. Pada Uji Papsmearakan menunjukkanragi atau mielin, dah hal ini akan sangat membantu bila diagnosis tidak pasti.Thrush terlihat pada anak dan pada orang dewasa di segala usia.Lesi khas pada bayi digambarkan sebagai patch putih lembut pada mukosa oral. Lesi intraoral umumnya tanpa rasa sakit dan dapat dihapus tanpa kesulitan. Pada orang dewasa,akan disertai peradangan, eritema, dan pada daerah yang terkikis akan terasasangat menyakitkan. Lesi ini mungkin melibatkan seluruh mukosa mulut atau mungkin melibatkan daerah yang relatif lokal di mana sangat minim terjadi mekanisme self cleansing.Gejala prodromal dari onset yang cepat dan rasa tidak enak serta hilangnya pengecapan dialami oleh beberapa orang dewasa yang terinfeksi kandidiasis pseudomembran akut. Sebuahsensasi terbakar pada mulut dan tenggorokan juga dapat mendahuluimunculnya lesi pseudomembran ini.Gejala tipe ini sering  terjadi pada pasien yang menerima antibiotik spectrum luas. Pasien dengan imunodefisiensi, sepertimereka yang menderita AIDS atau keganasan,juga sangat rentan terhadap bentuk kandidiasis.
(Grindberg, et al. 2003)



v Lesi Reaktif
ü Hyperplastic Candidiasis
Pada beberapa pasien dengan candidiasis oral, akan terdapat patch putih yang tidak dapat dihilangkan dengan digaruk. Pada keadaan inilah istilah candidiasis hiperplastik kronik biasanya dikaitkan.Bentuk candidiasis ini sangat tidak lazim dan masih dianggap kontroversial.
Organisme candida dapat menginduksi terjadinya hyperkeratosis.Lesi ini terdapat pada mukosa pipi anterior dan secara klinis sulit sekali dibedakan dari leukoplakia biasa.Lesi leukoplakia berkaitan dengan infeksi candida memiliki area lesi berwarna merah dan putih menghasilkan bintik leukoplakia.Lesi ini dapat meningkatkan dysplasia epithel secara histopatologis.

Secara histopatologis akan didapatkan gambaran hifa dengan pengecatan Periodic Acid –Schiff. Selain terdapat hifa, melalui pengamatan mikroskopis akan didapatkan yeast, sel epithel skuamous dan sel-sel inflamatorik.



ü Frictional (traumatic) keratosis
Frictional keratosis didefinisikan plak putih yang permukaannya kasar karena iritsi mekanis.Histologist lesi ini menunjukkan hyperkeratosis dan acanthosis.Lesi ini tidak dapat menjadi malign. Firctional keratosis dapat disebabkan  karena denture yang kasar dan terkena pecahan gigi yang tajam di tonjol maupun tepinya.
Gambar Frictional (traumatic) keratosis

ü Oral Hairy Leukoplakia
Meskipun Epstein-Barr virus (EBV) diyakini berkaitan dengan beberapa bentuk limfoma pada penderita AIDS, lesi oral yang umum terjadi berkaitan dengan EBV pada penderita AIDS adalah Oral Hairy Leukoplakia (OHL).Lesi ini memiliki pola hiperkeratosis dan hiperplasia epithel yang jelas yang dicirikan dengan lesi mukosa berwarna putih dan tidak dapat digaruk.
Sebagian besar kasus OHL terjadi pada batas lateral lidah dan penampakannya seperti area leukoplakia yang menebal dan berbulu, serta menunjukkan permukaan keratotik yang kusut. Lesi ini dapat meluas padapermukaan dorsal dan lateral lidah, meskipun jarang ditemukan, namun juga dapat meluas hingga mukosa pipi, palatum lunak, faring, atau esofagus.
Secara histopatologis, OHL menunjukkan adanya penebalan lapisan parakeratin di mana terjadi penggelombangan permukaan.Epithel mengalami hiperplasia dan mengandung baloon cell pada lapisan spinosa.
Terdapat sel yang tersebar tanpa nukleus pada epithel superfisial dan terdapat juga nuclear beading.Tidak tampak displasia epithel pada pemeriksaan yang lebih dalam.


ü Tobacco Pouch Keratosis (Smokeless Tobacco Keratosis)
Kebiasaan mengunyah daun tembakau atau menghisap daun tembakau pada vestibulum mandibula merupakan hal yang umum di Amerika dan beberapa populasi di seluruh dunia.
Penampakan Klinis
Beberapa hal yang berbahaya bagi kesehatan dan menyebabkan kecanduan berhubungan dengan kebiasaan mengunyah tembakau karena proses absorpsi yang cepat terhadap nikotin dan molekul lain melalui mukosa oral.
Berbagai macam alterasi oral local juga ditemukan pada pecandu yang kronis.Salah satu perubahan local yang lazim adalah hilangnya jaringan gingiva dan periodontal yang tidak disertai rasa sakit pada area yang berkontak dengan tembakau secara terus- menerus.Resesi gingiva sering disertai kerusakan permukaan fasial tulang alveolar dan sangat berhubungan dengan kuantitas dan durasi kebiasaan mengunyah tembakau.
Kebiasaan ini ternyata berpegaruh terhadap prevalensi terjadinya karies yang meningkat, kemungkinan karena adanya kandungan gula yang tinggi pada beberapa produk tembakau, Pada pecandu kronis akan dijumpai pewarnaan pada email gigi disertai halitosis.
Penampakan Plaque putih dari keratosis akibat mengunyah tembakau merupakan hal yang banyak dijumpai pada mukosa oral.Perkembangan lesi ini sangat dipengaruhi oleh durasi kebiasaan, jenis tembakau, frekuensi kebiasaan, dan tempat di mana tembakau dikunyah atau dihisap.Penggunaan daun tembakau dengan bahan-bahan lain diyakini mempercepat berkembangnya lesi yang terjadi.
Lesi ini biasanya terbatas pada area yang kerap terpapar daun tembakau, secara klinis akan tampak lesi tipis berbentuk plaque berwarna keabuan atau putih keabuan, kebanyakan translusen dengan batas yang tampak menyatu dengan mukosa di sekeliling lesi. Terkadang juga tampak eritema ringan di sekeliling lesi.
Lesi ini berkembang dalam 1 hingga 5 tahun. Sekali timbul keratosis biasanya akan tinggal tanpa berubah. Pada beberapa kasus, lesi dapat menebal dengan penampakan menjadi noduler atau menyerupai kulit.
Penampakan histopatologis
Penampakan histologis dari lesi ini tidak spesifik. Epithel skuamous akan mengalami hiperkeratinisasi dan akantolitik, dengan atau tanpa vakuolisasi intraseluler atau edema pada sel superfisial. Peningkatan vaskularisasi subepithel tampak terjadi dan pada beberapa kasus tampak deposisi dari material eosinofil amorf.Pada beberapa kasus dapat ditemui displasia epithel yang ringan dan dapat juga ditemukan karsinoma sel skuamous.
        



ü Nicotine Stomatitis
Lesi ini merupakan perubahan pada mukosa yang lazim terjadi pada palatum durum.Namun, lesi ini menjadi kurang lazim terjadi sejalan dengan hilangnya popularitas dari cerutu dan pipa cerutu.Meskipun lesi ini adalah perubahan keratotik berwarna putih yang berkaitan dengan merokok, lesi ini tidak memiliki sifat premalignan.Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya respon terhadap panas dari merokok daripada dari kandungan rokok secara kimiawi.Karena merokok dengan pipa cerutu menghasilkan lebih banyak panas pada palatum daripada bentuk rokok yang lain, nicotine stomatitis lebih sering dikaitkan dengan kebiasaan ini. Perubahan yang sama ditunjukkan pada individu dengan kebiasaan minum minuman yang sangat panas.
Penampakan Klinis
Nicotine stomatitis lazim dijumpai pada pria berusia diatas 45 tahun. Dengan paparan panas yang berlangsung lama, mukosa palatum akan berwarna keabuan atau putih secara difus. Akan tampak beberapa papula dengan bagian tengah berwarna merah.Papula ini menunjukkan adanya glandula salivarius minor dan ductusnya yang terinflamasi. Mukosa ini akan berwarna lebih putih daripada epithel sekelilingnya.
Keratin pada palatum akan semakin menebal dan terdapat penampakan seperti lumpur kering yang tertanam di dalamnya. Lesi putih akan meluas hingga gingiva tepi dan papilla interdental, serta penampakan leukoplakia akan terdapat pada mukosa pipi. Gigi akan terdapat pewarnaan dari tembakau.
Penampakan Histopatologis
Nicotine Stomatitis ditandai dengan hiperkeratosis dan akantosis dari mukosa palatum durum dan tampak inflamasi ringan pada jaringan ikat subepithelial dan glandula mukus.Terjadi metaplasia skuamous pada duktus ekskretorik dan biasanya tampak eksudat inflamatorik pada lumina duktus. Pada kasus dengan terdapat papula, akan tampak hiperplasia pada epithel duktus di dekat orifis. Derajat hiperplasia dan hiperkeratosis dari epithel berbanding lurus dengan durasi dan tingkat paparan panas.



v Lesi Neoplasma dan Preneoplasma
ü Leukoplakia
        Leukoplakia merupakan salah satu kelainan yang terjadi di mukosa rongga mulut. Meskipun leukoplakia tidak termasuk dalam jenis tumor, lesi ini sering meluas sehingga menjadi suatu lesi pre-cancer. Leukoplakia merupakan suatu istilah lama yang digunakan untuk menunjukkan adanya suatu bercak putih atau plak yang tidak normal yang terdapat pada membran mukosa. Pendapat lain mengatakan bahwa leukoplakia hanya merupakan suatu bercak putih yang terdapat pada membran mukosa dan sukar untuk dihilangkan atau terkelupas. Untuk menentukan diagnosis yang tepat, perlu dilakukan pemeriksaan yang teliti baik secara klinis maupun histopatologis, karena lesi ini secara klinis mempunyai gambaran yang serupa dengan “lichen plannus” dan “white sponge naevus”.
        Lesi leukoplakia tidak memberikan gejala dan sering ditemukan pada pemeriksaan mulut rutin. Persentasi tertinggi yaitu pasien dengan usia antara 40 — 70 tahun, dan lesi ini jarang ditemukan pada individu di bawah usia 30 tahun. Leukoplakia dapat timbul pada lokasi manapun pada mukosa mulut, lokasi yang paling sering yaitu pada lidah, dasar mulut, bibir bawah, kommisura, palatum, lipatan mukobukal, lingir alveolar, daerah retromolar dan mukosa bukal. Lesinya dapat bervariasi dalam ukuran, bentuk, lokasi dan gambaran klinisnya.
1.       Etiologi
        Etiologi yang pasti dari leukoplakia sampai sekarang belum diketahui dengan pasti, tetapi predisposisi menurut beberapa ahli klinikus terdiri dari faktor yang multiple, yaitu faktor lokal faktor sistemik dan malnutrisi vitamin.
a.        Faktor Lokal
Biasanya merupakan segala macam bentuk iritasi kronis, antara lain:
·         Trauma
-          Trauma dapat berupa gigitan tepi atau akar gigi yang tajam
-          Iritasi dari gigi yang malposisi
-          Pemakaian protesa yang kurang baik sehingga menyebabkan iritasi
-          Adanya kebiasaan jelek, antara lain kebiasaan jelek menggigit-gigit jaringan mulut, pipi, maupun lidah.
·         Kemikal atau termal
        Pada penggunaan bahan-bahan yang kausatik mungkin diikuti oleh terjadinya leukoplakia dan perubahan keganasan. Faktor-faktor kaustik tersebut antara lain:
·         Tembakau
        Terjadinya iritasi pada jaringan mukosa mulut tidak hanya disebabkan oleh asap rokok dan panas yang terjadi pada waktu merokok, tetapi dapat juga disebabkan oleh zat-zat yang terdapat di dalam tembakau yang ikut terkunyah. Banyak peneliti yang berpendapat bahwa pipa rokok juga merupakan benda yang berbahaya, sebab dapat menyebabkan lesi yang spesifik pada palatum yang disebut “stomatitis Nicotine”. Pada lesi ini, dijumpai adanya warna kemerahan dan timbul pembengkakan pada palatum. Selanjutnya, palatum akan berwarna putih kepucatan, serta terjadi penebalan yang sifatnya merata. Ditemukan pula adanya “multinodulair” dengan bintik-bintik kemerahan pada pusat noduli. Kelenjar ludah akan membengkak dan terjadi perubahan di daerah sekitarnya. Banyak peneliti yang kemudian berpendapat bahwa lesi ini merupakan salah satu bentuk dari leukoplakia.
·         Alkohol
        Telah banyak diketahui bahwa alkohol merupakan salah satu faktor yang memudahkan terjadinya leukoplakia, karena pemakaian alkohol dapat menimbulkan iritasi pada mukosa.
·         Bakterial
        Leukoplakia dapat terjadi karena adanya infeksi bakteri, penyakit periodontal yang disertai higiene mulut yang jelek.
b.       Faktor Sistemik.
        Sifihis tertier, defisiensi vitamin B12, defisiensi asam folat, dan mungkin defisiensi nutrisi lainnya semuanya disertai dengan glositis atrofik dan perubahan atrofik di tempat lain pada mukosa mulut yang menjadikan pasien-pasien ini sangat mudah terkena leukoplakia dan karsinoma mulut.
2.       Gambaran Klinis
        Permukaan Iesinya dapat tampak licin dan homogen, tipis dan mudah hancur, pecah-pecah, berkerut, verukoid, noduler, atau berbercak-bercak. Warnanya dapat merupakan variasi lembut dan lesi-lesi putih translusen pucat sampai abu-abu atau putih sampal coklat.(Neville,2002).
(Leukoplakia homogen)
(Leukoplakia berbintik)
(Laskaris, 2006)


1. Pemeriksaan Histologis
Secara histologis, bentuk dan leukoplakia ditandai oleh pola yang berubah-ubah dan hiperkeratosis dan infiltrasi sel radang kronis dalam korium. Displasia ditandai dengan orientasi abnormal dan sel epitelnya, pleomorfisme selular dan atypia selular yang memberi kesan sebagai keganasan dini (stratifikasi epitel yang tidak teratur, hiperplasia dan lapisan basal, rete peg yang berbentuk seperti tetesan air mata, peningkatan jumlah gambaran mitotik, hilangnya polaritas dan sel basal, peningkatan perbandingan nukleus-sitoplasma, polimorfisme nukleus, dan hiperkromatism dan nukleus, pembesaran nukleolus, keratinisasi dan sel tunggal atau sel kelompok dalam stratum spinosum, dan hilangnya pola seluler yang lazim) (Neville,2002).
Submucous Fibrosis
Etiologi 
Oral submucosal fibrosismerupakan kronis, progresif pembentukan fibrosis, yang berpeluang sebagai lesi prekanker rongga mulut. Submucous fibrosis memiliki karakteristik adanya pertumbuhan dari jaringan fibrosa pada mukosa bukal dan palatal. Faktor penyebab utamanya karena kebiasaan mengunyah pinang. Faktor lain yang berkontribusi termasuk defisiensi zat besi dan vitamin B kompleks, khususnya asam folat yang berkepanjangan. Abnormalitas primer pada fibrosis submukosa adalah kombinasi dari produksi berlebih dan kurangnya degradasi kolagen oleh fibroblast.
Patogenesis
Kebiasaan mengunyah tembakau/pinang yang berkepanjangan akan menimbulkan hyperplasia fibroelastik dan terjadi modifikasi pada jaringan epitel pada mukosa oral.perubahan kondisi submukosa tersebut dimungkinkan karena efek dari pinang. Selain itu efek dari tembakau yang berkepanjangan juga dapat menyebabkan perubahan epitel sehingga memicu karsinogenesis.

Tanda klinis
Fibrosis submukosa banyak diderita oleh orang Asia Tenggara atau India, dan penderita banyak didominasi oleh usia 20-40 tahun. Ireguler, datar, lesi putih pada mulut terutama pada mukosa bukal, palatum lunak, juga pada esophagus dan faring. Tanda yang paling terlihat adalah terbentuknya fibrosa yang dapat di palpasi pada daerah pipi dan palatum lunak.. hal ini merupakan hasil dari kehilangan elastisitas dari jaringan dan keterbatasan dalam membuka mulut
Tanda dan gejala yang pertama kali muncul yaitu adanya vesikel, petechiae, melanosis, xerostomia, dan terasa  terbakar pada area oral secara umum. Area yang sering kali terkena adalah mukosa bukal,retromolar, dan palatum lunak. Jika lidah terlibat maka yang tampak lidahnya susah digerakkan dan ukuran lidahnya akan berubah.
Pemeriksaan penunjang
Dalam pemeriksaan histopatologi akan tampak kolagen jaringan ikat yang padat dan tidak berpembuluh darah (avaskular). Terdapat pula sel-sel inflamasi kronik dan pada lesi yang sudah menahun akan tampak epitel yang atropi. Untuk mengecek adanya karsinogenesis dapat dilakukan biopsy.
 
Lupus Erythematosus
Etiologi
Bersifat multifaktorial dengan unsure-unsur genetic, imunologis, lingkungan dan mungkin pula infeksi. Penyakit ini menyerang persendian, ginjal, jantung, kulit, parupzru dan pembuluh darah. 
Tanda klinis

Actinic Cheilosis
Actinic cheilosis merupakan alterasi premalignansi yang umum pada vermilion bibir bawah yang disebabkan karena paparan ultraviolet dari sinar matahari yang terjadi dalam waktu lama dan berlebihan. Masalah ini terbatas pada individu dengan tendensi terbakar sinar matahari yang mudah. Pekerjaan di luar ruangan diyakini berkaitan dengan masalah ini. Actinic cheilosis mirip dengan actinic keratosis pada kulit dalam hal patofisiologi dan ciri biologisnya.
Penampakan Klinis
Actinic cheilosis jarang terjadi pada orang berumur di bawah 45 tahun. Rasio terjadi antara pria dan wanita adalah 10 : 1. Lesi ini berkembang sangat lambat sehingga sering tidak disadari oleh pasien bahwa telah terjadi perubahan. Perubahan klinis yang paling awal terjadi adalah atropi pada vermilion border bibir bawah. Permukaan halus dan area sperti bisul yang pucat juga menandai lesi ini.
Batas antar vermilion dengan bagian cutaneous bibir tampak kabur.
  
Sejalan dengan berkembangnya lesi, akan berkembang area yang kasar dan bersisik pada bagian vermilion bibir yang lebih kering. Area ini akan menebal dan tampak seperti lesi leukoplakia, terutama bila meluas pada bagian bibir yang basah. Sisik tadi dapat dikelupas oleh pasien namun akan terbentuk lagi dalam beberapa hari.Pada perkembangan lebih lanjut, ulserasi fokal kronis akan berkembang pada satu atau lebih tempat, terutama pada tempat dengan trauma ringan dari pipa cerutu atau rokok. Ulserasi ini diperkirakan akan menjadi karsinoma sel skuamous jika dibiarkan dalam beberapa bulan.
Penampakan Histopatologis
Actinic cheilosis biasanya ditandai dengan atropi epithel skuamous berlapis, sering menunjukkan produksi keratin. Berbagai macam derajat dari displasia epithel juga terjadi. Infiltrat inflamasi kronis yang ringan tampak pada pemeriksaan di bawah mikroskop. Dasar jaringan ikat menunjukkan ikatan perubahan sel amorf, aselular, basofilik yang dikenal dengan Solar (Actinic) Elastosis. 

Akibat trauma
Lesi Putih Traumatic (Chemical Burn)
Chemical burn seringkali ditemukan pada pasien yang menggunakan analgesik, seperti aspirin atau asetaminofen dengan meletakkannya pada mukosa yang berdekatan dengan gigi yang sakit. Kasus lain dapat terjadi pada praktek dokter gigi yang memberikan obat-obat kaustik ke mukosa mulut pasien secara tidak hati-hati. Selain itu, chemical burn juga dapat terjadi pada penggunaan obat-obat tetes untuk sakit gigi yang mengandung creosote, gulacol, atau derivat fenol; penggunaan obat kumur yang berlebihan; larutan etil alkohol 70%; dan kokain yang ditempatkan pada mukosa mulut.
Chemical burn dapat terjadi bila senyawa analgesik yang mengandung asam asetil salisilat diletakkan dalam lipatan mukobukal untuk meredakan pulpitis, periostitis, atau abses periapikal. Lesi pseudomembranous yang sangat sakit berwarna putih dan berbentuk tidak teratur, akan timbul di daerah-daerah di mana obat-obatan tersebut berkontak dengan mukosa mulut. Seluruh mukosa pipi mungkin akan terserang secara difus. Jaringan akan terasa sakit dan daerah bekas kauterisasi yang berwarna putih dapat diangkat dengan mudah dan meninggalkan daerah perdarahan yang kasar dan sangat sakit (Neville, 2002).
Morsicatio (cheek bitting)
Hiperkeratosis dari trauma gesekan mungkin cukup
diterjemahkanberupa kasus menggigit atau mengunyah mukosa pipi atau bibir secara kronis (morsicatio buccarum, morsicatio labiorum).Lesi dapat muncul compang-camping atau seperti terbakar, dengan bidangulserasi atau kemerahan (Gambar 4,6-4,8). Krenasi karena menggigit lidah pada bagian lateral akan menimbulkan lesi lidah (morsicatio linguarum) dapatmenyerupai hairy leukoplakia. Diagnosis umumnyadibuat atas dasar klinis dengan dilakukan biopsy jika ada keraguan tentang etiologi. Hal ini hampirselalu tanpa gejala. Tidak ada potensi ganasdan tidak ada pengobatan khusus diperlukan, selainmencoba untuk menghilangkan sumber iritasi, setelah itulesi akan sembuh sendiri dalam 1-3 minggu. (Bruch, 2009)

Linea Alba
Linea alba tampak kurang lebih sebagai suatu garis tebal bergelombang pada mukosa pipi setinggi bidang okiusi dengan panjang yang bervariasi. Biasanya terlihat bilateral, cukup jelas pada beberapa orang dan berwarna kelabu pucat atau putih.Secara umum kelainan bertanduk tanpa gejala ini lebarnya 1 sampai 2 mm dan memanjang dan mukosa pipi daerah molar kedua sampai ke kaninus.
Perubahan-perubahan epitel yang menebal yang terdiri atas jaringan hiperkeratotik yang merupakan suatu respon terhadap gesekan pada gigi-gigi. Gambaran klinisnya menunjukkan ciri diagnostik sehingga mudah didiagnosa. Linea alba merupakan variasi normal dan tidak memerlukan perawatan (Neville, 2002).

Sistemis 
Tertiary syphilis
Etiologi :
Tertiary syphilis merupakan tahap laten sifilis. Dalam periode ini sudah melibatkan sistem saraf pusat, sistem vaskuler, dan bahkan terjadi destruktif pada berbagai mukosa tubuh. (Neville, et al., 2002)
Patogenesis :
Penyakit ini merupakan lanjutan dari tahap sekunder penyakit sifilis. Pada tahap ini terjadi destruksi berlebih pada mukosa kulit termasuk mukosa oral. (Neville, et al., 2002)
Perangai klinis :
Pada intraoral lesi mengenai palatum dan lidah. Ulserasi pada palatum bisa mengenai hidung dan menyebabkan destruksi pada hidung. Sedangkan pada lidah, timbul atrofi yang difus,  papilla pada dorsal lidah hilang, lesi pada lidah termasuk lesi putih. Terdapat pula ulserasi dengan pseudoepitheliomatosus di tepinya. (Neville, et al., 2002)
Histopatologi/pemeriksaan penunjang :
Pada gambaran histopatologi tampak granula inflamatori dengan adanya histiosit dan multinuclear giant cell(Neville, et al., 2002).
Treatment planning :
Perlu evaluasi dan pendekatan terapi sesuai dengan tahapan sifilis yang sedang muncul pada pasien (Neville, et al., 2002).
Vitamin B complex deficiency
Tidak dapat dipungkiri bahwa kekurangan vitamin, terutama kekurangan vitamin B kompleks akan dapat berkembang menjadi karakteristik lesi di rongga mulut. Manifestasi oral dapat sebagai hasil dari kekurangan single vitamin B atau gabungan vitamin B dan gabungan dari kekurangan niacin, riboflavin, asam folat, pyridoxine dan vitamin B12. Kekurangnan vitamin B12  menyebabkan anemia megaloblastik dan meningkat dari intake diet yang tidak adekuat, atropi lambung dengan kekurangna produksi faktor intrinsic (anemia pernisiosa) atau saluaran pencernaan yang terbatas penyerapannya.
Manifestasi oral yang paling sering terjadi karena kekurangan vitamin B komplek meliputi bibir dan lidah. Angular cheilitis atau pecah-pecah dan fisur sering ditemukan. Manifestasi yang lain atropi dari papilla lidah sehingga lidah terlihat halus, mengkilap dan gundul. Lidah dapat terlihat pucat atau merah menyala dan dapat membengkak atau menyusut.permukaan lidah dapat menjadi ulcer dan sensasi terbakar.

Lidah atropi terlihat gundul tanpa papilla
Burning Mouth Syndrome
Burning Mouth Syndrome (BMS) adalah suatu kondisi sensasi terbakar pada lidah atau membrane mukosa mulut yang lain. Pathogenesis dari BMS tidak begitu jelas. BMS paling banyak ditemukan pada anterior lidah, anterior palatum keras dan bibir bawah. BMS dapat berlangsung beberapa tahun. Sebagian besar dari pasien tidak dapat mengidentifikasi penyebabnya, kira-kira satu pertiga pasien mengetahui onset gejalanya karena tindakan dental, penyakit, atau antibiotic. Beberapa penyebabnya karena perubahan neurologic karena infeksi virus, kerusakan mekanis, atau neurotoxic efek dari local anestesi.
Sakit saat malam hari sering terjadi pada pasien BMS, sakit biasanya ringan, moderate sampai intensitas yang parah, bertahap meningkat dai siang hari dan mancapai intensitas maksimum pada malam hari. Banyak dari pasien yang mengeluh tidak bisa tidur malam hari. Hal ini berhubungan dengan perubahan aliran darah atau system saraf pusat selama tidur. Pemerisaan klinis  oral burning biasanya terjadi mulut kering dan haus (berkurangnya aliran saliva pada sebagian besar pasien), rasa yang berubah (dysgeusia), dan sakit tambahan yang lain termasuk sakit pada wajah dan sakit pada sisi lain. 
Burning Mouth Syndrome sebagai manifestasi dari penyakit sistemik atau kekurangan nutrisi terutama vitamin B dan zat besi. Pemeriksaan intraoral terdapat lesi jaringan lunak, contohnya gingivitis, periodontitis, lesi ulcer atau lesi erosi atau geografik, fisur, scallop atau eritematous lidah. Kemungkinan kondisi ini sama dengan Sjogren Sindrom, penyakit jaringan ikat dan diabetes yang disebabkan oleh perubahan neurupatik yang bermanifestasi menjadi sensasi mulut terbakar pada mulut. 
Anemia defiensi cobalamin (pernisiosa anemia)
Anemia adalah penyakit transport oksigen. Anemia defisiensi vitamin B12 disebabkan oleh atropi gastritis dan kekurangan intrinsic faktor. Hal ini sebagai faktor untuk menjadi megaloblastik anemia dengan penurunan jumlah sel darah merah yang ditunjukkan dengan perubahan makrositik hiperkromik yang menyebabkan transport uksigen menurun. Defisiensi vitamin B12 disebabkan atropi mukosa lambung sehingga tidak dapat menyintesis faktor intrinsic yang berfungsi untuk penyerapan dan transport vitamin B12. Atropi lambung dapat disebabkan oleh alcohol.  Manifestasi di rongga mulut adalah lidah merah dan membengkak dengan eritema di bagian ujung dan tepi. Papila lidah bekurang. Lesi mekula eritema juga ditemukan di mukosa bukal dan labial. Pasien tidak bisa merasakan rasa dan terjadi sensasi rasa terbakar. 
Pemeriksaan histologisepitel atrofi, pembesaran inti sel basal, meningkatnya mitosis di epitel basal, epitel dysplasia,dan ditemukannya limfosit, sel plasmadan PMN di lamina propia.
(Greenberget al., 2003)


ü Iron defisiensi
Iron defisiensi ditandai dengan palor dan kelesuan. Wanita lebih sering mangalami iron defisiensi daripada laki-laki. Nama lain dari anemia defisiensi zat besi adalah anemia kekurangan darah, hypochromic microcytic anemia. Anemia defisiensi zat besi bisa terjadi karena perdarahan atau penurunan absorbs dari zat besi. Pasien merasakan lemah dan dypsnea.
Anemia ini terjadi karena kekurangan intake dari zat besi. Anemia ini mengakibatkan atropik di mukosa saluran pencernaan. Manifetasi klinis dari defisiensi zat besi adalah hilangnya papilia lidah yang menyebabkan ketidaknyamanan yang dirasakan pasien, mukosa pucat, epitel atropi dengan pengelupasan keratinisasi yang berlebihan.  Lidah halus dengan atropi papilla filiformis dan papilla fungiformis.
Pemeriksaan histologis mukosa lidah menunjukkan berkurangnya ketebalan lidah dangan berkurangnya sel dan meningkatnya progenitor cell layer. Sel lidah akan menurun ukurannya di lapisan yang matur dan nucleocytoplasmic melebihi dari rasio normal.
ü Uremic stomatitis
Etiologi
Uremic stomatitis merupakan manifestasi dari gagal ginjal akut ataupun kronis. Kemungkinan manifestasinya di oral diakibatkan oleh urease yang dihasilkan mikroflora oral yang mendegradasi urea yang disekresi saliva. Degradasi tersebut menyebabkan adanya ammonia bebas  yang merusak mukosa oral. (Neville, et al., 2002)
Perangai klinis
Terdapat plak putih yang terdistribusi pada bukosa bukal, lidah, dan dasar lidah. Pasien akan merasakan nyeri pada oral, pengecapan yang kurang baik, dan rasa seperti terbakar. Selain itu akan muncul bau ammonia atau urea pada napas pasien. (Neville, et al., 2002)
Treatment planning
Uremic stomatitis dapat sembuh 2 hingga 3 minggu setelah dialisis atau cuci darah. Selain itu dapat pula diberikan obat kumur yang bersifat asam untuk mengatasi lesi oral. Untuk mengatasi rasa sakit dapat diberikan terapi paliatif ataupun diberikan topikal anastesi. Hal terpenting yang harsu dilakukan yaitu mengatasi kondisi gagal ginjal pasien. (Neville, et al., 2002)
ü Lidah geografik (geographic tongue)
Lidah geografik adalah suatu keadaan peradangan jinak yang disebabkan oleh karena pengelupasan keratin superficial dan papilla-papila filiformisnya. Penyebabnya tidak diketahui tetapi dapat diperkirakan stress emosional, defisiensi nutrisi dan herediter.  Keadaan itu biasanya terbatas pada dorsal dan tepi-tepi lateral dua pertiga anterior lidah dan hanya mengenai papilla filiformis sedang papilla fungiformis tetap baik.
Lidah geografik ditandai oleh bercak-bercak gundul merah muda sampai merah, tunggal atau multiple dari papilla filiformis yang dibatasi/tidak dibatasi oleh pinggiran putih yang menimbul. Dapat disertai dengan lirik peradangan merah di tepi lesinya. Jika ada peradangan, maka rasa sakit seringkali merupakan suatu gejala. Lesinya terus-menerus berubah pola dan berpindah dari suatu daerah ke daerah lain: karena nama sinonimnya adalah “glositis migratori jinak”, “eritema migrant” dan  “wandering rash”.
Lidah geografik adalah umum dan mengenai kira-kira 1 sampai 2% penduduk. Paling sering mengenai wanita dan orang-orang dewasa usia muda sampai pertengahan. Keadaaan tersebut dapat timbul tiba-tiba dan menetap selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Terlihat hilang spontan dan kambuh kembali. Lidah geografik kadang-kadang dijumpai dalam kaitan dengan mukosa yang sesuai, area eritema migrans (migratory mucositis, stomatitis geografik, lidah geografik ektopik) dan lidah berfisur. Eritema migrans, jika tanpa gejala adalah tidak berbahaya sama sekali dan tidak memerlukan perawatan. Kadang-kadang saja suatu eritema migrans mengakibatkan bercak-bercak merah dan rasa terbakar. Obat anastesi topical atau steroid topical dapat diberikan pada pasien-pasien dengan gejala. Secara histologis lesi-lesi ini mirip psoiriasis, tetapi telah diterima secara umum bahwa kedua kondisi ini sesungguhnya berbeda, meskipun kadang-kadang dapat ada bersama-sama.

DAFTAR PUSTAKA

Widoyono. 2005. Penyakit Tropis: Epidomologi, penularan, pencegahan, dan pemberantasannya.. Jakarta: Erlangga Medical Series

Muhajir. 2007. Pendidkan Jasmani Olahraga dan Kesehatan. Bandung: Erlangga

Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1993. Mikrobiolog Kedokteran. Jakarta Barat: Binarupa Aksara

Djuanda, adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Mandal,dkk. 2008. Penyakit Infeksi. Jakarta: Erlangga Medical Series

Ganzberg, S. 2010. Pain Management Part II : Pharmacologic Management of Chronic Orofacial Pain. Anesth Prog. 57: 114-119.
Higler, AB. 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta : EGC.
Lucent, FG. 2011. Ilmu THT. Jakarta : EGC.
Martin, WJ; Perez, RS; Tuinzing, DB; Forouzanfar, T. 2012. Efficacy of antidepressant on Orofacial Pain : a systematic review. International Journal of Oral and Maxillofacial Surgery. 41(12): 1532-9.
Scylly, C. 2008. Oral and Maxillofacial Medicine : the basis of diagnosis and treatment. Edinburg : Churchill Livingstone.
Greenberg MS, Glick M. 2003.Burket’s Oral Medicine Diagnosis & Treatment 10th Edition. Ontario: BC Decker. Inc.

Neville, BW et al. 2002. Oral and Maxillofacial Pathology. 2nd ed. Saunders Company: Philadelphia
Laskaris, G. 2006. Pocket Atlas of Oral Diseases. New York: Thieme



Comments

Popular posts from this blog

KUMPULAN SOAL OSCE, PRETEST, DAN UKMP PART 2

KUMPULAN SOAL CBT, OSCE, UKMP, PRETEST PART 12