ORAL SWELLING
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebanyakan orang beranggapan bahwa air liur atau
saliva tidak mempunyai arti apa-apa dan sering dilihat sebagai suatu benda yang
menjijikkan. Sebaliknya tanpa kita sadari, akhir-akhir ini, cairan di dalam
rongga mulut ini bukan saja penting untuk pencernaan makanan tetapi juga dapat
memberi informasi tentang kondisi tubuh dan digunakan secara meluas untuk
mendiagnosa penyakit lokal dan sistemik.Dalam keadaan normal, mukosa mulut
selalu dibasahi oleh saliva. Hal ini merupakan faktor penting karena bila tidak
dibasahi saliva akan menyebabkan masalah bau mulut, kesukaran berbicara,
mengunyah, menelan, rasa sakit pada lidah dan penyakit tubuh secara
keseluruhan.
Saliva berperan penting dalam melindungi gigi
dan selaput lunak di dalam rongga mulut melalui sistem buffer sehingga makanan
yang terlalu asam misalnya dapat dinetralkan kembali keasamannya dan juga
segala macam bakteri baik yang aerob (hidup dengan adanya udara) maupun bakteri
anaerob (hidup tanpa udara) dijaga keseimbangannya.Saliva juga mempunyai
antigen dan antibodi yang berfungsi melawan kuman dan virus yang masuk ke dalam
tubuh sehingga tubuh tidak akan mudah terserang penyakit.. Kadar aliran saliva
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor dan penyakit. Peningkatan dan
pengurangan aliran saliva dapat memberi efek pada kesehatan rongga mulut dan
kesehatan organ tubuh yang lain (Coleman, 1993)
Glandula saliva atau kelenjar saliva merupakan
organ yang terbentuk dari sel-sel khusus yang dapat mensekresi saliva. Saliva
adalah cairan oral yang kompleks dan tidak berwarna yang terdiri dari campuran sekresi
dari kelenjar besar dan kelenjar kecil (mayor dan minor) yang ada di mukosa
oral. Saliva sendiri memiliki fungsi yaitu melicinkan dan membasahi rongga
mulut sehingga membantu proses mengunyah dan menelan makanan, membasahi dan
melembutkan makanan menjadi bahan setengah cari ataupun cair sehingga mudah ditelan
dan dirasakan, membersihkan rongga mulut dari sisa-sisa makanan dan bakteri,
mempunyai aktivitas antibakteri dan sistem buffer, membantu proses pencernaan
makanan melalui aktivitas enzi ptyalin dan lipase ludah, berpatisipasi dalam
proses pembekuan dan penyembuhan luka karena teradapat faktor pembekuan darah ,
jumlah sekresi air ludah dapat dipakai sebagai ukuran tentang keseimbangan air
dalam tubuh, dan membantu dalam berbicara (pelumasan pada pipi dan lidah).
Apabila terjadi kelainan pada kelenjar saliva , akan terjadi dampak yang dapat
mengurangi fungsi saliva sehingga menyebabkan berbagai masalah pada rongga
mulut (Whelton,1996)
1.2 Tujuan
Mengetahui
etiologi, patogenesis, tanda dan gejala serta dapat mengemukakan suatu diagnosa
maupun diagnosis banding pada salah satu kasus penyakit pada glandula saliva
yang bermanifestasi didalam rongga mulut
1.3 Manfaat
Memberi
informasi mengenai tanda dan gejala suatu penyakit glandula saliva yang
bermanifestasi di rongga mulut yang mungkin ditemukan di klinik, sehingga
memberikan gambaran yang jelas untuk mendiagnosa dengan mempertimbangkan
beberapa faktor seperti etiologi dan perjalanan penyakit
Intisari
Saliva merupakan cairan jernih yang terdapat di
dalam mulut dan dihasilkan oleh kelenjar saliva. Saliva sangat diperlukan,
karena diantaranya berfungsi untuk membuat mulut tetap basah, membantu
melindungi gigi dari kerusakan, membantu proses penghancuran makanan, dan mematikan mikroba. Beberapa
penyakit dan obat-obatan dapat berefek
pada jumlah saliva yang diprouksi. Jika terjadi penurunan jumlah saliva
(hyposalivasi), maka mulut menjadi kering yang disebut sebagai xerostomia. Pada
keadaan mulut menjadi kering, pencecapan berkurang dan mengganggu proses
bicara. Disamping itu mulut kering dapat menyebabkan gusi, lidah dan jaringan
lain dalam mulut menjadi bengkak, dan dapat mempercepat terjadinya kerusakan
gigi.
Pada kasus pasien dengan keluhan lidah rasa
terbakar, tidak nyaman pada mulut dan pencecapan serta terjadi gangguan makan
dan bicara, ada kecurigaan terjadinya hiposalivasi. Kecurigaan ini diperkuat
dengan hasil pemeriksaan intra oral yakni, ludah
nampak kental dan lengket, lidah depapilasi, merah serta bagian posterior
tertutup lapisan putih yang saat dikerok terjadi kemerahan, dan terdapat marginal gingivitis. Disamping
itu pada mukosa bukal dan sulkus labialis nampak merah dan atrofik, serta
terdapat karies servikal pada sebagian besar gigi-giginya. Berdasarkan riwayat
pasien diketahui bahwa pasien banyak mengkonsumsi berbagai macam obat-obatan
diantaranya adalah Calcium Channel Blocker dan ACE inhibitor, sebagai
antihipertensi karena pasien menderita hipertensi. Kedua jenis obat tersebut
diketahui mempunyai efek samping yang signifikan dalam menurunkan produksi
saliva. Usia pasien yang sudah tua dan penyakit DM yang diderita pasien juga
memiliki peran dalam memperparah kondisi pasien, oleh karena umur dan penyakit
sistemik DM berdampak pada penurunan produksi saliva.
Berdasarkan
hasil analisis dan etiologi dari berbagai propabilitas tersebut dapat disimpulkan
bahwa pasien tersebut utamanya menderita hiposalivasi yang diinduksi oleh obat
(drug induced hyposalivation) dengan manifestasi xerostomia.
Seperti kita ketahui bahwa xerostomia persisten mampunyai ciri-ciri seperti
tersebut di atas. Adapun terbentuknya lapisan putih pada posterior lidah pasien
yang sewaktu dikerok meninggalkan warna merah merupakan tanda terjadinya
candidiasis, yang disebabkan oleh adanya
infeksi Candida
albicans. Munculnya candidiasis tersebut
merupakan akibat dari hiposalivasi, yang menyebabkan infeksi mikroba tidak
dapat dikendalikan.
Walaupun
penurunan produksi saliva dapat pula disebabkan karena terjadinya autoimun,
akan tetapi untuk memastikan pada kasus pasien tersebut masih perlu pemeriksaan
lebih lanjut dengan teliti.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Struktur dan
Fungsi Kelenjar Saliva
Saliva adalah suatu cairan oral yang
kompleks dan tidak berwarna yang terdiri atas campuran sekresi dari glandula
saliva mayor dan minor yang ada pada mukosa oral. Saliva dapat disebut juga
glandula ludah atau glandula air liur. Semua glandula saliva mempunyai fungsi
untuk membantu mencerna makanan. Pembentukan glandula saliva dimulai pada awal
kehidupan fetus (4 – 12 minggu) sebagai invaginasi epitel mulut yang akan
berdiferensiasi ke dalam duktus dan jaringan asinar (Roth and Camles, 1981).
Saliva terdapat sebagai lapisan
setebal 0,1-0,01 mm yang melapisi seluruh jaringan rongga mulut. Ekskresi
saliva pada orang dewasa berkisar antara 0,3-0,4 ml/menit sedangkan apabila distimulasi, banyaknya saliva normal adalah 1-2 ml/menit. Menurunnya pH dan jumlah
saliva menunjukkan adanya resiko terjadinya karies yang tinggi. Dan
meningkatnya pH saliva akan mengakibatkan pembentukan karang gigi (Brainerd,
1968).
Saliva
diproduksi secara berkala dan susunannya sangat tergantung pada umur, jenis
kelamin, makanan saat itu, intensitas dan lamanya rangsangan, kondisi biologis,
penyakit tertentu dan obat-obatan. Manusia memproduksi sebanyak 1000-1500 cc
saliva dalam 24 jam, yang umumnya terdiri dari 99,5% air dan 0,5 % lainnya
terdiri dari garam, zat organik dan zat anorganik. Unsur-unsur organik yang
menyusun saliva antara lain : protein, lipid, glukosa, asam amino, amonia,
vitamin, dan asam lemak. Unsur-unsur anorganik yang menyusun saliva antara lain
: Sodium, Kalsium, Magnesium, Bikarbonat, Khloride, Rodanida dan Thiocynate
(CNS), Fosfat, Potassium. Yang memiliki konsentrasi paling tinggi dalam saliva
adalah kalsium dan Natrium (Roth and Camles, 1981).
Saliva
memiliki beberapa fungsi, yaitu (Brainerd, 1968) :
1.
Melicinkan
dan membasahi rongga mulut sehingga membantu proses mengunyah dan menelan
makanan
2.
Membasahi
dan melembutkan makanan menjadi bahan setengah cair ataupun cair sehingga mudah
ditelan dan dirasakan
3.
Membersihkan
rongga mulut dari sisa-sisa makanan dan kuman
4.
Mempunyai
aktivitas antibacterial dan sistem buffer
5.
Membantu
proses pencernaan makanan melalui aktivitas enzim ptyalin (amilase saliva) dan
lipase saliva
6.
Berpartisipasi
dalam proses pembekuan dan penyembuhan luka karena terdapat faktor pembekuan
darah dan epidermal growth
factor pada saliva
7.
Jumlah
sekresi saliva dapat dipakai sebagai indicator keseimbangan air dalam tubuh.
8.
membantu
dalam berbicara
Saliva
memegang peranan dalam masalah bau mulut, gigi berlubang dan penyakit rongga
mulut maupun penyakit sistemik karena saliva melindungi gigi dan jaringan lunak
di rongga mulut dengan sistem buffer sehingga makanan yang terlalu asam
misalnya bisa dinetralkan kembali keasamannya dan juga segala macam bakteri
baik yang aerob maupun anaerob dijaga keseimbangannya. Di dalam saliva juga
terdapat antigen dan antibodi yang berfungsi melawan kuman dan virus yang masuk
ke dalam tubuh sehingga tubuh tidak akan mudah terserang penyakit (Haskell dan
Gayford, 1991).
Penggunaan
obat kumur ataupun antiseptik yang berlebihan
akan mengakibatkan terganggunya keseimbangan flora normal di dalam
mulut, flora normal menjadi turun sedangkan mikroorganisme pathogen meingkat
sehingga menimbulkan masalah dalam rongga mulut. Adanya bakteri asidogenik
dapat membuat sisa makanan di gigi maupun mukosa rongga mulut terfermentasi
sehingga timbul toksik asam yang akan membuat email mengalami demineralisasi.
Selain itu bakteri anaerob juga bisa mengeluarkan gas yang mudah menguap antara
lain seperti gas H2S (Hidrogen Sulfid), Metil Merkaptan dan
lain-lain yang akan menimbulkan bau mulut (Haskell dan Gayford, 1991).
Pada
orang-orang yang mengalami diabetes, perokok, makan obat-obatan tertentu, orang
lanjut usia, maupun orang yang menjalani terapi radiasi pada penderita kanker
memiliki kecenderungan jumlah saliva yang berkurang. Hal ini bisa diatasi
dengan terapi obat-obatan yang merangsang produksi saliva (Haskell dan Gayford,
1991).
Macam-macam
glandula saliva (Brainerd, 1968):
1. Glandula saliva utama/mayor
Glandula
saliva mayor terdiri dari :
a) Glandula Parotis
Glandula parotis terletak dibagian bawah telinga di belakang
ramus mandibula. Glandula parotis merupakan glandula saliva terbesar yang
terletak antara prossesus mastoideus dan ramus mandibula. Duktus glandula
ini bermuara pada vestibulum oris pada lipatan antara mukosa pipi dan
gingiva di hadapan molar 2 atas. Glandula parotis dibungkus oleh jaringan
ikat padat dan mengandung sejumlah besar enzim antara lain amilase lisozim,
fosfatase asam, aldolase, dan kolinesterase. Secara morfologis glandula parotis
merupakan glandula tubuloasinus (tubulo-alveolar) yang bercabang-cabang (compound tubulo alveolar gland)
(Brainerd, 1968).
Saluran keluar utama (duktus interlobaris) disebut duktus
stenon (stenson) yang terdiri dari epitel berlapis semu sedangkan ke arah dalam
organ duktus ini bercabang-cabang menjadi duktus interlobularis dengan sel-sel
epitel berlapis silindris. Duktus interlobularis ini kemudian bercabang-cabang
menjadi duktus intralobularis. Kebanyakan duktus
intralobularis merupakan duktus Pfluger yang mempunyai epitel
selapis silindris yang bersifat acidophil dan menunjukkan garis-garis
basal (Brainerd, 1968).
b) Glandula Submandibularis
(submaksilaris)
Terletak dibagian bawah corpus mandibula. Glandula ini
terletak disebelah dalam korpus mandibula dan mempunyai duktus ekskretoris
yaitu duktus wharton yang bermuara pada dasar rongga mulut pada frenulum
lidah, dibelakang gigi seri bawah. Glandula ini merupakan glandula yang
memproduksi saliva terbanyak yang bersifat seromukus. Seperti juga glandula
parotis, glandula submandibularis diliputi kapsel yang terdiri dari
jaringan ikat padat yang juga masuk ke dalam organ dan membagi organ tersebut
menjadi beberapa lobules (Brainerd, 1968).
c) Glandula Sublingualis
Terletak dibawah lidah dan merupakan glandula terkecil dari
glandula-glandula saliva mayor. Terletak pada dasar rongga mulut, dibawah
mukosa dan mempunyai duktus ekskretoriusyang disebut Duktus Rivinus.
Bermuara pada dasar rongga mulut dibelakang muara duktus Wharton pada frenulum
lidah. Glandula sublingualis tidak memiliki kapsel yang jelas tetapi memiliki
septa-septa jaringan ikat yang tebal. Secara morfologis glandula ini merupakan
glandula tubuloalveolar bercabang-cabang (compound tubuloalveolar gland) dan merupakan glandula dimana
sebagian besar asinusnya adalah mukus murni (Brainerd, 1968).
2.
Glandula saliva
tambahan/minor
Glandula saliva minor merupakan
glandula-glandula kecil yang terletak di dalam mukosa atau submukosa dan hanya menyumbangkan 5% dari ekskresi
saliva. Glandula salivarius minor antara lain terdiri dari (Brainerd, 1968) :
a) Glandula labialismterdapat pada
bibir atas dan bibir bawah dengan asinus seromukus
b) Glandula bukalis terdapat pada
mukosa pipi, dengan asinus seromukus
c) Glandula Bladin-Nuhn (glandula
lingualis anterior) terletak pada bagian bawah ujung lidah di sekitar garis
median, dengan asinus seromukus
d) Glandula Von Ebner (Gustatory Gland atau albuminous gland)
terletak pada pangkal lidah, dengan asinus murni serus
e) Glandula Weber yang juga terdapat
pada pangkal lidah dengan asinus mukus.
Glandula
Von Ebner dan Weber disebut juga glandula lingualis posterior
f) Glandula pada palatum dengan asinus
mukus.
Struktur glandula saliva
Tiap-tiap
glandula sebagai suatu organ terdiri dari (Roth and Camles, 1981) :
1. Parenkim, yaitu bagian glandula yang
terdiri dari asinus dan duktus yang bercabang. Asinus merupakan bagian
sekretoris yang mengeluarkan sekret. Sekret ini akan dialirkan melalui suatu
duktus untuk disalurkan ke dalam rongga mulut (Roth and Camles, 1981).
2. Stroma/jaringan ikat interstisial
yang merupakan jaringan antara asinus dan duktus. Jaringan ikat ini membungkus
organ (kapsel) dan masuk kedalam organ serta membagi organ tersebut menjadi
lobus dan lobulus. Pada jaringan ikat tersebut ditemukan duktus glandula,
pembuluh darah, saraf dan jaringan lemak (Roth and Camles, 1981).
Sel
penyusun glandula saliva
1. Unit sekretori
Terdiri
dari : sel-sel asinar, duktus interkalaris, duktus striata, dan main excretory ducts. Sel-sel ini yang
bertanggung jawab besar untuk sekresi dan modifikasi dari saliva, sel-sel
plasma juga berkontribusi pada sekresi saliva, setidaknya pada glandula minor
(Roth and Camles, 1981).
2. Unit non sekretori
Terdiri
dari myoepitel sel dan sel saraf (Roth and Camles, 1981).
Inervasi glandula saliva (Haskell and Gayford, 1991) :
-
Glandula
saliva disarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis (N VII)
-
Saraf
parasimpatis merangsang keluarnya saliva
-
Saraf
simpatis merangsang reseptor α dan β
Glandula
saliva mendapatkan inervasi saraf parasimpatis dari nukleus saliva inferior,
sedangkan glandula submandibula dan sublingualis mendapat inervasi saraf dari
nukleus saliva superior. Saraf simpatis untuk glandula parotis,
submandibularis, dan sublingualis berasal dari ganglion simpatis servikal
superior, dengan pleksus saraf yang berjalan ke glandula saliva di sepanjang
arteri. Glandula saliva minor mungkin juga mempunyai inervasi saraf simpatis
dan parasimpatis (Haskell and Gayford, 1991).
Saliva
merupakan campuran dari beberapa sekresi glandula saliva. Sekresi normal saliva
sehari berkisar antara 800–1500 ml. Pada umumnya saliva merupakan cairan
viskous, tidak berwarna yang mengandung air, mukoprotein, immunoglobulis,
karbohidrat dan komponen-komponen organis seperti, Ca, P, Na, Mg, Cl, Fe, dan
J. Selain itu saliva juga mengandung enzim amilase yaitu ptyalin. Selanjutnya
saliva juga mengandung sel-sel desquamasi yang lazim disebut korpuskulus
salivatorius (Roth and Camles, 1981).
Komposisi
saliva sangat tergantung pada keaktivan glandula- saliva. Sekresi glandula
saliva dapat terjadi karena diperngaruhi oleh beberapa faktor, yaitu refleks saraf, rangsangan mekanis, dan
rangsangan kimaiwi. Bahan makanan dan zat kimia dapat memberi rangsangan langsung
pada mukosa mulut. Bahan makanan juga dapat merangsang serat saraf eferen yang
berasal dari bagian thorakal. Sekresi saliva dapat pula timbul secara
reflektoris hanya dengan jalan mencium bau makanan, melihat makanan, atau
bahkan dengan memikirkan dan membayangkan makanan (Haskell and Gayford, 1991).
Saliva
mengandung 2 tipe sekresi protein yang utama yaitu sekresi serus yang merupakan
enzim untuk mencernakan serat seperti ptyalin, dan sekresi mukus untuk
pelumasan dan perlindungan permukaan. Pada umumnya glandula saliva kaya dengan
pembuluh darah. Pembuluh darah besar berjalan bersama-sama dengan duktusnya
pada jaringan ikat interlobularis dan bercabang mengikuti cabang duktusnya ke
dalam lobuli, dimana pada akhirnya pembuluh darah ini akan membentuk anyaman
kapiler mengitari asinus dan akhirnya kembali membentuk vena yang berjalan
bersama-sama dengan pembuluh darah arteri (Brainerd, 1968).
Faktor
yang mempengaruhi sekresi saliva (Roth and Camles, 1981):
· Irama siang malam
· Sifat dan besar stimulus
· Tipe glandula
· Diet
· Umur, jenis kelamin dan fisiologi
seseorang
· Kadar hormon
· Elektrolit
· Kapasitas buffer
· Obat-obatan
· Gerak badan
II.2 Klasifikasi
Kelainan/Penyakit Kelenjar Saliva
1. Gangguan
perkembangan kelenjar saliva
a. Aberrancy
b. Aplasia
dan hipoplasi
c. Hyperplasia
d. Atresia
e. Duktus
aksesori
f. Divertikuliti
g. Fistula
congenital
h. Defek
perkembangan
i. Darier’s
disease
2. Gangguan
fungsi kelenjar saliva
a. Sialorrhea
(ptyalism)
b. Xerostomia
3. Gangguan
obstruktif
a. Sialolitiasis
b. Mucous
plug
4. Kista
kelenjar saliva
a. Mucocele
b. Ranula
5. Pembesaran
kelenjar saliva
a. Sialadenitis
alergika
b. Malnutrisi
atau alkoholik
6. Infeksi
virus
a. Mumps
b. Infeksi
sitomegalovirus
c. Infeksi
HIV
d. Infeksi
hepatitis C virus
7. Infeksi
bakteri
8. Gangguan
auto-imun
a. Sjogren
syndrome
b. Miculicz’s
disease atau benign lympho-epithelial lesion
9. Neoplasma
a. Benign
neoplasma
b. Malignant
neoplasma
Sumber : Bahan ajar Oral Medicine 2. Topik Kelainan
kelenjar saliva FKG UGM
Aberrancy
Merupakan
gangguan pada proses pembentukan diakibatkan oleh distribusi yang meluas dari
jaringan aksesoris glandula salivarius pada rongga mulut, sangat sulit untuk
membedakan bahwa itu merupakan kondisi aberrancy. Karena jaringan aksesoris
dari glandula salivarius bisa ditemukan pada bibir, palatum, mucosa bukal,
dasar mulut, lidah dan area retromolar, aberrancy bisa ditafsirkan sebagai
situasi yang ringan dimana glandula ini ditemukan lebih jauh dari lokasi
normalnya. Secara klinis tidak ada tanda yang signifikan dari aberrancy
glandula salivarius kecuali adanya penemuan lokasi yang terjadi pembentukan
retensi kista atau neoplasma (Rajendran, 2009).
Pada
beberapa kasus terkadang dilaporkan ditemukannya jaringan glandula saliva pada
tubuh mandibula. Telah ditemukan dari berbagai contoh bahwa jaringan glandular
secara anatomis berhubungan dengan glandula submaxila atau sublingual, melalui
sebuah batang atau pedicle dari jaringan dimana perforasi ke tulang kortikal
lingual. Alasan inilah aberrancy bisa dibedakan ketika kondisinya sudah ekstrim
dikenal sebagai developmental lingual
mandibular salivary glang depression. Treatment
yang mungkin dilakukan pada kondisi ini ialah eksplorasi pada rongga mulut,
lokasi yang diyakini terdapat aberrancy dilakukan observasi (Rajendran, 2009).
Aplasia/
Hipoplasia
Aplasia
glandula salivarius adalah suatu kondisi dimana tidak ada glandula baik
unilateral atau bilateral. Aplasia menjadi manifestasi dari terbentuknya
xerostomia. Diagnosis dari aplasia glandula salivarius dibuat setelah
mengeluarkan semua penyebab yang biasanya mengakibatkan xerostomia, Sjogren
syndrome, dan radiasi. CT scan atau MRI akan mengindikasikan hilangnya glandula
dan digantikan oleh jaringan lemak dan fibrous. Hilangnya ductus salivarius
merupakan tanda – tanda tambahan
(Rajendran, 2009).
Aplasia
muncul tanpa alasan yang pasti dan dimasukkan ke dalam penemuan yang terisolasi
atau ditafsirkan sebagai defek pada pembentukan seperti hemifacial microsomia, sindrom LADD, dan mandibulo-facial dysostosis. Kehilangan saliva mengarahkan pada
peningkatan karies, sensasi terbakar, infeksi oral, sensasi rasa yang
menyimpang, susah untuk retensi denture dan bisa menuju ke xerostomia (Rajendran, 2009).
Treatment
untuk aplasia glandula salivarius ialah meghilangkan xerostomia dan efeknya.
Penggantian saliva, pembersihan mulut secara berkala, perawatan dental yang
komprehensif, terapi fluoride, dan kebersihan rongga mulut menjadi bagian
terpenting dari managemen perawatan yang sukses
(Rajendran, 2009).
Duktus
saliva Aksesori
Duktus aksesori
adalah umum dan tidak memerlukan
pengobatan. Di sebuah studi
dari 450 kelenjar
parotis oleh Rauch
dan Gorlin (1970), setengah dari probandus memiliki duktus
parotis aksesori. Yang paling sering lokasi superior dan anterior ke
lokasi normal duktus Stenson.
Duktus saliva aksesori adalah variasi anatomi normal dan bukan merupakan
penyakit, namun penting untuk dipelajari agar menghindari kesalahan diagnosis,
bedah, maupun interpretasi radiografi yang berkenaan dengan daerah di sekitar
kelenjar saliva tersebut.
Kelenjar
parotid (KP), kelenjar ludah terbesar, adalah kelenjar yang terletak anterior
dan inferior dari meatus akustik eksternal, sebagian menutupi ramus mandibula
dan otot masseter (Stranding, 2005). Air liur yang diproduksi oleh kelenjar
parotis terutama serosa dengan kandungan
amilase dan Immunoglobulin A yang tinggi. Kelenjar parotis dibentuk oleh
berkembang biak ektoderm dari rongga mulut primitif, yang berinvaginasi dari
jaringan mesenkim berdekatan selama minggu keenam perkembangan pra-natal.
Invaginasi tersebut menimbulkan beberapa kuncup epitel yang berkembang biak dan
bermigrasi di posterior rantai sel yang membungkuk untuk membentuk duktus
dengan waktu minggu kesepuluh kehamilan tercapai. Posterior ujung setiap
struktur epitel berdiferensiasi membentuk asinus, yang memulai fungsi sekresi
mereka sekitar delapan belas minggu kehamilan (Moore & Persaud, 2002).
Duktus
langsung terkait dengan jaringan sekretori memiliki diameter yang lebih kecil
dan dilapisi dengan satu lapisan sel epitel kubus. Duktus-duktus ini bergabung
dan membentuk bagian yang lebih besar hingga duktus ekskretoris memiliki
lapisan sel epitel berlapis berbentuk kubus, diikuti oleh duktus yang lebih
besar berjajar dengan lapisan sel epitel cilindridal, yang akhirnya
menggabungkan untuk membentuk duktus utama tunggal, duktus Stensen. Ini
dibentuk oleh duktus kecil tergeletak di dekat margin posterior ramus dari
mandibula, dan ukuran sekitar 5 cm (Williams et al., 1995, Peterson et al,
2002).
Duktus
Stensen, kemudian, melintas secara horizontal dari batas anterior ramus
mandibula, melewati lateral ke otot masseter, terjadi di sekitar batas anterior
dan melalui otot buccinator berakhir ke dalam rongga mulut (Jébéjian &
Hajenlian, 1993; Gleeson, 1997). Diameternya berukuran dari 3 sampai 4 mm dan
menunjukkan pengurangan ditandai mendekati rongga mulut (Williams et al,.. Zenk
et al, 1998). Seiring jalannya duktus Stensen terletak sebuah kelenjar aksesori
parotis (Rahmathulla, 1973;. Peterson et al), di lateral ke otot masseter
antara duktus parotis dan lengkungan zigomatic. Duktus kecil yang berasal dari
kelenjar aksesori ini kosong ke dalam duktus parotis (Moore & Dalley,
2005).
Pengetahuan
yang tepat dari topografi yang normal anatomi dan variasi duktus Stensen sangat
relevan dengan prosedur klinis termasuk analisis gambar radiografi (Samanta
dkk., 2007) dan CT-scan yang digunakan dalam sialography (Bahadir et al.,
2004), serta untuk endoskopi duktus, lithotripsy dan stimulasi saraf wajah
trans-duktal pada tahap awal palsy wajah (Thibault dkk, 1993;. Zenk et al,.
Moore & Dalley).
Studi
akhir-akhir ini melaporkan bahwa anatomi variasi duktus parotis adalah kasus yang
jarang, yang tampaknya menjadi beberapa relevansi dengan beberapa prosedur
diagnostik dan bedah intervensi pada praktik klinik sehari-hari (Fernandes et
al, 2009)
Meskipun kehadiran parotis duktus kedua tidak
tidak mencerminkan pada setiap kerusakan pada drainase
sekresi saliva, jika keberadaannya tidak disadari dapat
mengakibatkan peristiwa yang tidak diinginkan selama prosedur pembedahan
atau ketidaktepatan dalam tes diagnostik mengenai kelenjar
parotis atau radiografi struktur anatomi tetangga.
Kami merekomendasikan bahwa ahli bedah dan ahli
radiologi melakukan setiap prosedur di wajah selalu
menanamkan dalam pikiran potensi variasi anatomi
yang dilaporkan ini. (Fernandes et al, 2009)
Anatomi dari duktus parotid (duktus Stensen)
adalah sangat penting bagi
orang-orang profesional melakukan diagnostik dan
prosedur bedah yang melibatkan kelenjar parotid dan bangunan di sekitarnya.
(Zenk et al,. Bahadir et al,. Samanta dkk.) Aktan et al.
(2001) melaporkan kasus duktus parotid ganda dalam aspek kanan wajah pada
subyek manusia laki-laki 63 tahun. Para penulis menganggap masing-masing duktus
ini sebagai ekstensi dari duktus intra-parotid
ascendens dan descendens, yang tidak bergabung
dalam kelenjar parotid seperti itu terjadi secara normal. Kami juga melaporkan kasus duktus parotis ganda dalam aspek kanan
wajah. Namun kita tidak dapat menentukan fitur masing-masing cabang dari duktus ganda (D1 dan D2) di dalam
kelenjar parotid. (Fernandes et al, 2009)
Literatur melaporkan duktus parotis sebagai
berjalan di bawah lengkungan
zygomatic dan lateral ke otot masseter sampai mencapai
perbatasan anterior otot ini, di mana duktus itu membelok ke medial untuk menembus otot
buccinator untuk bermuara di papila parotis sejajar
dengan mahkota molar pertama atau kedua rahang atas. (Jébéjian & Hajenlian, Gleeson, Moore & Dalley). Jalannya duktus parotis
aksesoris saat ini dilaporkan mengikuti anatomi yang normal dengan pola kedua cabang paralel hingga akhirnya bergabung 3,35
mm sebelum masuk ke otot buccinator, sehingga
muncul sebagai satu-satunya duktus yang bermuara
satu-satunya pembukaan pada mukosa rongga mulut.
Aktan et al. juga melaporkan penggabungan dari kedua cabang sebelum mencapai otot buccinator tetapi terjadi 7mm sebelum masuk ke otot buccinator. Gaur et
al. (1994) melaporkan pada kasus tiga duktus pada
kelenjar submandibular kiri dalam kadaver pria
dewasa India, yang masing-masing berjalan independen dan berakhir sebagai muara independen dalam dasar mulut. Mori
et al. (1986) juga melaporkan pemeriksaan sialographic
dari 73 tahun pasien laki-laki Jepang menunjukkan 2
duktus berjalan keluar dari kelenjar submandibular
kanan, yang bergabung sebelum membentuk satu muara
di papilla sublingual. (Fernandes et al, 2009)
Perbedaan pengukuran diameter antara
duktus superior dan inferior saat melaporkan - D1 dan D2,
masing - sangat minim, sehingga mengarah ke asumsi bahwa keduanya harus dianggap sebagai duktus utama. Selain itu,
langkah-langkah yang diambil dalam diameter pertiga
proksimal dan tengah D1 - 3.05 mm dan 3,31 mm, masing-masing
- dan D2 - 2.84 mm dan 2,68 mm, sesuai dengan
pengukuran yang dilaporkan untuk duktus parotis
oleh Williams et al. dan Zenk et al. Meskipun Aktan
et al. tidak melaporkan pada diameter Duktus Stensen aksesoris, mereka
menggambarkan kedua cabang sebagai yang utama. Pada kasus yang melaporkan lebih
dari satu duktus meninggalkan kelenjar submandibula kanan, Mori et al., tidak
membuat perbedaan antara mereka, sedangkan Gaur et
al., menggambarkan yang duktus dengan diameter terbesar dianggap duktus utama
dan dua lainnya dianggap sebagai duktus aksesori. (Fernandes et al,
2009)
Panjang duktus D1 dan D2 saat dilaporkan
- 26,49 mm dan 37,25 mm, adalah satu-satunya perbedaan utama pada studi
Aktan et al., yang melaporkan pengukuran - 55 mm. Namun ketidaksesuaian
tersebut cenderung mencerminkan biotipe yang
berbeda di mana variasi yang sama dilaporkan. (Fernandes et al, 2009)
Aktan et al., menyatakan
dalam laporan mereka tidak mengetahui apapun studi
rinci lain pada kasus duktus parotis ganda. Bahkan, Ulasan bibliografi kami diberikan hanya laporan kasus oleh
penulis tersebut. Lainnya berspekulasi atau membuat
referensi saja tanpa spesifik sebagai sumber
informasi mereka. Peterson et al. menyarankan bahwa
drainase dari saliva sekresi dilakukan oleh duktus
Stensen dapat dibantu dengan mungkin ada duktus
parotis aksesori. Bailey (1971) menyatakan bahwa
literatur menunjukkan terjadinya duktus parotis aksesoris dalam 7% dari
populasi. Tujuan dari penelitian histologis adalah
untuk menentukan keberadaan lumen, dan jika
demikian, untuk menentukan kemungkinan karakteristik
lapisan epitel, pada kedua duktus parotis syang
dilaporkan. Analisis histologis dikonfirmasi terjadinya
lumen lebar di kedua duktus seperti dilansir Aktan
et al. dan Gaur et al. Selanjutnya, kedua duktus menunjukkan sebuah lapisan epitel mirip dengan struktur yang biasanya
ditemukan di bagian paling anterior dari duktus
parotid menunjukkan bahwa keduanya harus dianggap
sebagai duktus utama. (Fernandes et al, 2009)
Studi embriologis menunjukkan bahwa selama
pembentukan dari kelenjar
parotid, kuncup epitel dari ektoderm menjangkau kembali
ke telinga. Cabang-cabang yang berasal dari para kuncup
nantinya akan membentuk duktus nantinya akan menjadi duktus parotis yang
menghubungkan kelenjar parotis ke rongga mulut. (Williams et al,. Moore &
Persaud). Berdasarkan asal embriologis kedua kelenjar parotis dan bukti-bukti dari analisis histologis, kami berspekulasi bahwa dua duktus D1 dan
D2 yang berbeda berkembang dari dua kuncup epitel dan invaginasi dari ektoderm yang kemudian menjadi kompleks
duktus dan asinus mengakibatkan pembentukan
kelenjar parotis memiliki duktus parotis ganda. (Fernandes et al, 2009)
Divertikuli
Divertikulum
adalah sebuah kantong kecil dengan leher sempit yang menonjol dari dinding
kelenjar. Divertikula berarti lebih dari satu divertikulum. Mereka dapat
berkembang pada setiap bagian dari kelenjar. Mereka paling sering berkembang di
bagian kelenjar mengarah ke muara, di mana saliva menjadi lebih kental.
Beberapa divertikula dapat berkembang dari waktu ke waktu. Beberapa orang
akhirnya memiliki banyak divertikula. (Kenny, 2011)
Divertikula
yang umum. Mereka menjadi lebih umum dengan bertambahnya usia. Sekitar setengah
dari semua orang di Inggris memiliki divertikula pada saat mereka berusia 50
tahun. Hampir 7 dari 10 mengalami divertikula pada saat mereka berusia 80
tahun. (Kenny, 2011)
Alasan
mengapa divertikula berkembang mungkin terkait dengan tidak makan cukup serat,
rendahnya stimulasi saliva, hiposalivasi karena alasan-alasan lain (obat,
penyakit sistemik, infeksi) dan sebagainya. (Kenny, 2011)
Kelenjar
saliva bergerak dengan lembut untuk menghasilkan dan mensekresi saliva. Jika
rangsang kinerja kelenjar saliva menurun, kelenjar harus bekerja lebih keras
untuk menghasilkan dan mensekresi saliva.
Tekanan tinggi dapat berkembang di bagian kelenjar saliva ketika saliva
mengental, produksinya sedikit, atau rangsangan gerak berkurang. Tekanan
meningkat dapat mendorong lapisan dalam area kecil dari kelenjar melalui
dinding otot untuk membentuk divertikulum kecil. (Kenny, 2011)
Pada
sekitar 3 dari 4 orang yang memiliki divertikula, divertikula yang tidak
menyebabkan kerusakan atau gejala. Istilah diverticulosis berarti bahwa
divertikula yang hadir, tetapi tidak menyebabkan gejala atau masalah. Dalam
kebanyakan kasus, kondisi tersebut tidak akan diketahui karena tidak ada
gejala. Kadang divertikula ditemukan sebagai temuan insidental jika Anda
memiliki tes seperti sialoendoskopi atau barium enema untuk alasan lain.
(Kenny, 2011)
Istilah
ini digunakan ketika divertikula menyebabkan intermiten, nyeri pada kelenjar
(tetapi di mana tidak ada peradangan atau infeksi - yang akan didiskusikan
kemudian). Rasa sakit biasanya crampy dan cenderung untuk datang dan pergi.
Beberapa orang mengalami hiposalivasi dan ada juga yang mengeluarkan lendir
kental dari mulut mereka, namun hal ini tidak jelas bagaimana divertikula
menyebabkan gejala ini. (Kenny, 2011)
Diagnosis
penyakit divertikular biasanya dibuat dengan mengkonfirmasi kehadiran
divertikula dan dengan mengesampingkan penyebab lain dari gejala. Catatan:
gejala penyakit divertikular, terutama jika mereka mulai pada orang tua, juga
bisa sama dengan kanker kelenjar awal. Oleh karena itu, beritahu dokter jika
Anda mengalami gejala ini sebagai beberapa tes mungkin perlu diatur. Sebagai
contoh, sebuah tes yang disebut sialoendoskopi mungkin disarankan. Di sinilah
seorang dokter menggunakan teleskop fleksibel khusus untuk melihat ke dalam
kelenjar. Hal ini dapat mengkonfirmasi kehadiran divertikula, dan menyingkirkan
kanker kelenjar. (Kenny, 2011)
Divertikulitis
adalah suatu kondisi dimana satu atau lebih divertikula menjadi meradang dan
terinfeksi. Hal ini dapat terjadi jika beberapa saliva terjebak dan mandek di
divertikulum. Bakteri (kuman) dalam kelenjar terperangkap kemudian dapat
berkembang biak dan menyebabkan infeksi. Sekitar 1 dari 5 orang dengan
divertikula mengembangkan serangan divertikulitis pada tahap tertentu. Beberapa
orang telah berulang diverticulitis. Gejala diverticulitis meliputi:
· Rasa
sakit terus-menerus di bagian kelenjar yang terkena.
· Demam
(suhu tinggi).
· Hiposalivasi
· Saliva
bercampur darah.
· Tidak
enak badan atau muntah.
· Obstruksi,
abses, fistula, dan peritonitis
Sebuah
divertikulum terinfeksi (diverticulitis) kadang-kadang semakin memburuk dan
menyebabkan komplikasi. Kemungkinan komplikasi meliputi: penyumbatan
(obstruksi) kelenjar saliva, abses (kumpulan nanah) yang dapat terbentuk di
kelenjar, duktus (fistula) yang dapat membentuk ke organ lain, perforasi
(lubang) di dinding kelenjar yang dapat menyebabkan infeksi. Pembedahan
biasanya diperlukan untuk mengobati komplikasi serius tetapi jarang. (Kenny,
2011)
Divertikulum
A terkadang berdarah dan terdapat perdarah melalui duktus saliva. Perdarahan
biasanya tiba-tiba dan tanpa rasa sakit. Perdarahan karena pembuluh darah pecah
yang kadang terjadi pada dinding divertikulum dan sehingga jumlah kehilangan
darah dapat berat. Sebuah berdarah sangat besar yang membutuhkan transfusi
darah darurat terjadi dalam beberapa kasus. Namun, pendarahan berhenti sendiri
dalam waktu sekitar 3 4 kasus. Kadang-kadang operasi diperlukan untuk
menghentikan pendarahan. Kadang-kadang hanya sedikit berdarah terjadi. (Kenny,
2011)
Untuk
divertikula tanpa gejala, tidak ada kebutuhan untuk perawatan apapun.
Namun, diet tinggi serat biasanya disarankan. Diet tinggi serat umumnya dianggap sebagai hal yang baik bagi semua orang pula - apakah Anda memiliki divertikula atau tidak. Dewasa harus bertujuan untuk makan antara 18 dan 30 gram serat per hari. Perawatan lainnya juga meliputi minum 2 liter per hari. Jika gejala yang parah maka Anda mungkin perlu dirawat di rumah sakit. Bila perlu akan diberi antibiotik, cairan langsung ke pembuluh darah melalui infus, dan diberi suntikan obat penghilang rasa sakit. Mungkin perlu dirawat di rumah sakit jika gejala tidak terlalu berat, tetapi tidak menetap setelah 48 jam atau lebih dengan tablet antibiotik. (Kenny, 2011)
Namun, diet tinggi serat biasanya disarankan. Diet tinggi serat umumnya dianggap sebagai hal yang baik bagi semua orang pula - apakah Anda memiliki divertikula atau tidak. Dewasa harus bertujuan untuk makan antara 18 dan 30 gram serat per hari. Perawatan lainnya juga meliputi minum 2 liter per hari. Jika gejala yang parah maka Anda mungkin perlu dirawat di rumah sakit. Bila perlu akan diberi antibiotik, cairan langsung ke pembuluh darah melalui infus, dan diberi suntikan obat penghilang rasa sakit. Mungkin perlu dirawat di rumah sakit jika gejala tidak terlalu berat, tetapi tidak menetap setelah 48 jam atau lebih dengan tablet antibiotik. (Kenny, 2011)
Fistula Kelenjar Saliva
Kongenital
Fistula merupakan koneksi
antara dua organ epitel berlapis yang seharusnya tidak terhubung. Keadaan ini
biasanya merupakan kondisi patologis, tetapi mungkin fistula dibuat dengan cara
operasi untuk alasan terapeutik. Fistula
kelenjar saliva merupakan keadaan dimana terdapat jalur komunikasi atau
penghubung antara permukaan kulit dengan saluran kelenjar saliva atau kelenjar
saliva itu sendiri. Berdasarkan etiologinya fistula kelenjar saliva dapat
diklasifikasikan menjadi dua yaitu fistula kongenital dan fistula acquired.
Fistula acquired merupakan fistula yang lebih sering dijumpai akibat hasil dari
operasi dan trauma. Fistula kongenital saliva diperkirakan timbul dari
perkembangan yang abnormal dar kelenjar saliva dan sangat jarang terjadi
(Gadodia et al, 2008).
Fistula kongenital dapat
diklasifikasikan berdasarkan asal kelenjarnya yaitu fistula kongenital kelenjar
parotis, submandibular, kelenjar ludah ektopik atau kelenjar aksesoris parotis.
Pada umunya fistula saliva berasal dari kelenjar parotis . Pada beberapa
penelitian, paling banyak ditemukan fistula saliva pada area retroauricular,
kulit pipi, mukosa mulut dan regio servikal. Fistula kongenital yang timbul
dari kelenjar akseori parotis sangat jarang terjadi. Pembukaan eksternal dari
kelenjar parotis atau kelenjar aksesoris parotis terletak pada lateral sudut
mulut yang sesuai dengan fusi dari maksila dan protuberansia mandibula (Gadodia
et al, 2008).
Defek Perkembangan Kelenjar Saliva
Ketidakberadaan kelenjar ludah
sangat jarang terjadi meskipun mungkin terjadi disertai dengan cacat
perkembangan lain, terutama malformasi pada lengkung brachial pertama yang
bermanifestasi pada anomali kraniofasial. Defek perkembangan kelenjar saliva
juga dikenal sebagai static bone cyst,
static bone defect, stafne bone cavity, latent bone cyst, latent bone defect,
idiopathic bone cavity, developmental submandibular gland defect, aberrant
salivary gland defect dan lingual mandibular concavity (Ohanesian, 2006).
Defek perkembangan kelenjar
saliva yang umum ditemukan berupa suatu
area depresi pada permukaan lingual dari ramus mandibula posterior. Lokasi yang
paling sering ditemukan pada fossa kelenjar submandibularis dan seringkali
mendekati batas inferior mandibula.defek perkembangan kelenjar ludah diyakini
merupakan cacat bawaan walaupun penelitian pada anak-anak sangat jarang
dilakukan dan lokasi anatomisnya masih belum pasti. Defek perkembangan kelenjar
saliva ini juga lebih sering ditemukan
pada laki-laki dibandingkan dengan wanita (Ohanesian, 2006).
Lesi bersifat asimtomatik dan
biasanya ditemukan pada saat pemeriksaan radiografi rutin . Lesi tersebut
tampak sebagai gambaran radiolusen berbatas tegas berbentuk oval yang umumnya terletak diantara canalis
mandibularis dan batas inferior mandibula pada bagian sudut anterior mandibula.
Pada kasus yang langka lesi ini terletak pada daerah apikal atau cuspid gigi
premolar mandibula dan daerah yang
berhubungan dengan fossa kelenjar sublingualis.
Gambaran radiolusen dapat menggambarkan seberapa besar defek yang terjadi
pada kelenjar saliva saat perkembangan embrio terjadi (Ohanesian, 2006).
Lesi ini lebih dianggap sebagai
defek perkembangan daripada lesi patologis. Pada pemeriksaan histologis,
jaringan saliva terlihat normal dan perawatan khusus tidak diperlukan kecuali
pemeriksaan radiografi rutin. Defek
perkembangan kelenjar saliva ini harus dapat dibedakan dengan traumatic bone cyst (disebut juga hemorrhagic bone cyst). Traumatic bone cyst
sangat jarang ditemukan kecuali pada
rahang bawah. Pada sebagian besar kasus lesi
ditemukan asimtomatik dan seringkali ditemukan pada pemeriksaan radiografi
rutin. Nyeri hanya dirasakan oleh
10%-30% pasien selebihnya merupakan gejala yang tidak biasa misalnya gigi
sensitif, paresthesia, fistula, impaksi gigi, dan fraktur mandibula (Ohanesian,
2006).
Darier's Disease
Penyakit
Darier adalah penyakit autosomal dominan, yang ditandai adanya papel-papel
hyperkeratotik pada daerah seboroik serta adanya perubahan pada kuku dan
membran mukosa. Penyakit ini bersifat progresif lambat, ditemukan pada dekade
pertama dan dekade kedua dari kehidupan, terbanyak usia 11 - 15 tahun. Penyakit
ini diperberat oleh sinar matahari (Burge, 2000; Hurwitz, 1993).
Kelainan
yang dijumpai pada kulit berupa papul-papul sewarna kulit yang dapat berubah
menjadi kecoklatan atau keabu-abuan, hyperkeratotik, dapat bersatu membentuk plak
berkrusta dan disertai skuama berminyak. Mudah terjadi infeksi sekunder
terutama pada daerah lipatan-lipatan terutama tungkai bawah sehingga berbau
(Odom dkk, 2000).
Kuku
biasanya berwarna lebih putih, mudah patah pada bagian distal, juga didapatkan
gambaran seperti huruf V dibagian kuku yang bebas dan subungual keratosis.
Kadang-kadang terdapat garis-garis longitudinal merah dan putih. Pada membran
mukosa terdapat gambaran papel-papel putih dengan penekanan ditengah
(umbilikasi) (Burge, 2000; Hurwitz, 1993). Pada pemeriksaan histopatologi
didapat hyperkeratosis, parakeratosis dan akantosis tidak teratur serta
akantolisis yang ditandai adanya celah suprabasal. Sel diskeratotik berupa
corps ronds stratum spinosum dan grains distratum korneum (Murphy, 1995).
Hasil
pengobatan biasanya selalu tidak memuaskan. Banyak pasien penyakit Darier tidak
memerlukan pengobatan khusus, hanya diberikan emolien, sun-block dan
menghindari pajanan sinar matahari. Topikal retinoid acid dapat membantu dan
efektif meskipun berpotensi untuk tegjadi iritasi tapi dapat diminimalkan
dengan penurunan konsentrai dan dikombinasi dengan topical kortikoteroid
(Murphy, 1995).
Sialorrhea
Sialorrhea
merupakan sebuah gejala yang memperlihatkan sekresi saliva yang berlebihan. Hal
ini disebabkan oleh produksi saliva yang mengalami peningkatan.Hipersalivasi
dapat disebabkan oleh medikasi obat-obatan, fase sekresi menstruasi,idiophatic
paroxysmal hipersalivasi, keracunan logam berat, keracunan organofosforus,
nausea, penyakit gastrophageal reflux, obstructive esophagitis, perubahan
neurologik seperti kerusakan cerebral vaskuler, penyakit neuromuskuler,
penyakit neurologik dan infeksi sistem saraf pusat (Bricker dkk, 2002).
Pada
sialorrhea akan tampak genangan saliva pada dasar mulut serta dapat menyebabkan
cairan saliva terus menerus mengalir. Hipersalivasi juga dapatmenyebabkan
iritasi perioral dan traumatik ulserasi yang kemudian akanmenimbulkan infeksi
sekunder jamur dan bakteri. Pada hipersalivasi akibat keracunan timbal, akan
tampak pigmentasi abu gelap pada attached gingival (Bricker dkk, 2002).
Untuk
menengakkan diagnosis perlu diketahui etiologi yang menyebabkan sialorhea
apakah ada gangguan lokal atau sistemik. perlunya penelusuran mengenai
kehidupan pasien dan kebiasaan makan untuk menyingkirkan faktor kemungkinan
sialorea akibat logam berat. Evaluasi sistemik perlu dilakukan seperti ada atau
tidaknya pembesaran kelenjar saliva, ulserasi di dalam mulut, kelainan pada
kepala dan leher, fungsi neuromuscular dan kondisi protesa. Selain itu juga
perlu dilakukan pengukuran laju aliran saliva kemudian dilakukan uji kemampuan
menelan saliva melalui uji visual, digital maupun melalui radiograf. Pencitraan
pada area oropharyngoesophageal sangat penting untuk mengetahui apakah ada
benda asing (Bricker dkk, 2002).
Perawatan
hipersalivasi harus sesuai dengan etiologi penyakit, resiko dan keuntungandari
perawatan serta kualitas hidup pasien. Dari etiologi tersebut terdapat tiga
perawatan dasar yaitu terapi fisik, medikasi dan pembedahan.Pembedahan dilakukan
untuk menghilangkan benda asing. pasien yang mengalami hipersalivasi akibat
keracunan harus di meninggalkan lingkungan yg mencemari dan
menjalani terapi medikasi. pasien yang mengkonsumsi obat yang menyebabkan
sialorrhea harus berkonsultasi dengan ahli untuk mengganti obat dengan efek
yang lebih ringan (Bricker dkk, 2002).
Xerostomia
Xerostomia bukan merupakan sutau penyakit
tetapi dapat menjadi gejala dari pernyakit tertentu (Rajendran, 2009).
Xerostomia merupakan gejala kurangnya jumlah nomal saliva, keluhan subjektif
dari mulut kering dan disfungsi kelenjar saliva (Bricker, 2002). Xerostomia
lebih sering terjadi pada orang dewasa dibandingkan pada anak-anak (Walker,
2004). Sekitar 10% di atas usia 50 tahun
dan 30% di atas 65 tahun mengalami kondisi ini (Bricker, 2002). Xerostomia
dapat menyebabkan dampak negatif pada kualitas hidup pasien, pola makan, status
gizi, pengucapan, rasa, toleransi pada protesa gigi, dan peningkatan karies
(Rajendran, 2009).
Xerostomia merupakan
keluhan adanya rasa kering pada rongga mulut akibat adanya penurunan produksi
dari kelenjar saliva / hiposalivasi. Kelainan pada kelenjar saliva dapat
menyebabkan xerostomia. Etiologi dari xerostomia bermacam – macam, dapat
disebabkan oleh kelainan pada kelenjar saliva yang merupakan akibat dari
penyakit kelenjar saliva primer maupun manifestasi dari penyakit sistemik atau
terapi obat – obatan. Xerostomia terjadi ketika jumlah saliva yang menggenangi
selaput lendir berkurang (Lewis, 1998) .
Etiologi :
Penyebab temporer (Rajendran, 2009):
1.
Psikologi
Kecemasan dan
stress dapat menyebabkan penurunan aliran saliva. Bagaimanapun masalah
psikologi biasanya di atasi dengan obat yang merupakan salivary inhibitor
2.
Kalkulus Duktus
Penutupan saluran
duktus dari glandula salivarius mayor, biasnya submandibulla, dapat menyebabkan
kekeringan pada daerah sekitar, disertai dengan rasa nyeri dan pembengkakan
pada daerah glandula. Jika tidak ditangani akan menyebabkan progresif fibrosis
dari glandula dan permanen xerostomia.
3.
Sialodenitis
Inflamasi pada
glandula saliva menyebabkan menurunnya sekresi. Infeksi akut termasuk mumps dan
postoperative parotitis, ketika kondisi kronis termasuk bengkak dikarenakan
defisiensi nutrisi dan hipersensitivitas iodine.
4.
Terapi Obat
Berbagai macam
obat dapat menyebabkan xerostomia. Antikolinergik dan agen sympathomimetic dan
kelompok obat tricyclic antidepressant, bronchodilators, dan antihistamin.
5.
Infeksi kelenjar saliva mayor
6.
Gangguan hormonal
Penyebab permanen, (Rajendran, 2009):
1.
Aplasia Glandula Saliva
Tidak ada satu
atau lebih glandula saliva pada congenital, jarang terjadi, etiologynya belom
diketahui.
2.
Sjorgren’s syndrome
Kombinasi dari
mulut kering, mata kering dan kadang-kadang rheumatoid arthritis, terjadi pada
wanita umurnya lebih dari 40 tahun yang disertai demam ringan.
Xerostomia berhubungan dengan penyakit
sistemik diabetes mellitus, mungkin sebagai konsekuensi dari polyurea, serta
penyakit parkinson. Telah dilaporkan dalam kasus defisiensi vitamin A,
riboflavin dan asam nikotinat serta anemia.
Xerostomia
persisten menyebabkan berkurangnya rasa, ketidakmampuan untuk mengunyah
dan menelan makanan, dan hilangnya elektrolit saliva dan immunoproteins yang
berfungsi melindungi terhadap infeksi mikroba. Sebagai hasilnya, mukosa mulut
menjadi meradang, kering, merah, dan mengkilap. Papilla filiformis lidah
hilang, dan bibir pecah-pecah. Gejala umum yang terjadi yaitu sensasi terbakar dan nyeri pada membran
mukosa dan lidah. Tanpa adanya saliva, terjadi peningkatan insidensi karies
(terutama karies servikal dan karies
akar), penyakit periodontal, infeksi candida, kekurangan gizi, anemia, dan
menghasilkan keadaan halitosis (Bricker, 2002).
Xerostomia non spesifik terjadi pada kasus
wanita yang mengalami menopause dan
menggunakan gigi tiruan yang lama. Umumnya penderita xerostomia sangat sulit untuk
memakan makanan kering seperti biskuit, pemakaian gigi palsu mempunyai masalah
pada retensi gigi palsu, luka akibat gigi palsu dan tidak lengket ke palatum,
rasa terbakar kronis, halitosis dan tidak tahan makan makanan pedas. Keluhan
xerostomia umumnya lebih banyak pada malam hari karena produksi saliva berada
pada circadian level paling rendah selama tidur, dapat juga disebabkan karena
bernafas melalui mulut. Kesulitan berbicara dan makan dapat mengganggu interaksi
sosial dan menyebabkan menghindari pertemuan social (Rajendran, 2009).
Pasien dengan xerostomia
biasanya mengalami tanda –tanda sebagai berikut, yaitu bibir pecah – pecah,
mengelupas, dan atropik ; lidah halus dan memerah ; mukosa oral merah, tipis,
dan rapuh ; peningkatan erosi dan karies gigi, khususnya pada gingival margin
(Guggenheimer, 2003). Penderita dengan xerostomia akan mengeluhkan gangguan
rasa (dysgeusia), lidah yang sakit (glossodynia), kebutuhan minum air yang
meningkat, sakit tenggorokan, sensasi terbakar (burning mouth syndrome),
kesulitan berbicara dan menelan, suara serak, dan menurunkan PH saliva yang
secara signifikan dapat meningkatkan plak dan karies (university of Montana,
2010).
Diagnosis ditentukan berdasarkan
anamnesis yang terarah, pemeriksaan klinis dalam rongga mulut dan pemeriksaan
laboratorium. Dalam melakukan anamnesis dengan penderita dapat diajukan
beberapa pertanyaan-pertanyaan terarah yang dapat menentukan penyebab dan
mendiagnosis xerostomia (Rajendran, 2009).
Pemeriksaan klinis dapat dilakukan
dengan melihat gajala-gejala klinis yang tampak dalam rongga mulut.
Gambaran-gambaran klinis tersebut, antara lain: hilangnya genangan saliva pada
dasar mulut, mukosa terasa lengket bila disentuh oleh jari ataupun ujung gagang
instrumen. Mukosa mulut juga terlihat memerah dan pada kasus-kasus yang lebih
lanjut permukaan dorsal lidah terlihat berfisur dan berlobul (Rajendran, 2009).
Akibat xerostomia dapat meningkatkan
infeksi oral seperti kandidiasis dan infeksi oropharing, meningkatkan
penumpukan plak penumpukan mukus, meningkatkan insiden karies, terjadi
perubahan flora normal dan perubahan mukosa di rongga mulut (Rajendran, 2009).
Dasar utama perawatannnya adalah dengan
menghilangkan faktor faktor etiologi seperti obat obatan, kalkulus, dan masalah
emosional. Juga disarankan untuk merangsang keluarnya saliva dengan permenkaret
bebas gula yang efektif (Rajendran, 2009).
Drug
Induced Xerostomia
Xerostomia merupakan suatu
kondisi yang dapat menyebabkan kesulitan dalam menelan, berkurangnya kemampuan
mengecap rasa, dan kesakitan pada mulut dan juga dapat menyebabkan meningkatnya
persentase karies dan infeksi pada oral. Secara histology menerangkan bahwa
terdapat hubungan antara usia dan perubahan pada glandula saliva mayor. Juga
dilaporkan bahwa beberapa medikasi yang diberikan dapat berefek secara
signifikan terhadap kekeringan pada rongga mulut (Shishir dkk, 2012).
Beberapa
pasien yang memiliki penyakit sistemik lebih dari satu juga dapat menyebabkan suatu kondisi komplikasi
dan berakibat terhadap daya alir saliva, yang diakibatkan baik dari penyakit
tersebut maupun dari medikasi yang diberikan. Xerostomia merupkan suatu kondisi
pengurangan jumlah saliva yang melampaui batas normal yang dapat disebabkan
oleh beberapa medikasi. Xerostomia merupakan suatu sensasi yang bersifat
subjektif yang dapat berhubungan dengan bertambahnya usia (Shishir dkk, 2012).
Xerostomia
berhubungan dengan lebih dari 500 macam obat-obatan. Namun insidensi xerostomia
biasanya meningkat apabila seseorang mengkonsumsi obat lebih dari satu jenis. Drug induced xerostomia merupakan suatu
masalah yang seringkali ditemukan pada pasien berusi tua yang mengalami
medikasi dengan beberapa macam obat-obatan. obat-obatan yang dapat berhubungan
dengan terjadinya xerostomia antara lain (Shishir dkk, 2012) :
·
Tricyclic
antidepressants
· Alpha receptor antagonists
· Antipsychotics
· Antihistamines
· Diuretics
· Antihypertensives
· Bronchodilators
· Skeletal muscle relaxants
· Benzodiazepines
· Retinoids
Sialolithiasis
Sialolithiasis
merupakan penyakit yang paling banyak ditemukan pada glandula salivarius.
Insidensi sialolithiasis ditemukan 12
kasus dari 1000 populasi orang dewasa (Leung dkk, 1999). Laki-laki lebih
rentan terkena sialolithiasis jika dibandingkan dengan perempuan (Cawson and
Odel, 1998). Insidensi sialolithiasis pada anak sangat jarang ditemukan. Lebih
dari 80% sialolithiasis terjadi pada duktus glandula submandibular, 6% pada
duktus glandula parotid, dan 2% pada duktus glandula sublingual (Steiner dkk, 1997).
Penyumbatan
duktus glandula saliva akibat adanya suatu masa yang dapat terdiri dari
komponen organis maupun anorganik. Komponen organis seperti halnya timbunan
asam amino dan karbohidrat (Williams, 1999). Pada pemeriksaan ekstraoral
biasanya ditemukan perbesaran pada region glandula salivarius ketika dilakukan
palpasi. Radiografi intraoral oklusal biasanya menandakan adanya gambaran
radiopaq disekitar daerah molar satu permanen (Zenk dkk, 1994).
Etiologi
dari sialolithiasis masih belum diketahui secara pasti. Namun, diduga bahwa
terbentuknya batu dalam duktus glandula salivarius biasnya berhubungan dengan
saliva yang memiliki kandungan calcium yang banyak. Terbentuknya batu pada
duktus juga diduga akibat tebentuknya deposisi kalsium yang dapat memicu
gangguan pada sekresi mucin glandula salivarius, bakteri dan terjadinya
desquamasi sel epitel (Carr, 1965). Perubahan produksi mucin akan menimbulkan
kandungan mukoid dalam saliva dan dapat membentuk seperti gel. Gel yang
terbentuk dapat memproduksi deposisi garam dan komponen organic sehingga dapat
terbentuknya stone (Williams, 1999).
Mucous Plug
Obstruksi
duktus kelenjar saliva dapat disebabkan oleh mucous plug, benda asing,
sialodeochitis, serta
kompresi akibat neoplasma (Capaccio, 2007). Terbentuknya mucous plug atau
batu yang tidak mengalami kalsifikasi dalam duktus kelenjar saliva mayor dapat
menyebabkan pembengkakan, rasa tidak nyaman dan berkurangnya aliran saliva (Gibson, 1994). Glandula parotidea merupakan glandula salivarius mayor yang lebih
sering terkena penyumbatan oleh mucous plug yang tidak mengalami kalsifikasi
(Pedersen, 1996).
Diagnosis mucuos plug didasarkan
pada riwayat klinis, radiografi dan sialogram. Jika sialogram yaitu dengan tampakan adanya penyakit
obstruktif intraductal sekunder yang
bersifat non mineral intraductal. Gejala klinis dan tanda dari
mucous plug sama dengan obstructive batu saliva (Ghom, 2005). Operative sialoendoscopy merupakan
pilihan terapi terbaik untuk mucous plug (Cappacio, 2007). Sialography juga
dapat digunakan sebagai alat bantu terapi pada gangguan obstruktif kelenjar
saliva karena membantu dalam mengidentifikasi
mucous plug dalam saluran kelenjar saliva yang tidak dapat terlihat pada radiografi rutin (Reddy,
2009).
Sialadenitis
Sialadenitis adalah infeksi berulang-ulang di glandula
submandibularis yang dapat diserati adanya batu (sialolith) atau
penyumbatan. Biasanya sistem duktus menderita kerusakan, jadi serangan tunggal
sialadentis submandibularis jarang terjadi. Kelenjar ini terasa panas,
membengkak, nyeri tekan dan merupakan tempat serangan nyeri hebat sewaktu
makan. Pembentukan abses dapat terjadi didalam kelenjar maupun duktus. Sering
terdapat batu tunggal atau multiple (Greenberg dkk, 2008).
Sialadenitis merupakan keadaan klinis yang lebih
sering daripada pembengkakan parotid rekuren dan berhubungan erat dengan
penyumbatan batu duktus submandibularis. Penyumbatan tersebut biasanya hanya
sebagian dan oleh karena itu gejala yang timbul berupa rasa sakit postpradial
dan pembengkakan. Kadang-kadang infeksi sekunder menimbulkan sialadenitis
kronis pada kelenjar yang tersumbat tersebut, tetapi keadaan ini jarang
terjadi. Kadang-kadang pembengkakan rekuren disebabkan oleh neoplasma yang
terletak dalam kelenjar sehingga penyumbatan duktus (Greenberg dkk, 2008).
Sialadenitis biasanya terjadi setelah obstruksi tetapi
dapat berkembang tanpa penyebab yang jelas. Terdapat tiga kelenjar utama pada
rongga mulut,diantaranya adalah kelenjar parotis, submandibular, dan
sublingual. Sialadenitis paling sering terjadi pada kelenjar parotis dan
biasanya terjadi pada pasien dengan umur 50-an sampai 60-an, pada pasien sakit
kronis dengan xerostomia, pasien dengan sindrom Sjögren, dan pada mereka yang
melakukan terapi radiasi pada rongga mulut (Greenberg dkk, 2008).
Remaja dan dewasa muda dengan anoreksia juga rentan
terhadap gangguan ini. organisme yang merupakan penyebab paling umum pada
penyakit ini adalah Staphylococcus aureus; organisme lain meliputi
Streptococcus, koli, dan berbagai bakteri anaerob. Peradangan kronis dapat
terjadi pada parenkim kelenjar atau duktus seperti batu (sialolithiasis)
yang disebabkan karena infeksi (sialodochitis) dari Staphylococcus
aureus, Streptococcus viridians ataupneumococcus. Selain itu
terdapat komponen obstruksi skunder dari kalkulus air liur dan trauma pada
kelenjar. Faktor risiko yang dapat mengakibatkan sialadenitis antara lain
dehidrasi, terapi radiasi, stress, malnutrisi dan hiegine oral yang tidak tepat
misalnya pada orang tua, orang sakit, dan operasi (Greenberg dkk, 2008).
Klasifikasi Sialadenitis menurut Greenberg dkk (2008) :
a.
Sialadenitis akut
Sialadenitis akut akan terlihat
secara klinik sebagai pembengkakan atau pembesaran glandula dan salurannya
dengan disertai nyeri tekan dan rasa tidak nyaman serta sering juga diikuti
dengan demam dan lesu. Diagnosis dari keadaan sumbatan biasanya lebih mudah
ditentukan dengan berdasar pada keluhan subjektif dan gambaran klinis.
Penderita yang terkena sialadenitis akut seringkali dalam kondisi menderita
dengan pembengkakan yang besar dari glandula yang terkena. Regio yang terkena
sangat nyeri bila dipalpasi dan sedikit terasa lebih hangat dibandingkan daerah
dekatnya yang tidak terkena. Pemeriksaan muara duktus akan menunjukkan adanya
peradangan, dan jika terliaht ada aliran saliva, biasanya keruh dan purulen
(Greenberg dkk, 2008).
Pasien biasanya demam dan hitung
darah lengkap menunjukkan leukositosis yang merupakan tanda proses infeksi
akut. Pemijatan glandula atau duktus (untuk mengeluarkan secret) tidak
dibenarkan dan tidak akan bisa ditolerir oleh pasien. Probing (pelebaran
duktus) juga merupakan kotraindikasi karena kemungkinan terjadinya inokulasi
yang lebih dalam atau masuknya organism lain, yang merupakan tindakan yang
harus dihindarkan. Sialografi yaitu pemeriksan glandula secara radiografis
mensuplai medium kontras yang mengandung iodine, juga sebaiknya ditunda. Bila
terdapat bahan purulen, dilakukan kultur aerob dan anaerob (Greenberg dkk,
2008).
b.
Sialadenitis kronis
Infeksi atau sumbatan kronis
membutuhkan pemeriksaan yang lebih menyeluruh, yang meliputi probing, pemijatan
glandula dan pemeriksaan radiografi. Palpasi pada glandula saliva mayor yang
mengalami keradangan kronis dan tidak nyeri merupakan indikasi dan
seringkali menunjukkan adanya perubahan atrofik dan kadang-kadang fibrosis
noduler. Sialadenitis kronis seringkali timbul apabila infeksi akut telah
menyebabkan kerusakan atau pembentukan jaringan parut atau pembentukan
jaringan parut atau perubahan fibrotic pada glandula (Greenberg dkk, 2008).
Tampaknya glandula yang terkena tersebut
rentan atau peka terhadap proses infeksi lanjutan. Seperti pada sialadenotis
akut, perawatan yang dipilih adalah kultur saliva dari glandula yang terlibat
dan pemberian antibiotic yang sesuai. Probing atau pelebaran duktus akan sangat
membantu jika sialolit ini menyebabkan penyempitan duktus sehingga menghalangi
aliran bebas dari saliva. Bila kasus infeksi kronis ini berulang-ulang terjadi,
maka diperlukan sialografi dan pemerasan untuk mengevaluasi fungsi glandula.
Jika terlihat adanya kerusakan glandula yang cukup besar, perlu dilakukan
ekstirpasi glandula. Pengambilan submandibularis tidak membawa tingkat
kesulitan bedah dan kemungkinan timbulnya rasa sakit sebagaimana
pengambilan glandula parotidea. Karena kedekatannya dengan n. facialis dan kemungkinan
cedera selama pembedahan, maka glandula parotidea yang mengalami gangguan
biasanya dipertahankan lebih lama daripaa jika kerusakan mengenai glandula
submandibula (Greenberg dkk, 2008).
c.
Sialadenetis supuratif
Sialadenitis supuratif akut lebih
jarang terjadi pada glandula submandibularis, dan jika ada, seringkali
disebabkan oleh sumbatan duktus dari batu saliva atau oleh benturan langsung
pada duktus. Dilakukan pemeriksaan kultur dari sekresi purulen dan terapi
antibiotic. Jika batu terletak pada bagian distal duktus (intraoral), batu
harus dikeluarkan. Jika sialolit terletak pada duktus proksimal. Kadang-kadang
glandula harus dipotong untuk mengontrol infeksi akut (Greenberg dkk, 2008).
Gejala yang timbul biasanya unilateral dan terdiri
dari pembengkakan dan rasa sakit, serta trismus ringan meliputi gumpalan lembut
yang nyeri di pipi atau di bawah dagu, terdapat pembuangan pus dari glandula ke
bawah mulut dan dalam kasus yang parah, demam, menggigil dan malaise (bentuk
umum rasa sakit).. Pada tahap ini belum dapat dilakukan penentuan diagnosa yang
dapat ditentukan bila telah terjadi serangan berulang kali. Pembengkakan
terjadi selama 2-10 hari dan serangan terulang kembalisetelah beberapa minggu
atau bulan. Pembengkakan yang rekurens dan nyeri didaerah kelenjar submandibula
(Greenberg dkk, 2008).
Demam terjadi jika timbul infeksi, menggigil, dan
nyeri unilateral dan pembengkakan berkembang. Kelenjar ini tegas dan lembut
difus, dengan eritema dan edema pada kulit di atasnya. Nanah sering dapat
dinyatakan dari saluran dengan menekan kelenjar yang terkena dampak dan harus
berbudaya. Focal pembesaran mungkin menunjukkan abses. Sekresi air liur yang
sangat kental dapat dikeluarkan dari duktus dengan melakukan penekanan
pada kelenjar. Kelenjar ini dapat terasa panas dan membengkak (Greenberg dkk, 2008).
Terjadi penurunan fungsi duktus oleh karena infeksi,
penyumbatan atau trauma menyebabkan aliran saliva akan berkurang atau bahkan
terhenti. Batu ludah paling sering didapatkan di kelenjar submandibula. Pada glandula
utama, gangguan sekresi akan menyebabkan stasis (penghentian atau penurunan
aliran) dengan inspissations (pengentalan atau penumpukan)
yang seringkali menimbulkan infeksi atau peradangan. Glandula saliva utama yang
mengalami gengguan aliran saliva akan mudah mengalami serangan organism melalui
duktus atau pengumpulan organism yang terbawa aliran darah (Greenberg dkk, 2008).
Mumps
Mumps
adalah penyakit yang memiliki karakteristik pembengkakan pada glandula saliva
terutama pada glandula parotis. Infeksi tanpa gejala dapat terjadi pada 40%
individu yang terinfeksi (Julia, 2006). Sekitar 10% dari kasus mumps berkembang menjadi
meningitis aseptik. Komplikasi yang kurang umum tetapi lebih serius adalah
ensefalitis, yang dapat mengakibatkan kematian atau cacat, dan ketulian
permanen, orchitis dan pankreatitis. Penyakit ini dapat dicegah dengan
vaksinasi (Galazka, 1999).
Mumps adalah penyakit menular
akut yang disebabkan oleh paramyxovirus dan terkait
erat dengan virus parainfluenza. Meskipun penyakit ini biasanya ringan, namun
tidak boleh dianggap remeh (Galazka, 1999). Virus ini memiliki dua permukaan
glikoprotein utama yaitu hemagglutinin-neuraminidase
dan protein fusi (Julia, 2006).
Gambaran
Klinis:
1. Pembengkakan
kelenjar parotid. Gejala sistemik yaitu meliputi demam, sakit kepala, malaise,
anoreksia dan nyeri perut. Makanan yang mengandung asam dapat memperburuk rasa
ketidaknyamanan pada kelenjar parotid. Pada keadaan normal, glandula parotid
tidak terasa saat dilakukan palpasi, namun saat mumps terjadi, dengan cepat
berkembang menjadi bengkak selama beberapa hari. Pembengkakan unilateral pada
awalnya, diikuti dengan keterlibatan pembengkakan parotid bilateral (Julia,
2006).
2. Tenderness
positif dan pembengkakan pada glandula submandibula dan sublingual (Laskaris,
2005)
3. Orifice
dari duktus stensen biasanya bengkak dan merah (Laskaris, 2005)
Komplikasi:
1. Orchitis
and Oophoritis
Sekitar
sepertiga dari pasca pubertas laki-laki mengalami orchitis unilateral. Biasanya
diikuti oleh parotitis dalam waktu 1 minggu tapi dapat juga terjadi tanpa
komplikasi tersebut. Orchitis ini disertai dengan demam tinggi, nyeri parah,
dan pembengkakan, Oophoritis jarang terjadi pada wanita. Timbulnya nyeri di bagian pelvis ditemukan pada
sekitar 7% pada penderita wanita yang mengalami mumps (Julia, 2006)
2. Meningoenchephalitis
Pemeriksaan
penunjang mumps yaitu antara lain ELISA
yang cukup spesifik dan sensitif untuk
deteksi dan pengukuran protein serum. Metode terbaru untuk serodiagnosis gondok
termasuk in vitro serum netralisasi, penghambatan hemaglutinasi (HAI), IFA, dan
CF (Fischbach, 2009)
Perawatan
Dasar:
1. Vaksin
mumps sangat dianjurkan (Laskaris, 2005)
2. Pasien
harus istirahat sekitar 1 minggu dan harus tetap diam di tempat tidur
(Laskaris, 2005)
3. Tidak
ada antiviral spesifik yang dapat menyembuhkan infeksi dan komplikasi mumps oleh karena itu pengobatan parotitis seluruhnya
simptomatis dan suportif. Namun pengobatan suportif untuk demam atau sakit
diindikasikan jika gejala yang terjadi merupakan gejala parah (Julia, 2006)
4. Perawatan
dari komplikasi yang terjadi harus ditangani oleh dokter spesialis (Laskaris,
2005)
Perawatan yang
disarankan menurut Laskaris (2005)
1. Analgesik dan NSAID dapat digunakan untuk mengontrol gejala
parotis
2. Banyak minum dan konsumsi makanan yang lembut
3. Penggunaan kortikosteroid sistemik
Sjogren’s sindrom
Sindrom Sjogren disebut juga dengan Mikulicz dan Sindrom Sicca, merupakan penyakit autoimun sistemik yang
menyerang sel imun dan menghancurkan kelanjar eksokrin yang memproduksi air
mata dan ludah (saliva). Sindrom Sjogren diberi nama setelah seorang ahli
penyakit mata asal Swedia Henrik Sjogren (1899-1986) yang memaparkan tentang
penyakit ini. Sindrom Sjogren berhubungan dengan kelainan reumatik seperti
Athritis Rheumatoid (AR) dan terdapat faktor Rheumatoid positif pada 90% dari
jumlah kasus. Penelitian
berikutnya menunjukkan bahwa Sindrom Sjogren bisa saja merupakan penyakit utama
atau mungkin saja penyakit lanjutan pada penyakit autoimun yang lain, seperti Systemic Lupus Erythematosus (SLE), Rheumatoid Arthritis (RA), scleroderma, dan biliary cirrhosis (Greenberg dkk, 2008).
Gejala utama pada sindrom Sjogren adalah kekeringan
pada mulut dan mata. Sindrom Sjogren juga dapat menyebabkan kekeringan pada
kulit, hidung, dan vagian. Sembilan dari sepuluh pasien yang pengidap sindrom
Sjogren adalah wanita dengan usia mendekati 40 tahun. Wanita 9 kali lebih
rentan terkena penyakit ini daripada pria. Sindrom Sjogren diderita oleh 1-4
juta jiwa di Amerika (Greenberg dkk, 2008).
Faktor Resiko (Greenberg dkk, 2008) :
1.
Usia
Umumnya terdiagnosis pada seseorang dengan umur
lebih dari 40 tahun.
2.
Gender
Wanita lebih sering terjangkit penyakit ini.
3.
Penyakit Reumatik
Umum terjadi pada orang yang terkena Sindrom Sjogren
juga mengidap penyakit reumatik seperti Rheumatoid Arthritis (RA) atau Lupus.
Komplikasi yang paling umum dari Sindrom Sjogren
melibatkan mata dan mulut, diantaranya (Greenberg dkk, 2008) :
1.
Gigi berlubang
Karena kelenjar saliva membantu melindungi gigi dari
bakteri yang menyebabkan berlubang, gigi kita mudah berlubang bila mulut kita
kering.
2.
Infeksi kapang
Orang dengan Sindrom Sjogren lebih mudah terkena
sariawan, infeksi kapang pada mulut.
3.
Masalah penglihatan
Mata yang kering mengarah pada sensitivitas pada
cahaya, pandangan yang kabur, dan infeksi pada kornea.
Sindrom Sjogren dapat merusak organ penting. Beberapa
penderita mungkin hanya menderita gejala ringan dan yang lain cukup buruk.
Sebagian penderita dapat mengalami penglihatan yang buruk, rasa tidak nyaman
pada mata, infeksi mulut, pembengkakan kelenjar liur, kesulitan menelan dan
makan. Rasa lelah dan sakit pada persendian juga dapat mengganggu kenyamanan.
Terdapat penderita yang juga dapat terkena gangguan ginjal hingga terdapat
gejala proteinuria, defek
urinasi dan asidosis tubular renal distal (Greenberg dkk, 2008).
Tanda dari gejala Sindrom Sjogren umumnya kekeringan
pada selaput lendir, yang khas xerostomia (mulut kering) dan xeropthalmia (mata
kering). Sebagai tambahan, sindrom Sjogren juga dapat menyebabkan kekeringan
kulit, hidung, dan vagina, dan mungkin saja mempengaruhi oragan lain seperti
ginjal, pembuluh darah, paru-paru, hati, pankreas, sistem saraf perifer, dan
otak (Greenberg dkk, 2008).
Sindrom Sjogren berhubungan dengan meningkatnya kadar
IL-1RA sebuah interleukin 1 antagonis pada cairan sumsum tulang belakang. Hal
ini terkesan bahwa penyakit dimulai dengan meningkatnya aktivitas sistem
interleukin1, diikuti dengan auto regulator IL-1RA untuk mengurangi secara
signifikan dari interleukin 1 ke reseptor. Hal ini menunjukkan bahwa
interleukin 1 penyebab pada kelelahan, bagaimana pun, meningkatnya IL-1RA telah
diamati pada CSF dan berhubungan dengan meningkatnya kelelahan berpengarug pada
cytokine yang berimbas pada gangguan tingkah laku. Pasien dengan sindrom
Sjogren sekunder juga selalu menimbulkan gejala dan tanda-tanda pada penyakit
reumatik primer, seperti SLE, RA atau sclerosis sistemik (Greenberg dkk, 2008).
Sindrom Sjogren mungkin saja sulit untuk didiagnosis
karena tanda-tanda dan gejala yang bervariasi dari setiap orang dan dapat juga
sama gejalanya tapi menyebabkan penyakit yang lain. Tes darah, dapat dilakukan untuk
menetukan apabila pasien memiliki kadar antibodi yang tinggi yang dapat
mengindikasikan keadaannya seperti Anti-Nuclear Antibody (ANA) dan faktor
Rheumatoid (karena Sindrom Sjogren sering terjadi setelah terjadi Reumatoid Arthritis), dimana
berkaitan dengan penyakit imun. Tes Schimer, dapat
mengukur produksi air mata dengan menggunakan selembar strip kertas saring yang
diletakan pada bawah kelopak mata selama 5 menit. Kemudian dilakukan pengukuran
jumlah yang terbasahi pada kertas dengan penggaris (Greenberg dkk, 2008).
Tes Slit-lamp,
dapat mengukur kekeringan pada permukaan mata. Fungsi kelenjar
saliva dapat diuji dengan mengumpulkan saliva dan menentukan jumlah yang
diproduksi selama 5 menit (Greenberg dkk, 2008). Biopsi bibir dapat dapat dilakukan apakah terdapat
pengumpulan limfosit pada kelenjar liur dan merusak kelenjar karena reaksi
radang. Sialogram, untuk
memeriksa kondisi kelenjar saliva. Pengujian ini menunjukkan seberapa banyak
aliran saliva pada mulut. X-ray.
Karena sindrom Sjogren dapat juga menyebabkab inflamasi paru-paru, pemeriksaan
rotgen mungkin diperlukan (Greenberg dkk, 2008).
Belum ditemukan terapi yang spesifik untuk penyakit
ini dalam proses penyembuhan yang sempurna. Pemberian terapi diberikan hanya
sebatas simtomatik. Banyak orang dapat mengatur kekeringan pada mulut dan mata
yang berhubungan dengan Sindrom Sjogren dengan menggunakan obat tetes mata dan
meminum air dengan lebih sering. Namun beberapa orang mungkin membutuhkan resep
dokter atau pembedahan (Greenberg dkk, 2008).
Pengobatan Sjogren syndrome menurut Greenberg dkk (2008) :
· Meningkatkan
produksi saliva
Obat-obatan
seperti pilocarpin dan ceyimeline dapat meningkatkan
produksi saliva, dan kadang-kadang air mata. Efek samping yang mungkin terjadi,
berkeringat, sakit pada perut, kulit muka memerah, dan sering buang air kecil.
·
Apabila berkembang gejala Arthritis, dapat digunakan
obat-obat golongan NSAID untuk membantu mengatasi gejala musculoskeletal. Bagi
penderita dengan komplikasi dapat diberikan kortikosteroid atau obat penekan
sistem imun. Infeksi kapang pada mulut dapat diobati denga obat anti jamur.
·
Obat yang dapat menekan sistem imun seperti methotrexate atau cyclosporine dapat juga
diresepkan.
·
Pembedahan
Untuk mengurangi kekeringan pada
mata, dapat dipertimbangkan menjalani prosedur pembedahan kecil untuk menutup
saluran air mata dari kekeringan air mata pada mata (punctual occlusion).
Mikulicz Disease
Miculicz’s disease, sebelumnya dikenal dengan lesi
jinak lymphoepithelial, ditandai dengan simmetric lakrimal, parotis, dan
pembesaran kelenjar submandibular dengan infiltrasi limfositik. Miculicz’s
disease pada suatu kondisi dapat
dimasukkan ke dalam diagnosis Sjogren sindrom primer, tetapi presentasi klinis
dan imunologi mendapatkan pertimbangan Miculicz’s disease sebagai fenomena
autoimun yang berbeda. Histopatologi, Miculicz’s disease yang dikaitkan dengan
infiltrasi menonjol dari plasmacytes IgG4-positif ke kelenjar eksokrin.
Miculicz’s disease mungkin penyakit sistemik daripada gangguan kelenjar
lakrimal dan ludah lokal. Telah diusulkan bahwa entitas disebut sebuah
exocrinophaty plasmacytic IgG4 (Greenberg dkk, 2008).
Etiologi Miculicz’s disease sendiri tidak diketahui.
Ada yang berspekulasi bahwa etiologinya adalah autoimun, virus, atau faktor
genetik yang terlibat. Kondisi ini terutama mempengaruhi wanita paruh baya.
Pasien datang dengan unilateral atau bilateral kelenjar ludah pembengkakan
akibat infiltrasi limfoid. Mengurangi aliran saliva membuat paatients ini
rentan terhadap infeksi kelenjar ludah. Diagnosis diferensial meliputi sindrom
Sjogren, limfoma, sarkoidosis, infeksi virus, dan penyakit lainnya yang
berhubungan dengan pembesaran kelenjar ludah. Diagnosa didasarkan pada temuan
biopsi kelenjar ludah dan tidak adanya perubahan dalam darah perifer dan
serologi autoimun terlihat pada sindrom Sjogren (Greenberg dkk, 2008).
Lesi yang ditemukan sangat responsif terhadap
corticosterroids, yang merupakan terapi yang lebih disukai. Pengobatan yang
direkomendasikan yaitu dengan metilprednisolon dan prednisolon. Satu
pertimbangan penting adalah possibillity transformasi neoplastik. Hal ini
penting untuk membedakan lesi Miculicz’s disease dari jaringan indolen mukosa
terkait limfoid (MALT) limfoma (timbul secara spontan atau dalam konteks
Sjogren sindrom), dan pemeriksaan spesimen biopsi untuk limfositik monoklonal
menyusup ditunjukkan (Greenberg dkk, 2008).
Tumor
Benigna pada Kelenjar Saliva
1. Pleomorphic
Adenoma
Pleomorphic Adenoma adalah tumor yang paling sering pada
glandula saliva, keseluruhan sekitar 60% dari tumor glandula saliva. Sekitar
85% dari tumor ini ditemukan pada glandula parotid, 8% pada glandula
submandibula dan sisanya pada glandula sublingual dan glandula saliva minor
(Pedersen, 1996).
Pleomorphic Adenoma sering
disebut mixed tumor, karena
melibatkan jaringan epitel dan mesenkim sekaligus. Dapat terjadi di segala
umur, namun yang paling sering adalah pada dekade 4 sampai 6 dalam hidup. Hal
tersebut menunjukkan bahwa tumor ini sering terjadi pada anak-anak, dan sering
terjadi pada wanita (Pedersen, 1996).
Gejala serta tampakan klinis dari tumor ini biasanya tidak
sakit, berbatas tegas, dapat digerakkan (mobile) yang jarang terjadi ulserasi
pada kulit atau mukosa. Pada glandula parotid, tumor ini tumbuh dengan lambat
dan sering terjadi pada aspek posterior inferior dari superficial lobe. Pada intraoral tumor ini sering terjadi pada
palatum diikuti oleh bibir atas sampai mukosa bukal (Pedersen, 1996).
Pleomorphic Adenoma memiliki
ukuran yang bervariasi tergantung pada lokasinya. Pada glandula parotid dapat
beberapa centimeter pada diameternya,tetapi bisa menjadi lebih besar bila tidak
dirawat. Perawatan yang dilakukan untuk Pleomorphic
Adenoma adalah dilakukan pembedahan dengan margin adekuat. Bila tumor dalam
capsul, maka tidak boleh dilakukan close
exicion. Superficial parotidectomy sudah cukup untuk mayoritas penanganan
lesi ini (Pedersen, 1996).
2. Monomorphic
Adenoma
Monomorphic Adenoma adalah tumor
yang terdiri dari predominan dari satu tipe sel. Bertentangan dengan
pleomorphic adenoma, berbeda elemen yang ditunjukkan. Menejemen yang dilakukan
ama dengan pleomorphic (Pedersen, 1996).
3. Oncocytoma
Oncocytoma merupakan tumor benigna yang jarang terjadi. Hanya ditemukan kurang dari 19% dari seluruh
tumor glandula saliva. Nama dari tumor ini berasal dari fakta bahwa tumor ini
terdiri dari sonocytes, dengan granular acidophilic cells. Tumor ini terjadi
hampir selalu pada glandula parotid dan dapat terjadi pada pria maupun wanita.
Paling sering terjadi pada dekade ke 6 (Pedersen, 1996).
Oncocytoma biasanya solid pada
sekitar tumor yang dapat terlihat pada semua glandula saliva mayor tetapi
sangat jarang terlihat pada intra oral. Lesi ini dapat ditemukan pada
superficial lobe dari glandula parotid. Dapat terjadi bilatral. Dan merupakan
tumor kedua paling sering terjadi setelah tumor Warthon (Pedersen, 1996).
Oncocytoma merupakan tumor yang
pertumbuhannya sangat lama. Superficial Parotidectomi dengan pemeliharaan
nervus facialis adalah pemilihan perawatan yang baik umtuk tumor glandula
parotid. Removal glandula adalah perawatan yang di[ilih untuk tumor glandula
submandibula dan removal glandula dengan pemotongan jaringan normal adalah
pilihan untuk oncocytoma pada glandula saliva minor (Pedersen, 1996).
4. Basal
Cell Adenomas
Basal Cell Adenoma merupakan tumor
yang pertumuhannya lama yang terjadi sekitar 1-2% dari adenoma glandula saliva.
Lesi ini banyak ditemukan pada pria dibandingkan wanita. Ratio pria
dibandingkan dengan wanita adalah 5:1. 70% dari Basal Cell Adenoma terjadi pada glandula parotid dan bibir bagian
atas merupakan sisi yang terkena basal cell adenoma yang beraal dari glandula
saliva minor. Lesi ini dapat dihilangkan dengan eksisi pembedahan
konservatif yaitu dengan pemanjangan
jaringan normal (Pedersen, 1996).
Tumor Maligna pada Kelenjar
Saliva :
1. Adenoid
Cystic Carcinoma
Adenoid Cystic Carcinoma merupakan tumor yang terjadi
seiktar 6% dari seluruh tumor glandula saliva dan tumor maligna yang paling
sering terjadi pada glandula submandibula dan glandula saliva minor. Tumor ini
terjadi 15-30% dari tumor glandula submandibula, 30% pada glandula saliva minor
dan 2-15% dar tumor glandula parotid (Pedersen, 1996).
50% dari tumor ini terjadi pada
glandula saliva minor. Tumor ini dapat menyerang pria maupun wanita dan
biasanya terjadi pada dekade ke 5. Adenoid
Cystic Carcinoma biasanya terlihat unilobular pada glandula. Tumor ini
sangat sakit, dan sebagian kecil dapat melumpuhkan nervus facial. Tumor ini
memiliki pertumbuhan yang lambat sehingga dapat menunda diagnosis untuk
beberapa tahun. Pada intraoral, terlihat ulserasi mukosa. Secara radiografis,
memperlihatkan perluasan perbatasan tulang. Karena lesi ini nelibatkan nervus,
maka eksisi pembedahan radical merupakan treatment yang dipilih untuk lesi ini
(Pedersen, 1996).
2. Acinic
Cell Carcinoma
Acinic Cell Carcinoma terlihat hanya
1% dari keseluruhan tumor yang terjadi pada glandula saliva. Sekitar 90-95% dai
tumor ini ditemukan pada glandula parotid. Distribusi dari Acinic Cell Carcinoma
menggambarkan lokasi dari sell acinar dalam glandula yang berbeda. Tumor ini
ering terjadi pada wanita dan biasanya ditemukan pada dekade ke 5. Tumor ini
adalah tumor maligna kedua yang sering terjadi pada anak-anak (Pedersen, 1996).
Pertumbuhan tumor ini angat lambat. Bisa terasa sakit,
tetapi bukan merupakan indikasi dari prognosis. Sisi yang terkena adalah superficial lobe dan inferior pole pada glandula parotid.
Ditemukan bilateral pada glandula parotid sekitar 3% dari kasus (Pedersen,
1996).
Penanganan Acinic Cell Carcinoma
hampir ama dengan penanganan tumor benigna. Treatment terdiri dari superficial
parotidectomy dengan pemeliharaan nervus facialis. Apabila tumor terjadi pada
glandula submandibula, pengangkatan seluruh glandula merupakan perawatan yang
harus dilakukan (Pedersen, 1996).
II.3 Analisa Kasus
Candidiasis
Zat
antiseptik pada obat kumur dapat menimbulkan kelainan mukosa mulut karena
memang berfungsi untuk mematikan bakteri melalui efek sitotoksik yang tidak
saja terjadi pada bakteri patogen, tetapi juga pada bakteri komensal rongga
mulut (Sudiono,
1999). Salah satu zat antiseptik yang
dapat dijumpai dalam obat kumur yaitu hidrogen peroksida (H2O2), di mana
pemakaian obat kumur ini untuk jangka waktu yang lama dapat menimbulkan Candidiasis. Candidiasis adalah suatu
keadaan di mana Candida albicans menginfeksi, menimbulkan gambaran klinis lesi
putih yang dapat dikerok, kadang disertai deskuamasi. (Harty, 1995)
Candidiasis
oral sering terjadi pada orang dengan imunitas yang rendah, berupa bercak putih
(membrane) pada mulut atau lidah. Bila membrane diangkat akan tampak dasar yang
kemerahan dan erosive. Parleche berupa retakan kulit pada sudut mulut, terasa
perih dan nyeri bila tersentuh makanan atau air. Faktor predisposisinya adalah defisiensi
riboflavin, imun yang buruk, dan faktor host. (Brown dan Burns, 2005) Faktor host pada kasus contohnya karena
penggunaan obat kumur yang sering, maka bakteri komensal berkurang dan candida
dapat melekat dan tumbuh dengan baik.
Xerostomia
Xerostomia merupakan keluhan adanya rasa kering pada rongga mulut
akibat adanya penurunan produksi dari kelenjar saliva / hiposalivasi. Kelainan
pada kelenjar saliva dapat menyebabkan xerostomia. Etiologi dari xerostomia
bermacam – macam, dapat disebabkan oleh kelainan pada kelenjar saliva yang
merupakan akibat dari penyakit kelenjar saliva primer maupun manifestasi dari
penyakit sistemik atau terapi obat – obatan. Xerostomia terjadi ketika jumlah
saliva yang menggenangi selaput lendir berkurang (Lewis, 1998).
Pasien dengan xerostomia biasanya mengalami tanda –tanda sebagai
berikut, yaitu bibir pecah – pecah, mengelupas, dan atropik ; lidah halus dan
memerah ; mukosa oral merah, tipis, dan rapuh ; peningkatan erosi dan karies
gigi, khususnya pada gingival margin (Guggenheimer, 2003). Penderita dengan
xerostomia akan mengeluhkan gangguan rasa (dysgeusia), lidah yang sakit
(glossodynia), kebutuhan minum air yang meningkat, sakit tenggorokan, sensasi
terbakar (burning mouth syndrome), kesulitan berbicara dan menelan, suara
serak, dan menurunkan PH saliva yang secara signifikan dapat meningkatkan plak
dan karies (university of Montana, 2010).
Pada xerostomia terjadi hiposalivasi atau penurunan produksi
saliva. Padahal saliva memiliki fungsi penting dalam rongga mulut. Pada saliva
terdapat komponen dengan fungsi antimikrobial dan buffer yang dapat membantu
mencegah karies. Saliva berfungsi sebagai self cleansing karena mengandung
enzim lyzozyme yang berperan dalam mengontrol pertumbuhan bakteri. Saliva juga memiliki peranan penting dalam
mempertahankan integritas kimia dan fisik dari enamel gigi dengan cara mengatur
proses reminalisasi dan demineralisasi. Karena berkurangnya produksi saliva
yang memiliki berbagai fungsi seperti yang telah disebutkan maka xerostomia dapat
meningkatkan resiko karies gigi dan penyakit gingiva. Selain itu, pada
xerostomia dapat terjadi penurunan PH saliva yang secara siginfikan dapat
meningkatkan karies (Lewis, 1998).
Ca Channel Blocker
Calcium Channel Blockers (CCB) merupakan bahan kimia yang
mengganggu pergerakan kalsium (Ca 2 +) melalui saluran kalsium (Schmitz, 2008). Obat CCB dirancang untuk neuron target
digunakan sebagai antiepileptics . Namun, penggunaan klinis CCB yang paling luas adalah
untuk menurunkan tekanan darah pada pasien yang menderita hipertensi (Schmitz, 2008).
Mekanisme utama CCB adalah menghambat masuknya ion melalui
voltage-dependent L dan calsium channel type-T. L type banyak terdapat di
otot jantung dan otot polos vaskuler. Hambatan terhadap otot jantung
menyebabkan efek inotropik negatif, dan terhadap otot polos menyebabkan
relaksasi. Dengan efek mengurangi kontraktilasi miokard dan otot polos, obat
ini dapat digunakan sebagai obat antihipertensi dan antiangina, juga menyebabkan
depresi miokard. CCB bekerja dengan cara menghambat influks kalsium pada otot
polos pembuluh darah dan miokard. Jenis obat CCB seperti Hidralazin,
Minoksidil, dan Nitroprusid (Schmitz, 2008).
Hidralazin : bekerja pada arteri dan arteriole,
menimbulkan penurunan tekanan darah dengan menginduksi vasodilatasi pada
artiole otot polos. Efek ini disertai dengan refleks takikardi dan kenaikan
curah jantung. Manfaat utama adalah untuk pengobatan hipertensi dan gagal
jantung. Efek sampingnya yaitu retensi cairan, palpitasi, refleks takikardi.
Monoksidil : merupakan obat vasodilatator yang
sangat poten. Merupakan pilihan akhir pada pengobatan hipertensi berat yang
tidak responsif terhadap obat antihipertensi lainnya. Monoksidil sering
digunakan bersamaan dengan diuretik karena menyebabkan retensi cairan, juga
menyebabkan refleks takikardi sehingga dikombinasikan dengan golongan β –
blocker. Efek sampingnya yaitu lesi otot jantung, hidralazin, hirsutisme.
Nitroprusid : di metabolisme
menjadi nitric oxide, yang selanjutnya mengaktivasi guanylatecyclase dan
terbentuk cyclic GMP. Pembentukan cGMP mengakibatkan relaksasi otot polos vaskuler
dan vasodilatasi. Aktivasi nitroprusid di katalisis oleh berbagai nitric oxide
sehingga potensi obat ini berbeda pada berbagai tempat vaskuler dan hal ini
menyebabkan tidak terjadi toleransi pada penggunaan nitroprusid. Efek
sampingnya yaitu hipotensi berat, hepatotoksisitas.
CCB bekerja dengan cara menghambat influks kalsium pada otot polos
pembuluh darah dan miokard. Kalsium merupakan unsur organis saliva, bila
influks kalsium pada otot pembuluh darah dihambat, secara tidak langsung akan
mempengaruhi saliva dengan mengubah keseimbangan cairan dan elektrolit atau
dengan mempengaruhi aliran darah ke kelenjar (Schmitz, 2008).
Ace Inhibitor
Gejala hipofungsi saliva pada lansia pada umunya disebabkan oleh
berbagai macam sebab yaitu usia, penyakit sistemik, terapi medis, dan lain
sebagainya. Terapi medis yang biasanya
menyebabkan gangguan salivasi contohnya adalah pengobatan menggunakan
obat-obatan anthicholinergic atau terapi radiasi. Beberapa kondisi yang dapat
menyebabkan gangguan kelenjar saliva adalah sjogren syndrome, diabetes,
Alzheimer, dehidrasi, dan kemoterapi (Turner, 2007).
Terapi obat-obatan merupakan penyebab hipofungsi saliva yang paling umum banyak terjadi baik obat
yang diresepkan maupun yang tidak diresepkan. Screebny dan Schwartz (1997)
melaporkan bahwa 80% dari obat yang paling sering diresepkan dokter menyebaban
xerostomia, dengan lebih dari 400 obat-obatan yang terkait dengan disfungsi
kelenjar saliva sebagai efek samping yang merugikan. Lansia merupakan populasi
terbanyak yang mengonsumsi obat-obatan dan lebih rentan terhadap efek yang
disebabkan obat-obatan yaitu salivary
disorder (Bergdahl, 2000).
Obat
dengan efek antikolinergik adalah yang paling cenderung untuk menghasilkan
keluhan mulut kering dan hipofungsi saliva. Selain itu, obat dengan mekanisme
kerja menghambat neurotransmitter dengan mengikat reseptor membran kelenjar
ludah, atau mengganggu jalur transportasi ion sel asinar dapat mempengaruhi
kualitas dan kuantitas output saliva. Kategori umum dari obat-obat tersebut adalah
tricyclic antidepressants, sedatives and tranquilizers, antihistamine,
antihypertensives (diuretics, calcium channel blockers, angiotensin-converting
enzyme, α dan β blockers), cytotoxic agents,
anti-Parkinsonism dan antiseizure
drugs (Turner et al, 2007).
Penurunan sekresi saliva dan perubahan komposisi saliva dapat
ditemukan pada penderita hipertensi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Elias
et al (2006) pada penderita hipertensi akan meproduksi lebih sedikit jumlah
saliva dibandingkan dan konsentrasi protein yang lebih rendah dibandingkan
dengan orang normal. Penurunan fungsi kelenjar saliva disebabkan oleh penurunan
densitas atau sensitivitas dari reseptor muskarinik pada kelenjar saliva. Di
sisi lain terdapat peningkatan sesitivitas dari b-adrenoreceptor/ adenylate cylase receptor yang berpartisipasi
dalam penurunan jumlah viskositas saliva dari stimulasi simpatik.
Penurunan Saliva pada Usia Lanjut
Saliva memainkan
peranan penting dalam menjaga kesehatan orofaringeal (Turner et al, 2007).
Saliva merupakan suatu kunci elemen dalam homeostasis oral, yaitu fungsi dan
pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut (Gupta et al, 2006). Keluhan mulut kering
(xerostomia) umum pada populasi yang lebih tua, yang dapat mengakibatkan
gangguan digesti makanan, pertahanan kesehatan mulut dan komunikasi. Dry mouth
memiliki beberapa konsekuensi pada kesehatan mulut, sedangkan menurut Turner
(2007), xerostomia dan disfungsi saliva
bisa mengakibatkan gangguan faring dan dapat merusak kualitas hidup seseorang.
Fungsi saliva tetap sangat penting pada lansia, namun kebanyakan penyakit
sistemik (seperti Sjögren syndrome), obat-obatan (seperti antikolinergik) dan
radioterapi leher kepala (misalnya kanker) dapat menyebabkan xerostomia,
khususnya pada pasien usia lanjut.
Usia lanjut (usila) menurut World Health
Organization (WHO) dibagi menjadi usia pertengahan (45 – 59 tahun), usia lanjut
(60 – 75 tahun), usia lanjut tua (75 – 90 tahun), dan usia lanjut sangat tua
(diatas 90 tahun), sedangkan usia lanjut menurut Undang-Undang Republik
Indonesia tentang kesejahteraan lanjut usia pada pasal 1 ayat 2, adalah
seseorang yang telah mencapai usia enam puluh tahun keatas (Manurung, 2012).
Dampak
perubahan usia terhadap saliva tampak pada seringnya terjadi keluhan mulut
kering (xerostomia) pada usia lanjut. Keadaan ini disebabkan oleh adanya
perubahan berupa atropi pada kelenjar saliva sesuai dengan pertambahan umur
yang akan menurunkan produksi saliva dan sedikit mengubah komposisinya. (Sonis
dkk, 1995; Nanci, 2003).
Seiring
dengan meningkatnya usia, terjadi proses penuaan (aging). Terjadi perubahan dan kemunduran fungsi kelenjar saliva,
dimana kelenjar parenkim hilang yang digantikan oleh jaringan lemak dan
jaringan ikat, lining sel ductus intermediate mengalami atropi, Keadaan inilah
yang kemudian akan mengakibatkan pengurangan jumlah aliran saliva (Sonis dkk,
1995; Nanci, 2003). Insiden xerostomia meningkat dari 6% pada usia 50 tahun dan
15% pada usia 65 tahun. Salah satu temuan memperkirakan terjadinya xerostomia
pada usia 65 tahun menjadi sekitar 30%. Laju aliran saliva tanpa stimulasi
(USFR/unstimulated salivary flow rate) <0,1 ml/min dan laju aliran saliva
terstimulasi (SSFR/stimulated salivary flow rate) <1,0 ml/min adalah
merupakan indikasi xerostomia (Manurung, 2012).
Obat Kumur Listerine
Zat
antiseptik pada obat kumur dapat menimbulkan kelainan mukosa mulut karena
memang berfungsi untuk mematikan bakteri melalui efek sitotoksik yang tidak
saja terjadi pada bakteri patogen, tetapi juga pada bakteri komensal rongga
mulut (Sudiono, 1999). Salah satu zat antiseptik yang dapat dijumpai dalam obat
kumur yaitu hidrogen peroksida (H2O2), di mana pemakaian obat kumur ini untuk
jangka waktu yang lama dapat menimbulkan Candidiasis. Candidiasis adalah suatu
keadaan di mana Candida albicans menginfeksi, menimbulkan gambaran klinis lesi
putih yang dapat dikerok, kadang disertai deskuamasi (Harty, 1995).
Candidiasis
oral sering terjadi pada orang dengan imunitas yang rendah, berupa bercak putih
(membrane) pada mulut atau lidah. Bila membrane diangkat akan tampak dasar yang
kemerahan dan erosive. Parleche berupa retakan kulit pada sudut mulut, terasa
perih dan nyeri bila tersentuh makanan atau air. Faktor predisposisinya adalah
defisiensi riboflavin, imun yang buruk, dan faktor host (Brown dan Burns,
2005). Faktor host pada kasus contohnya
karena penggunaan obat kumur yang sering, maka bakteri komensal berkurang dan
candida dapat melekat dan tumbuh dengan baik.
Antikolesterol
Obat anti-hiperlipidemia atau obat
anti-kolesterol diberikan dengan dasar adanya hubungan hiperlipidemia dengan
arterosklerosis , penkretitis akut, , tendinitis , dan xantoma. Mekanisme kerja
dari obat anti hiperlipidemia dalam pengobatan sangat beragam, tergantung
kepada jenis obat anti-hiperlipidemia yang diberikan. Adapun macam-macam obat
anti-hiperlipidemia adalah (Departemen
Farmakologi& Terapeutik FK UI, 2007) :
- Resin
Mekanisme : menghambat sirkulasi enterohepatik. tidak di absorpsi disaluran
cerna, merupakan obat anti-hiperlipidemia yang paling aman baik bagi anak maupun
bagi dewasa. Resin menurusnkan kolesterol dengan cara mengikat asam empedu
dalam saluran cerna, derta menghambat sirkulasi enterohepatik. Efek samping :
mual, muntah, dan konstipasi (Departemen Farmakologi& Terapeutik FK UI,
2007).
- Asam nikotinat
Mekanisme : utnuk dapat menurunkan kolesterol, asam nikotinat harus
diberikan dalam dosis yang besar , mekanisme penurunan kolesterol terjadi
karena asam nikotinat menghambat hidrolisis trigliserida oleh hormon sensitiv
lipase, sehingga mengurangi trasport asam lemak ke hati dan mengurangi sintesis
trigliserida di dalam hati. Efeksamping : rasa gatal, dan kemerahan pada kulit
terutama kulit wajah (Departemen Farmakologi& Terapeutik FK UI, 2007).
- Probukol
Mekanisme : probukol menurunkan kadar kolesterol dengan cara menurunkan
kadar LDL dalam serum. Juga dapat menghambat arterosklerosis karenan memiliki
efek antioksi dan efek samping : umunya dapat ditoleransi dengan baik oleh
tubuh, gangguan yang mungkin dapat ditemukan setelah konsumsi probukol adanya
gangguan gastrointestinal ringan (Departemen Farmakologi& Terapeutik FK UI,
2007).
- Asam fibrat
Mekanisme : menurunkan kolesterol dengan cara berikatan dengan reseptor
PPARs. Biasnaya diabsorbsi lewat usus secara cepat dan lengkapo terutama bila
diberikan bersamaan dengan makanan. Efeksamping : umunya dapat ditoleransi baik
oleh tubuh, efek samping yang paling sering ditemukan adalah kembung, mual,
muntah,ruam pada kulit, anemia. Namun efek samping biasanya hilang seiring
dengan berjalannya waktu (Departemen Farmakologi& Terapeutik FK UI, 2007).
Aspirin
Aspirin merupakan asam asetilsalisilat.
Aspirin merupakan obat analgesic-anti inflamasi tertua dan masih digunakan
secara luas. Efek samping yang ditimbulkan biasanya mual, muntah, gangguang
lambung hingga ulser pada peptic
(Tripathi, 2003). Menurut BPOM (2008), efek samping yang mungkin
ditimbulkan adalah iritasi saluran cerna dengan perdarahan ringan yang
asimptomatis, memanjangnya bleeding time, bronkospasme, dan reaksi kulit pada
pasien hipersensitif.
Glibenklamid
Glibenklamid atau Gliburid digunakan untuk
mengobati diabetes tipe 2 (kondisi di mana sensitivitas insulin menurun/tidak
normal dan karena itu tidak dapat mengendalikan jumlah gula dalam darah),
terutama pada penderita diabetesnyang tidak dapat dikontrol dengan diet saja.
Glibenklamid menurunkan gula darah dengan merangsang pankreas untuk
mengeluarkan insulin dan membantu insulin digunakan tubuh secara efisien
(peningkatan sensitivitas insulin) (Fischer et al., 2013).
Insulin adalah hormon yang diproduksi secara
alami oleh tubuh , oleh pankreas. Insulin membantu mengontrol level gula darah
. Jika tubuh tidak memproduksi insulin sesuai dengan kebutuhan , atau kerja
insulin tidak efektif maka hasilnya akan terjadi kondisi diabetes melitus.
Orang dengan diabetes memerlukan perawatan untuk mengontrol jumlah gula didalam
darah, ini karena kontrol yang baik dari gula darah mengurangi resiko
komplikasi. Pada beberapa orang, dengan merubah pola makan akan mempengaruhi
gula darah orang tersebut, tapi untuk beberapa orang lainnya, obat seperti
glibenclamide dikonsumsi bersamaan dengan diet yang diubah.Pankreas harus
memproduksi insulin agar pengobatan ini dapat bekerja. Glibenklamid tidak
digunakan untuk mengobati diabetes tipe 1 (kondisi dimana tubuh tidak
memproduksi insulin dan karena itu tidak dapat mengendalikan jumlah gula dalam
darah) (Azodo, 2009).
Glibenklamid dapat menyebabkan efek
samping. Efek Samping glibenklamid (Azodo, 2009) :
1. Ruam kulit
2. Gatal
atau kemerahan
3. Kulit
seperti terbakar
4. Kulit
atau mata menguning
5. Feses
berwarna mencolok
6. Urin
berwarna gelap
7. Perdarahan
atau memar tidak biasanya
8. Demam
9. Sakit
tenggorokan
BAB
III
PEMBAHASAN
III.1
Menentukan Diagnosis Diferensial
a. Klasifikasi Abnormalitas
Berdasarkan keluhan utama
pasien yaitu keluhan rasa terbakar pada
lidahnyaa merupakan manifestasi abnormalitas atau gangguan kelenjar saliva
dimana pada kasus ini sekresi saliva mengalami penurunan sehingga terjadi hiposalivasi
dengan manifestasi xerostomia.
b. Menentukan Ciri Sekunder
Selai keluhan rasa terbakar pada lidahnya,
pasien juga merasa tidak nyaman pada mulut dan indra pencecapannya sehingga
mengganggu fungsi makan dan bicara. Pada pemerikasaan intra oral ludah nampak
kental, lengket dan lidah depapilasi,
merah serta bagian posterior tertutup lapisan putih yang waktu dikerok
meninggalkan area kemerahan juga terdapat marginal gingivitis. Mukosa bukal dan
sulkus labialis nampak merah dan atrofik. Terdapat karies servikal pada
sebagian besar gigi-giginya.
c. Membuat daftar etiologi yang
mungkin
Berdasarkan abnormalitas dan
ciri-ciri sekunder di atas, maka dapat didapatkan kemungkinan etiologi sebagai
berikut.
· Infeksi
bakteri
· Infeksi
virus
· Obat-obatan
· Infeksi
jamur
· Autoimun
· Usia
tua
· Penyakit
sistemik
d. Eliminasi etiologi yang tidak
mungkin
· 
Infeksi bakteri


·
Infeksi virus

· Obat-obatan
·
Infeksi jamur

· Autoimun
· Usia
tua
· Penyakit
sistemik
e. Susun berbagai etiologi
berdasarkan probabilitas
Berdasarkan riwayat medis pasien,
diketahui bahwa pasien mengkonsumsi berbagai macam obat-obatan. Dari sekian
banyak obat-obatan yang dikonsumsi pasien, ebberapa diantaranya memiliki efek
samping yang signofokan terhadap penurunan produksi saliva seperi Calcium
Channel Blocker dan ACE inhibitor. Maka obat-obatan merupakan probabilitas
tertinggi etiologi kelainan pasien. Selanjutnya usia tua pasien seperti yang
telah dijelaskan pada bab sebelumnya, sedikit banyak berpengaruh terhadap
kelenjar saliva, maka ini menjadi probabilitas kedua. Penyakit sistemik yang
diderita pasien yaitu hipertensi dan DM mengakibatkan penurunan produksi saliva
pada kelenjar, sehingga ini menjadi probabilitas ketiga. Dan autoimun merupakan
probabilitas terakhir karena banyak hal yang perlu diperiksa lebih lanjut pada
pasien apabila ingin memastikan jika ada kelainan autoimun yang menyebabkan
xerostomia.
f. Menentukan Diagnosis
Setelah melewati langkah-langkah di
atas, maka dapat disimpulkan berbagai kemungkinan diagnosis. Untuk memastikan
diagnosis definitif, maka berbagai penyakit yang berhubungan dengan etiologi
yang mungkin dibandingkan dalam tabel di bawah ini.
[TOLONG
MASUKIN TABEL CEKLIS2 KITA YANG KEMARIN BIKIN DI PAPAN ITU, YANG NGEBANDINGIN
PENYAKIT2]
Berdasarkan tabel di atas maka dapat
disimpulkan diagnosis definitifnya adalah drug induced hiposalivation. Drug induced hiposalivation merupakan kondisi
kekurangan saliva di dalam mulut yang sangat parah yang diinduksi oleh konsumsi
obat-obatan tertentu. Pada pasien, obat yang berpengaruh adalah obat
antihipertensi ACE inhibitor calcium channel blocker (CCB), dan obat sedatif.
CCB bekerja
dengan cara menghambat influks kalsium pada otot polos pembuluh darah dan
miokard. Kalsium merupakan unsur organis saliva, bila influks kalsium pada otot
pembuluh darah dihambat, secara tidak langsung akan mempengaruhi saliva dengan
mengubah keseimbangan cairan dan elektrolit atau dengan mempengaruhi aliran
darah ke kelenjar (Schmitz, 2008). Sedangkan ada ACE inhibitor, obat dengan efek
antikolinergik adalah yang paling cenderung untuk menghasilkan keluhan mulut
kering dan hipofungsi saliva. Selain itu, obat dengan mekanisme kerja
menghambat neurotransmitter dengan mengikat reseptor membran kelenjar ludah,
atau mengganggu jalur transportasi ion sel asinar dapat mempengaruhi kualitas
dan kuantitas output saliva. Kategori umum dari obat-obat tersebut adalah
tricyclic antidepressants, sedatives and tranquilizers, antihistamine,
antihypertensives (diuretics, calcium channel blockers, angiotensin-converting
enzyme, α dan β blockers), cytotoxic agents,
anti-Parkinsonism dan antiseizure
drugs (Turner et al, 2007).
Di dalam glandula salivarius
terdapat banyak reseptor untuk substansi endogenus yang mengindikasikan bahwa
glandula salivarius memiliki istem target untuk banyak obat. Gamma amino
butyric acid (GABA) merupakan salah satu reseptor tersebut yang dapat berperan
menurunkan sekresi cairan dan pelepasan amilase oleh organ sekretori (Kawaguchi
dan Yamagishi, 1995). GABA juga
merupakan salah satu inhibitor mayor pada sistem saraf pusat. Obat-obat sedasi
memiliki mekanisme aksi mengaktifkan reseptor GABA tersebut. Ketika reseptor
GABA aktif, terjadi proses inhibisi sistem saraf pusat. Inhibisi tersebut
kemudian berpengaruh pada glandula salivarius dengan menurunkan jumlah produksi
sekresi saliva.
Xerostomia persisten menyebabkan berkurangnya rasa,
ketidakmampuan untuk mengunyah dan menelan makanan, dan hilangnya elektrolit
saliva dan immunoproteins yang berfungsi melindungi terhadap infeksi mikroba.
Sebagai hasilnya, mukosa mulut menjadi meradang, kering, merah, dan mengkilap.
Papilla filiformis lidah hilang, dan bibir pecah-pecah. Gejala umum yang
terjadi yaitu sensasi terbakar dan nyeri
pada membran mukosa dan lidah. Tanpa adanya saliva, terjadi peningkatan insidensi
karies (terutama karies servikal dan
karies akar), penyakit periodontal, infeksi candida, kekurangan gizi, anemia,
dan menghasilkan keadaan halitosis (Bricker, 2002). Pasien
dengan xerostomia biasanya mengalami tanda –tanda sebagai berikut, yaitu bibir
pecah – pecah, mengelupas, dan atropik ; lidah halus dan memerah ; mukosa oral
merah, tipis, dan rapuh ; peningkatan erosi dan karies gigi, khususnya pada
gingival margin (Guggenheimer, 2003).
Lapisan putih pada posterior lidah
pasien yang sewaktu dikerok meninggalkan warna merah merupakan tanda terjadinya
candidiasis. Ini berasal dari pemakaian obat kumur listerin yang terlalu sering
sehingga mengurangi jumlah flora normal mulut dan meningkatkan pertumbuhan
Candida. Zat antiseptik pada obat kumur dapat menimbulkan kelainan mukosa mulut
karena memang berfungsi untuk mematikan bakteri melalui efek sitotoksik yang
tidak saja terjadi pada bakteri patogen, tetapi juga pada bakteri komensal
rongga mulut (Sudiono, 1999). Salah satu zat antiseptik yang dapat dijumpai
dalam obat kumur yaitu hidrogen peroksida (H2O2), di mana pemakaian obat kumur
ini untuk jangka waktu yang lama dapat menimbulkan Candidiasis. Candidiasis
adalah suatu keadaan di mana Candida albicans menginfeksi, menimbulkan gambaran
klinis lesi putih yang dapat dikerok, kadang disertai deskuamasi (Harty, 1995).
Aktan, Z. A.;
Bilge, O.; Pinar, Y. A. & Ikiz, A. O. 2001. Duplication of the parotid
duct: a previously unreported anomaly. Surg. Radiol. Anat., 23(5):353-4.
Al-Saif, KM.
1991. Clinical Management of Salivary Deficiency: A Review Article. The Saudi Dental Journal 3(2):77-80
Azodo, C.C. 2009. Current Trends In The Management Of Diabetes Mellitus:
The Dentist’s
Perspective. Journal of Postgraduate Medicine Vol. 11 No. 1
Badan Pengawas
Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2008. Informatorium
Obat Nasional Indonesia. Jakarta: Sagung Seto.
Bahadir, O.; Caylan, R.; Bektas, D. & Korkmaz, O. 2004. Sialolithiasis
of an accessory parotid gland. Ann. Otol. Rhinol. Laryngol., 113(1):52-4.
Bailey, L. 1971. Short practice of surgery. 15th London, Lewis. p.
533.
Bergdahl, M.
2000. Salivary flow and oral complaints in adult dental patients. Community Dent Oral Epidemiol. 28(1):
59-66
Brainerd,
Arey L. 1968. Human Histology A Textbook in Outline Form 3rd
Edition. London : W.B.Saunders
Company
Bricker, Steven L.,Langlais , Robert P., Miller,
Craig S. 2002. Oral Diagnosis Oral
Medicine and Treatment Planning. BC Decler Inc.Canada
Brown, R.G., Burns,T.. 2005. Infeksi Jamur. Dalam : Lecture Notes Dermatologi.
Edisi 8. Jakarta : Erlangga. 38-40
Edisi 8. Jakarta : Erlangga. 38-40
Brown, R.G., Burns,T.. 2005. Infeksi Jamur. Dalam: Lecture Notes Dermatologi. Edisi 8. Jakarta : Erlangga.
38-40
Burge. S. Darier's Disease, Dalam: Harper J, Oranje
A, Prose N. 2000. Textbook of Pediatric
Dermatology. Oxford : Blackwell Scince.
Cappacio P, Torretta S, Ottaviani F, Sambataro
G, and Pignataro L. 2007. Modern Management of Obstructive Salivary Diseases. Acta Otorhinolaryngologica Italica. Vol.
27 (4):161-172
Carr, SJ. Sialolith of unusual size and configuration.
Oral Surg, Oral Med, Oral Pathol 1965; 20: 709–712.
Cawson RA, Odell EW. 1998. Essentials of oral
pathology and oral medicine 6th ed pp239–240 Edinburgh: Churchill
Livingstone
Coleman GC and Nelson JF. 1993.
Principles of Oral Diagnosis. Michigan: Mosby-Year Book
Departemen Farmakologi dan Terpeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2007.
Elias GP, et
al. 2006. Dental mineralization and salivary activity are reduced in offspring
of spontaneously hypertensive rats (SHR). Journal
Of Applied Oral Science. 14(4): 253-259.
Farmakologi Dan Terapi
edisi 5, cetak ulang 2009. Balai Penerbit FKUI. Jakarta
Fernandes, A. C. S.; Lima, G. R.; Rossi, A. M.
& Aguiar, C. M. 2009. Parotid
gland with double duct: An anatomic variation description. Int. J. Morphol., 27(1):129-132.
Fischbach F and Dunning MB.
2009. A Manual of Laboratory and
Diagnostic Tests, Edition 8. Philadelphia. Lippincott Williams &
Wilkins
Fischer, et
al. 2013. Risk Assessment and Oral Diagnostics in Clinical Dentistry. Iowa:
Wiley-Blackwell
Gadodia A, Seith A, Sharma R,
Thakar A. 2008. Congenital salivary fistula of accessory parotid gland: imaging
findings. JLO. 11: 1-4
Galazka AM, Robertson SE, and
Kraigher A. 1999. Mumps and Mumps Vaccine: A Global Review. Bulletin of The World Health Organization. Vol.77
(1)
Gaur, U.; Choudhry, R.; Anand, C. & Choudhry, 1994. S. Submandibular
gland with multiple ducts. Surg. Radiol. Anat. 16(4):439-40.
Ghom AG. 2005. Textbook of Oral Medicine. New Delhi. Jaypee Brothers Medical
Publisers
Gibson J and Beeley JA. 1994. Natural and
Synthetic Saliva: A stimulating Subject. Biotechnology
and Genetic Engineering Reviews. Vol.12
Gleeson, M. 1997. Scott-Brown`s Otolaryngology. 6th. London,
Butterworth-Heinemann, Bath, V.1. p.3.
Greenberg., Glick., Ship. 2008. Burket’s
oral medicine eleventh edition. BC decker : Ontario
Guggenheimer.2003.
Xerostomia: Etiology, Recognition, and Treatment. J Am Dent Assoc. 134(1):
61-69.
Gupta et al.
2006. Hiposalivasi pada Pasien Lansia. J Bisa Dent Assoc. 72 (9) : 841-6.
Harty FJ, Ogston R. 1995. Kamus Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC
Harty
FJ, Ogston R. 1995. Kamus Kedokteran
Gigi. Jakarta: EGC.
Haskell
R dan Gayford J.J. 1991. Penyakit Mulut. Jakarta: EGC
Hurwitz. S.1993. Clinical
Pediatric Dermatology, Textbook of Skin Disorders of Childhood and Adolescence.
W.B Saunders company
Jebejian, R. & Hajenlian, G. 1993. A simple setting for continuous
irrigation in Charleux surgery for dry eye. Rev. Int. Trach. Pathol.
Ocul. Trop. Subtrop. Sante Publique, 70:217-23.
Julia AM et.al. 2006. Oski’s Pediatrics: Principles & Practice.
Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins
Kenny, T. 2011. Diverticula
(including Diverticulosis, Diverticular Disease and Diverticulitis). EMIS. Vol 35: (I) 423-6.
Laskaris G. 2005. Treatment of Oral Disease. New York. Georg Thieme Verlag
Leung AK, Choi MC, Wagner GA. Multiple
sialoliths and a sialolith of unusual size in the submandibular duct. Oral
Surg, Oral Med, Oral Path, Oral Radiol, Endo 1999; 87: 331–333.
Lewis MAO. 1998. Tinjauan Klinis Penyakit Mulut. Jakarta : Widya
Medika.
Manurung, Amelia K.W.
2012. Pengaruh Xerostomia Terhadap
Kesehatan Gigi dan Mulut Terkait Kualitas Hidup pada Usia Lanjut.
Universitas Diponegoro.
Moore, K. L. & Dalley, A. F. 2005. Clinically Oriented Anatomy. 5th
Toronto, Lippincott Williams & Wilkins.
Moore, K. L. & Persaud, T. V. N. 2002. The Developing Human:
Clinically Oriented Embryology. 7th Philadelphia, Saunders.
Mori, S.; Wada, T.; Harada, Y. & Toyoshima, 1986. S. Accessory duct in
the submandibular gland. Oral Surg. Oral Med. Oral Pathol. 62(5):607-8.
Murphy GF. 1995. Dermatophatology.
WB, Saunders company .
Nanci, A. 2003. Oral Histology:Development, Structure, and
Function. Philadelphia: Mosby
Odom. RB, James WD, Gerber. GT. 2000. Adrew's Diseases of the Skin Clinical
Dermatology, 9th ed. WB. Saunders company
Ohanesian S. 2006.
Developmental mandibular salivary gland defect: the importance of clinical
evaluation. Dentistry Today. 3: 1-3
Pedersen GW. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut (terj). Jakarta : EGC
Peterson, L. J.; Ellis, E.; Hupp, J. R. & Tucker, M. R. 2002.
Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery. 4th St. Louis, USA, Mosby.
Rahmathulla, M. 1973. A rare case of accessory duct in sub-mandibular
sialography. J. Indian. Dent. Assoc., 45(11):563-4.
Rajendran
R. 2009. Shafer’s Textbook Of Oral
Pathology 6th edition. Elsevier: India.
Rauch S, Gorlin RJ. 1970. Diseases of
the salivary glands. In: Gorlin RJ, Goldman HM, editors. Thomas’s oral
pathology. 6th ed. St. Louis: C.V.Mosby; p. 968.
Reddy SS, Rakesh N, Raghav N, Devaraju D, and
Biijal SG. 2009. Sialograph: Report of 3 Cases. Indian Journal of Dental Research. Vol.20 (4):499-502
Roth,
Gerald I and Camles, Robert, 1981. Oral Biology. Philadelphia :
Mosby p.196-213
Samanta, P. P.; Rana, K. K.; Khan, R. Q. & Das, S. 2007. An unusually
located human accessory parotid glanda. A case report. Braz. J. morphol.
Sci. 24(1):53-4.
Schmitz,
Gery. 2008, Farmakologi dan toksikologi, Penerjemah : Luki Setiadi,
Penerbit buku kedokteran EGC : Jakarta.
School of
Pharmacy and Allied Health Sciences, University of Montana.
2010. Helping patients with dry mouth.
http://www.oralcancerfoundation.org/dental/xerostomia.
htm
Screebny LM,
Schwartz SS. 1997. A reference guide to drugs and dry mouth 2nd Ediotion. Gerodontology. 14(1): 33-47
Shishir Ram Shetty,
Sunanda Bhowmick,
Renita Castelino,
and SubhasBabu.
2012. Drug induced xerostomia in
elderly individuals: An institutional study. ContempClin Dent. 2012 Apr-Jun; 3(2): 173–175
Sonis, S.T., Fazio,
R.C., Fang, L. 1995. Principles and
Practice of Oral Medicine. Second Edition. Philadelphia: Saunders
Standring, S. 2005. Gray`s Anatomy. The anatomical basis of clinical practice.
3rd Edinburgh, Elsevier Churchill Livingstone.
Steiner M, Gould AR,
Kushner GM, Weber R, Pesto. A Sialolithiasis of the submandibular gland in an
8-year-old child. Oral Surg, Oral Med, Oral Pathol, Oral Radiol, Endod
1997; 83: 188.
Sudiono J. 1999. Pengaruh pemakaian obat kumur
senyawa fenol terhadap gambaran SEM epitel mukosa bukal mulut tikus. M 1 Kedokt Gigi FKG Usakti. 38, 70-5
Sudiono J. 1999.
Pengaruh pemakaian obat kumur senyawa fenol terhadap gambaran SEM epitel mukosa
bukal mulut tikus. M 1 Kedokt Gigi FKG
Usakti. 38, 70-5
Thibault, F.; Halimi, P.; Bely, N.; Chevallier, J. M.; Bonfils, P.;
Lellouch-Tubiana, A. & Frija, G. 1993. Internal architecture of the parotid
gland at MR imaging facial nerve or ductal system. Radiology, 188(3):701-5.
Tripathi,
KD. 2003. Essentials of Medical Pharmacology, 5th ed. New Delhi:
Jaypee Brothers
Turner et
al, 2007. Mulut Kering dan Dampaknya pada Kesehatan Oral. JADA. 139 (9) : 15-20
Turner MD,
Ship JA. 2007. Dry mouth and its effect on the oral healt of elderly people. JADA. 138(1): 15-20
Whelto H. 1996. Introduction : the
anatomy and phisiology of the salivary gland. Thanet Press. Margate
Williams, MF. 1999. Sialolithisis Otolaryngologic Clinics of North America. Edinburgh:
Churchill Livingstone 32: 819–834.
Williams, P. L.; Bannister, L. H.; Berry, M. M.; Collins, P.; Dyson, M.;
Dussek, J. E. & Ferguson, M. V. J. 1995. Gray`s Anatomy. 38th ed.
New York, Churchill Livingstone.
Zenk J, Benzel W, Iro H. New modalities in the
management of human sialolithiasis. Minimally invasive therapy 1994; 3: 275–284.
Zenk, J.; Hosemann, W. G.; & Iro, H. 1998. Diameters of the main
excretory ducts of the adult human submandibular and parotid gland. Oral
Surg. Oral Med. Oral Pathol. Oral Radiol. Endodotol., 85(5):576-80.
Comments
Post a Comment