ORAL SWELLING

 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebanyakan orang beranggapan bahwa air liur atau saliva tidak mempunyai arti apa-apa dan  sering dilihat sebagai suatu benda yang menjijikkan. Sebaliknya tanpa kita sadari, akhir-akhir ini, cairan di dalam rongga mulut ini bukan saja penting untuk pencernaan makanan tetapi juga dapat memberi informasi tentang kondisi tubuh dan digunakan secara meluas untuk mendiagnosa penyakit lokal dan sistemik.Dalam keadaan normal, mukosa mulut selalu dibasahi oleh saliva. Hal ini merupakan faktor penting karena bila tidak dibasahi saliva akan menyebabkan masalah bau mulut, kesukaran berbicara, mengunyah, menelan, rasa sakit pada lidah dan penyakit tubuh secara keseluruhan.
Saliva berperan penting dalam melindungi gigi dan selaput lunak di dalam rongga mulut melalui sistem buffer sehingga makanan yang terlalu asam misalnya dapat dinetralkan kembali keasamannya dan juga segala macam bakteri baik yang aerob (hidup dengan adanya udara) maupun bakteri anaerob (hidup tanpa udara) dijaga keseimbangannya.Saliva juga mempunyai antigen dan antibodi yang berfungsi melawan kuman dan virus yang masuk ke dalam tubuh sehingga tubuh tidak akan mudah terserang penyakit.. Kadar aliran saliva dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor dan penyakit. Peningkatan dan pengurangan aliran saliva dapat memberi efek pada kesehatan rongga mulut dan kesehatan organ tubuh yang lain (Coleman, 1993)
Glandula saliva atau kelenjar saliva merupakan organ yang terbentuk dari sel-sel khusus yang dapat mensekresi saliva. Saliva adalah cairan oral yang kompleks dan tidak berwarna yang terdiri dari campuran sekresi dari kelenjar besar dan kelenjar kecil (mayor dan minor) yang ada di mukosa oral. Saliva sendiri memiliki fungsi yaitu melicinkan dan membasahi rongga mulut sehingga membantu proses mengunyah dan menelan makanan, membasahi dan melembutkan makanan menjadi bahan setengah cari ataupun cair sehingga mudah ditelan dan dirasakan, membersihkan rongga mulut dari sisa-sisa makanan dan bakteri, mempunyai aktivitas antibakteri dan sistem buffer, membantu proses pencernaan makanan melalui aktivitas enzi ptyalin dan lipase ludah, berpatisipasi dalam proses pembekuan dan penyembuhan luka karena teradapat faktor pembekuan darah , jumlah sekresi air ludah dapat dipakai sebagai ukuran tentang keseimbangan air dalam tubuh, dan membantu dalam berbicara (pelumasan pada pipi dan lidah). Apabila terjadi kelainan pada kelenjar saliva , akan terjadi dampak yang dapat mengurangi fungsi saliva sehingga menyebabkan berbagai masalah pada rongga mulut (Whelton,1996)
1.2  Tujuan
Mengetahui etiologi, patogenesis, tanda dan gejala serta dapat mengemukakan suatu diagnosa maupun diagnosis banding pada salah satu kasus penyakit pada glandula saliva yang bermanifestasi didalam rongga mulut
1.3  Manfaat
Memberi informasi mengenai tanda dan gejala suatu penyakit glandula saliva yang bermanifestasi di rongga mulut yang mungkin ditemukan di klinik, sehingga memberikan gambaran yang jelas untuk mendiagnosa dengan mempertimbangkan beberapa faktor seperti etiologi dan perjalanan penyakit

Intisari
Saliva merupakan cairan jernih yang terdapat di dalam mulut dan dihasilkan oleh kelenjar saliva. Saliva sangat diperlukan, karena diantaranya berfungsi untuk membuat mulut tetap basah, membantu melindungi gigi dari kerusakan, membantu proses penghancuran  makanan, dan mematikan mikroba. Beberapa penyakit dan obat-obatan dapat  berefek pada jumlah saliva yang diprouksi. Jika terjadi penurunan jumlah saliva (hyposalivasi), maka mulut menjadi kering yang disebut sebagai xerostomia. Pada keadaan mulut menjadi kering, pencecapan berkurang dan mengganggu proses bicara. Disamping itu mulut kering dapat menyebabkan gusi, lidah dan jaringan lain dalam mulut menjadi bengkak, dan dapat mempercepat terjadinya kerusakan gigi.
Pada kasus pasien dengan keluhan lidah rasa terbakar, tidak nyaman pada mulut dan pencecapan serta terjadi gangguan makan dan bicara, ada kecurigaan terjadinya hiposalivasi. Kecurigaan ini diperkuat dengan hasil pemeriksaan intra oral yakni, ludah nampak kental dan lengket, lidah depapilasi, merah serta bagian posterior tertutup lapisan putih yang saat dikerok terjadi kemerahan,  dan terdapat marginal gingivitis. Disamping itu pada mukosa bukal dan sulkus labialis nampak merah dan atrofik, serta terdapat karies servikal pada sebagian besar gigi-giginya. Berdasarkan riwayat pasien diketahui bahwa pasien banyak mengkonsumsi berbagai macam obat-obatan diantaranya adalah Calcium Channel Blocker dan ACE inhibitor, sebagai antihipertensi karena pasien menderita hipertensi. Kedua jenis obat tersebut diketahui mempunyai efek samping yang signifikan dalam menurunkan produksi saliva. Usia pasien yang sudah tua dan penyakit DM yang diderita pasien juga memiliki peran dalam memperparah kondisi pasien, oleh karena umur dan penyakit sistemik DM berdampak pada penurunan produksi saliva.
Berdasarkan hasil analisis dan etiologi dari berbagai propabilitas tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien tersebut utamanya menderita hiposalivasi yang diinduksi oleh obat (drug induced hyposalivation) dengan manifestasi xerostomia. Seperti kita ketahui bahwa xerostomia persisten mampunyai ciri-ciri seperti tersebut di atas. Adapun terbentuknya lapisan putih pada posterior lidah pasien yang sewaktu dikerok meninggalkan warna merah merupakan tanda terjadinya candidiasis, yang disebabkan oleh adanya infeksi Candida albicans. Munculnya candidiasis tersebut merupakan akibat dari hiposalivasi, yang menyebabkan infeksi mikroba tidak dapat dikendalikan.
Walaupun penurunan produksi saliva dapat pula disebabkan karena terjadinya autoimun, akan tetapi untuk memastikan pada kasus pasien tersebut masih perlu pemeriksaan lebih lanjut dengan teliti.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Struktur dan Fungsi Kelenjar Saliva
Saliva adalah suatu cairan oral yang kompleks dan tidak berwarna yang terdiri atas campuran sekresi dari glandula saliva mayor dan minor yang ada pada mukosa oral. Saliva dapat disebut juga glandula ludah atau glandula air liur. Semua glandula saliva mempunyai fungsi untuk membantu mencerna makanan. Pembentukan glandula saliva dimulai pada awal kehidupan fetus (4 – 12 minggu) sebagai invaginasi epitel mulut yang akan berdiferensiasi ke dalam duktus dan jaringan asinar (Roth and Camles, 1981).
Saliva terdapat sebagai lapisan setebal 0,1-0,01 mm yang melapisi seluruh jaringan rongga mulut. Ekskresi saliva pada orang dewasa berkisar antara 0,3-0,4 ml/menit sedangkan apabila distimulasi, banyaknya saliva normal adalah 1-2 ml/menit. Menurunnya pH dan jumlah saliva menunjukkan adanya resiko terjadinya karies yang tinggi. Dan meningkatnya pH saliva akan mengakibatkan pembentukan karang gigi (Brainerd, 1968).
            Saliva diproduksi secara berkala dan susunannya sangat tergantung pada umur, jenis kelamin, makanan saat itu, intensitas dan lamanya rangsangan, kondisi biologis, penyakit tertentu dan obat-obatan. Manusia memproduksi sebanyak 1000-1500 cc saliva dalam 24 jam, yang umumnya terdiri dari 99,5% air dan 0,5 % lainnya terdiri dari garam, zat organik dan zat anorganik. Unsur-unsur organik yang menyusun saliva antara lain : protein, lipid, glukosa, asam amino, amonia, vitamin, dan asam lemak. Unsur-unsur anorganik yang menyusun saliva antara lain : Sodium, Kalsium, Magnesium, Bikarbonat, Khloride, Rodanida dan Thiocynate (CNS), Fosfat, Potassium. Yang memiliki konsentrasi paling tinggi dalam saliva adalah kalsium dan Natrium (Roth and Camles, 1981).

Saliva memiliki beberapa fungsi, yaitu (Brainerd, 1968) :
1.     Melicinkan dan membasahi rongga mulut sehingga membantu proses mengunyah dan menelan makanan
2.     Membasahi dan melembutkan makanan menjadi bahan setengah cair ataupun cair sehingga mudah ditelan dan dirasakan
3.     Membersihkan rongga mulut dari sisa-sisa makanan dan kuman
4.     Mempunyai aktivitas antibacterial dan sistem buffer
5.     Membantu proses pencernaan makanan melalui aktivitas enzim ptyalin (amilase saliva) dan lipase saliva
6.     Berpartisipasi dalam proses pembekuan dan penyembuhan luka karena terdapat faktor pembekuan darah dan epidermal growth factor pada saliva
7.     Jumlah sekresi saliva dapat dipakai sebagai indicator keseimbangan air dalam tubuh.
8.     membantu dalam berbicara

Saliva memegang peranan dalam masalah bau mulut, gigi berlubang dan penyakit rongga mulut maupun penyakit sistemik karena saliva melindungi gigi dan jaringan lunak di rongga mulut dengan sistem buffer sehingga makanan yang terlalu asam misalnya bisa dinetralkan kembali keasamannya dan juga segala macam bakteri baik yang aerob maupun anaerob dijaga keseimbangannya. Di dalam saliva juga terdapat antigen dan antibodi yang berfungsi melawan kuman dan virus yang masuk ke dalam tubuh sehingga tubuh tidak akan mudah terserang penyakit (Haskell dan Gayford, 1991).

Penggunaan obat kumur ataupun antiseptik yang berlebihan  akan mengakibatkan terganggunya keseimbangan flora normal di dalam mulut, flora normal menjadi turun sedangkan mikroorganisme pathogen meingkat sehingga menimbulkan masalah dalam rongga mulut. Adanya bakteri asidogenik dapat membuat sisa makanan di gigi maupun mukosa rongga mulut terfermentasi sehingga timbul toksik asam yang akan membuat email mengalami demineralisasi. Selain itu bakteri anaerob juga bisa mengeluarkan gas yang mudah menguap antara lain seperti gas H2S (Hidrogen Sulfid), Metil Merkaptan dan lain-lain yang akan menimbulkan bau mulut (Haskell dan Gayford, 1991).

Pada orang-orang yang mengalami diabetes, perokok, makan obat-obatan tertentu, orang lanjut usia, maupun orang yang menjalani terapi radiasi pada penderita kanker memiliki kecenderungan jumlah saliva yang berkurang. Hal ini bisa diatasi dengan terapi obat-obatan yang merangsang produksi saliva (Haskell dan Gayford, 1991).

Macam-macam glandula saliva (Brainerd, 1968):
1.   Glandula saliva utama/mayor
Glandula saliva mayor terdiri dari :
a)     Glandula Parotis
Glandula parotis terletak dibagian bawah telinga di belakang ramus mandibula. Glandula parotis merupakan glandula saliva terbesar yang terletak antara prossesus mastoideus dan ramus mandibula. Duktus glandula ini bermuara pada vestibulum oris pada lipatan antara mukosa pipi dan gingiva di hadapan molar 2 atas. Glandula parotis dibungkus oleh jaringan ikat padat dan mengandung sejumlah besar enzim antara lain amilase lisozim, fosfatase asam, aldolase, dan kolinesterase. Secara morfologis glandula parotis merupakan glandula tubuloasinus (tubulo-alveolar) yang bercabang-cabang (compound tubulo alveolar gland) (Brainerd, 1968).
Saluran keluar utama (duktus interlobaris) disebut duktus stenon (stenson) yang terdiri dari epitel berlapis semu sedangkan ke arah dalam organ duktus ini bercabang-cabang menjadi duktus interlobularis dengan sel-sel epitel berlapis silindris. Duktus interlobularis ini kemudian bercabang-cabang menjadi duktus intralobularis. Kebanyakan duktus intralobularis merupakan duktus Pfluger yang mempunyai epitel selapis silindris yang bersifat acidophil dan menunjukkan garis-garis basal (Brainerd, 1968).
b)    Glandula Submandibularis (submaksilaris)
Terletak dibagian bawah corpus mandibula. Glandula ini terletak disebelah dalam korpus mandibula dan mempunyai duktus ekskretoris yaitu duktus wharton yang bermuara pada dasar rongga mulut pada frenulum lidah, dibelakang gigi seri bawah. Glandula ini merupakan glandula yang memproduksi saliva terbanyak yang bersifat seromukus. Seperti juga glandula parotis, glandula submandibularis diliputi kapsel yang terdiri  dari jaringan ikat padat yang juga masuk ke dalam organ dan membagi organ tersebut menjadi beberapa lobules (Brainerd, 1968).
c)     Glandula Sublingualis
Terletak dibawah lidah dan merupakan glandula terkecil dari glandula-glandula saliva mayor. Terletak pada dasar rongga mulut, dibawah mukosa dan mempunyai duktus ekskretoriusyang disebut Duktus Rivinus. Bermuara pada dasar rongga mulut dibelakang muara duktus Wharton pada frenulum lidah. Glandula sublingualis tidak memiliki kapsel yang jelas tetapi memiliki septa-septa jaringan ikat yang tebal. Secara morfologis glandula ini merupakan glandula tubuloalveolar bercabang-cabang  (compound tubuloalveolar gland) dan merupakan glandula dimana sebagian besar asinusnya adalah mukus murni (Brainerd, 1968).


2.     Glandula saliva tambahan/minor
Glandula saliva minor merupakan glandula-glandula kecil yang terletak di dalam mukosa atau submukosa  dan hanya menyumbangkan 5% dari ekskresi saliva. Glandula salivarius minor antara lain terdiri dari  (Brainerd, 1968) :
a)     Glandula labialismterdapat pada bibir atas dan bibir bawah dengan asinus seromukus
b)    Glandula bukalis terdapat pada mukosa pipi, dengan asinus seromukus
c)     Glandula Bladin-Nuhn (glandula lingualis anterior) terletak pada bagian bawah ujung lidah di sekitar garis median, dengan asinus seromukus
d)    Glandula Von Ebner (Gustatory Gland atau albuminous gland) terletak pada pangkal lidah, dengan asinus murni serus
e)     Glandula Weber yang juga terdapat pada pangkal lidah dengan asinus mukus.
Glandula Von Ebner dan Weber disebut juga glandula lingualis posterior
f)     Glandula pada palatum dengan asinus mukus.

Struktur glandula saliva
Tiap-tiap glandula sebagai suatu organ terdiri dari (Roth and Camles, 1981) :
1.     Parenkim, yaitu bagian glandula yang terdiri dari asinus dan duktus yang bercabang. Asinus merupakan bagian sekretoris yang mengeluarkan sekret. Sekret ini akan dialirkan melalui suatu duktus untuk disalurkan ke dalam rongga mulut (Roth and Camles, 1981).
2.     Stroma/jaringan ikat interstisial yang merupakan jaringan antara asinus dan duktus. Jaringan ikat ini membungkus organ (kapsel) dan masuk kedalam organ serta membagi organ tersebut menjadi lobus dan lobulus. Pada jaringan ikat tersebut ditemukan duktus glandula, pembuluh darah, saraf dan jaringan lemak (Roth and Camles, 1981).

Sel penyusun glandula saliva
1.      Unit sekretori
Terdiri dari : sel-sel asinar,  duktus interkalaris, duktus striata, dan main excretory ducts. Sel-sel ini yang bertanggung jawab besar untuk sekresi dan modifikasi dari saliva, sel-sel plasma juga berkontribusi pada sekresi saliva, setidaknya pada glandula minor (Roth and Camles, 1981).
2.      Unit non sekretori
Terdiri dari myoepitel sel dan sel saraf (Roth and Camles, 1981).

Inervasi glandula saliva (Haskell and Gayford, 1991) :
-           Glandula saliva disarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis (N VII)
-           Saraf parasimpatis merangsang keluarnya saliva
-           Saraf simpatis merangsang reseptor α dan β

Glandula saliva mendapatkan inervasi saraf parasimpatis dari nukleus saliva inferior, sedangkan glandula submandibula dan sublingualis mendapat inervasi saraf dari nukleus saliva superior. Saraf simpatis untuk glandula parotis, submandibularis, dan sublingualis berasal dari ganglion simpatis servikal superior, dengan pleksus saraf yang berjalan ke glandula saliva di sepanjang arteri. Glandula saliva minor mungkin juga mempunyai inervasi saraf simpatis dan parasimpatis (Haskell and Gayford, 1991).

Saliva merupakan campuran dari beberapa sekresi glandula saliva. Sekresi normal saliva sehari berkisar antara 800–1500 ml. Pada umumnya saliva merupakan cairan viskous, tidak berwarna yang mengandung air, mukoprotein, immunoglobulis, karbohidrat dan komponen-komponen organis seperti, Ca, P, Na, Mg, Cl, Fe, dan J. Selain itu saliva juga mengandung enzim amilase yaitu ptyalin. Selanjutnya saliva juga mengandung sel-sel desquamasi yang lazim disebut korpuskulus salivatorius (Roth and Camles, 1981).

Komposisi saliva sangat tergantung pada keaktivan glandula- saliva. Sekresi glandula saliva dapat terjadi karena diperngaruhi oleh beberapa faktor, yaitu  refleks saraf, rangsangan mekanis, dan rangsangan kimaiwi. Bahan makanan dan zat kimia dapat memberi rangsangan langsung pada mukosa mulut. Bahan makanan juga dapat merangsang serat saraf eferen yang berasal dari bagian thorakal. Sekresi saliva dapat pula timbul secara reflektoris hanya dengan jalan mencium bau makanan, melihat makanan, atau bahkan dengan memikirkan dan membayangkan makanan (Haskell and Gayford, 1991).

            Saliva mengandung 2 tipe sekresi protein yang utama yaitu sekresi serus yang merupakan enzim untuk mencernakan serat seperti ptyalin, dan sekresi mukus untuk pelumasan dan perlindungan permukaan. Pada umumnya glandula saliva kaya dengan pembuluh darah. Pembuluh darah besar berjalan bersama-sama dengan duktusnya pada jaringan ikat interlobularis dan bercabang mengikuti cabang duktusnya ke dalam lobuli, dimana pada akhirnya pembuluh darah ini akan membentuk anyaman kapiler mengitari asinus dan akhirnya kembali membentuk vena yang berjalan bersama-sama dengan pembuluh darah arteri (Brainerd, 1968).

Faktor yang mempengaruhi sekresi saliva (Roth and Camles, 1981):


·      Irama siang malam
·      Sifat dan besar stimulus
·      Tipe glandula
·      Diet
·      Umur, jenis kelamin dan fisiologi seseorang
·      Kadar hormon
·      Elektrolit
·      Kapasitas buffer
·      Obat-obatan
·      Gerak badan

II.2 Klasifikasi Kelainan/Penyakit Kelenjar Saliva
1.     Gangguan perkembangan kelenjar saliva
a.     Aberrancy
b.     Aplasia dan hipoplasi
c.     Hyperplasia
d.     Atresia
e.     Duktus aksesori
f.      Divertikuliti
g.     Fistula congenital
h.     Defek perkembangan
i.      Darier’s disease
2.     Gangguan fungsi kelenjar saliva
a.     Sialorrhea (ptyalism)
b.     Xerostomia
3.     Gangguan obstruktif
a.     Sialolitiasis
b.     Mucous plug
4.     Kista kelenjar saliva
a.     Mucocele
b.     Ranula
5.     Pembesaran kelenjar saliva
a.     Sialadenitis alergika
b.     Malnutrisi atau alkoholik
6.     Infeksi virus
a.     Mumps
b.     Infeksi sitomegalovirus
c.     Infeksi HIV
d.     Infeksi hepatitis C virus
7.     Infeksi bakteri
8.     Gangguan auto-imun
a.     Sjogren syndrome
b.     Miculicz’s disease atau benign lympho-epithelial lesion
9.     Neoplasma
a.     Benign neoplasma
b.     Malignant neoplasma
Sumber : Bahan ajar Oral Medicine 2. Topik Kelainan kelenjar saliva FKG UGM

Aberrancy
Merupakan gangguan pada proses pembentukan diakibatkan oleh distribusi yang meluas dari jaringan aksesoris glandula salivarius pada rongga mulut, sangat sulit untuk membedakan bahwa itu merupakan kondisi aberrancy. Karena jaringan aksesoris dari glandula salivarius bisa ditemukan pada bibir, palatum, mucosa bukal, dasar mulut, lidah dan area retromolar, aberrancy bisa ditafsirkan sebagai situasi yang ringan dimana glandula ini ditemukan lebih jauh dari lokasi normalnya. Secara klinis tidak ada tanda yang signifikan dari aberrancy glandula salivarius kecuali adanya penemuan lokasi yang terjadi pembentukan retensi kista atau neoplasma (Rajendran, 2009).
Pada beberapa kasus terkadang dilaporkan ditemukannya jaringan glandula saliva pada tubuh mandibula. Telah ditemukan dari berbagai contoh bahwa jaringan glandular secara anatomis berhubungan dengan glandula submaxila atau sublingual, melalui sebuah batang atau pedicle dari jaringan dimana perforasi ke tulang kortikal lingual. Alasan inilah aberrancy bisa dibedakan ketika kondisinya sudah ekstrim dikenal sebagai developmental lingual mandibular salivary glang depression. Treatment yang mungkin dilakukan pada kondisi ini ialah eksplorasi pada rongga mulut, lokasi yang diyakini terdapat aberrancy dilakukan observasi (Rajendran, 2009).
Aplasia/ Hipoplasia
Aplasia glandula salivarius adalah suatu kondisi dimana tidak ada glandula baik unilateral atau bilateral. Aplasia menjadi manifestasi dari terbentuknya xerostomia. Diagnosis dari aplasia glandula salivarius dibuat setelah mengeluarkan semua penyebab yang biasanya mengakibatkan xerostomia, Sjogren syndrome, dan radiasi. CT scan atau MRI akan mengindikasikan hilangnya glandula dan digantikan oleh jaringan lemak dan fibrous. Hilangnya ductus salivarius merupakan tanda – tanda tambahan (Rajendran, 2009).
Aplasia muncul tanpa alasan yang pasti dan dimasukkan ke dalam penemuan yang terisolasi atau ditafsirkan sebagai defek pada pembentukan seperti hemifacial microsomia, sindrom LADD, dan mandibulo-facial dysostosis. Kehilangan saliva mengarahkan pada peningkatan karies, sensasi terbakar, infeksi oral, sensasi rasa yang menyimpang, susah untuk retensi denture dan bisa menuju ke xerostomia (Rajendran, 2009).
Treatment untuk aplasia glandula salivarius ialah meghilangkan xerostomia dan efeknya. Penggantian saliva, pembersihan mulut secara berkala, perawatan dental yang komprehensif, terapi fluoride, dan kebersihan rongga mulut menjadi bagian terpenting dari managemen perawatan yang sukses (Rajendran, 2009).
Duktus saliva Aksesori
Duktus aksesori adalah umum dan tidak memerlukan pengobatan. Di sebuah studi dari 450 kelenjar parotis oleh Rauch dan Gorlin (1970), setengah dari probandus memiliki duktus parotis aksesori. Yang paling sering lokasi superior dan anterior ke lokasi normal duktus Stenson. Duktus saliva aksesori adalah variasi anatomi normal dan bukan merupakan penyakit, namun penting untuk dipelajari agar menghindari kesalahan diagnosis, bedah, maupun interpretasi radiografi yang berkenaan dengan daerah di sekitar kelenjar saliva tersebut.
Kelenjar parotid (KP), kelenjar ludah terbesar, adalah kelenjar yang terletak anterior dan inferior dari meatus akustik eksternal, sebagian menutupi ramus mandibula dan otot masseter (Stranding, 2005). Air liur yang diproduksi oleh kelenjar parotis terutama serosa dengan kandungan  amilase dan Immunoglobulin A yang tinggi. Kelenjar parotis dibentuk oleh berkembang biak ektoderm dari rongga mulut primitif, yang berinvaginasi dari jaringan mesenkim berdekatan selama minggu keenam perkembangan pra-natal. Invaginasi tersebut menimbulkan beberapa kuncup epitel yang berkembang biak dan bermigrasi di posterior rantai sel yang membungkuk untuk membentuk duktus dengan waktu minggu kesepuluh kehamilan tercapai. Posterior ujung setiap struktur epitel berdiferensiasi membentuk asinus, yang memulai fungsi sekresi mereka sekitar delapan belas minggu kehamilan (Moore & Persaud, 2002).
Duktus langsung terkait dengan jaringan sekretori memiliki diameter yang lebih kecil dan dilapisi dengan satu lapisan sel epitel kubus. Duktus-duktus ini bergabung dan membentuk bagian yang lebih besar hingga duktus ekskretoris memiliki lapisan sel epitel berlapis berbentuk kubus, diikuti oleh duktus yang lebih besar berjajar dengan lapisan sel epitel cilindridal, yang akhirnya menggabungkan untuk membentuk duktus utama tunggal, duktus Stensen. Ini dibentuk oleh duktus kecil tergeletak di dekat margin posterior ramus dari mandibula, dan ukuran sekitar 5 cm (Williams et al., 1995, Peterson et al, 2002).
Duktus Stensen, kemudian, melintas secara horizontal dari batas anterior ramus mandibula, melewati lateral ke otot masseter, terjadi di sekitar batas anterior dan melalui otot buccinator berakhir ke dalam rongga mulut (Jébéjian & Hajenlian, 1993; Gleeson, 1997). Diameternya berukuran dari 3 sampai 4 mm dan menunjukkan pengurangan ditandai mendekati rongga mulut (Williams et al,.. Zenk et al, 1998). Seiring jalannya duktus Stensen terletak sebuah kelenjar aksesori parotis (Rahmathulla, 1973;. Peterson et al), di lateral ke otot masseter antara duktus parotis dan lengkungan zigomatic. Duktus kecil yang berasal dari kelenjar aksesori ini kosong ke dalam duktus parotis (Moore & Dalley, 2005).
Pengetahuan yang tepat dari topografi yang normal anatomi dan variasi duktus Stensen sangat relevan dengan prosedur klinis termasuk analisis gambar radiografi (Samanta dkk., 2007) dan CT-scan yang digunakan dalam sialography (Bahadir et al., 2004), serta untuk endoskopi duktus, lithotripsy dan stimulasi saraf wajah trans-duktal pada tahap awal palsy wajah (Thibault dkk, 1993;. Zenk et al,. Moore & Dalley).
Studi akhir-akhir ini melaporkan bahwa anatomi variasi duktus parotis adalah kasus yang jarang, yang tampaknya menjadi beberapa relevansi dengan beberapa prosedur diagnostik dan bedah intervensi pada praktik klinik sehari-hari (Fernandes et al, 2009)
Meskipun kehadiran parotis duktus kedua tidak tidak mencerminkan pada setiap kerusakan pada drainase sekresi saliva, jika keberadaannya tidak disadari dapat mengakibatkan peristiwa yang tidak diinginkan selama prosedur pembedahan atau ketidaktepatan dalam tes diagnostik mengenai kelenjar parotis atau radiografi struktur anatomi tetangga. Kami merekomendasikan bahwa ahli bedah dan ahli radiologi melakukan setiap prosedur di wajah selalu menanamkan dalam pikiran potensi variasi anatomi yang dilaporkan ini. (Fernandes et al, 2009)
Anatomi dari duktus parotid (duktus Stensen) adalah sangat penting bagi orang-orang profesional melakukan diagnostik dan prosedur bedah yang melibatkan kelenjar parotid dan bangunan di sekitarnya. (Zenk et al,. Bahadir et al,. Samanta dkk.) Aktan et al. (2001) melaporkan kasus duktus parotid ganda dalam aspek kanan wajah pada subyek manusia laki-laki 63 tahun. Para penulis menganggap masing-masing duktus ini sebagai ekstensi dari duktus intra-parotid ascendens dan descendens, yang tidak bergabung dalam kelenjar parotid seperti itu terjadi secara normal. Kami juga melaporkan kasus duktus parotis ganda dalam aspek kanan wajah. Namun kita tidak dapat menentukan fitur masing-masing cabang dari duktus ganda (D1 dan D2) di dalam kelenjar parotid. (Fernandes et al, 2009)
Literatur melaporkan duktus parotis sebagai berjalan di bawah lengkungan zygomatic dan lateral ke otot masseter sampai mencapai perbatasan anterior otot ini, di mana duktus itu  membelok ke medial untuk menembus otot buccinator untuk bermuara di papila parotis sejajar dengan mahkota molar pertama atau kedua rahang atas. (Jébéjian & Hajenlian, Gleeson, Moore & Dalley). Jalannya duktus parotis aksesoris saat ini dilaporkan mengikuti anatomi yang normal dengan pola kedua cabang paralel hingga akhirnya bergabung 3,35 mm sebelum masuk ke otot buccinator, sehingga muncul sebagai satu-satunya duktus yang bermuara satu-satunya pembukaan pada mukosa rongga mulut. Aktan et al. juga melaporkan penggabungan dari kedua cabang sebelum mencapai otot buccinator tetapi terjadi  7mm sebelum masuk ke otot buccinator. Gaur et al. (1994) melaporkan pada kasus tiga duktus pada kelenjar submandibular kiri dalam kadaver pria dewasa India, yang masing-masing berjalan independen dan berakhir sebagai muara independen dalam dasar mulut. Mori et al. (1986) juga melaporkan pemeriksaan sialographic dari 73 tahun pasien laki-laki Jepang menunjukkan 2 duktus berjalan keluar dari kelenjar submandibular kanan, yang bergabung sebelum membentuk satu muara di papilla sublingual. (Fernandes et al, 2009)
Perbedaan pengukuran diameter antara duktus superior dan inferior saat melaporkan - D1 dan D2, masing - sangat minim, sehingga mengarah ke asumsi bahwa keduanya harus dianggap sebagai duktus utama. Selain itu, langkah-langkah yang diambil dalam diameter pertiga proksimal dan tengah D1 - 3.05 mm dan 3,31 mm, masing-masing - dan D2 - 2.84 mm dan 2,68 mm, sesuai dengan pengukuran yang dilaporkan untuk duktus parotis oleh Williams et al. dan Zenk et al. Meskipun Aktan et al. tidak melaporkan pada diameter Duktus Stensen aksesoris, mereka menggambarkan kedua cabang sebagai yang utama. Pada kasus yang melaporkan lebih dari satu duktus meninggalkan kelenjar submandibula kanan, Mori et al., tidak membuat perbedaan antara mereka, sedangkan Gaur et al., menggambarkan yang duktus dengan diameter terbesar dianggap duktus utama dan dua lainnya dianggap sebagai duktus aksesori. (Fernandes et al, 2009)
Panjang duktus D1 dan D2 saat dilaporkan - 26,49 mm dan 37,25 mm, adalah satu-satunya perbedaan utama pada studi  Aktan et al., yang melaporkan pengukuran - 55 mm. Namun ketidaksesuaian tersebut cenderung mencerminkan biotipe yang berbeda di mana variasi yang sama dilaporkan. (Fernandes et al, 2009)
 Aktan et al., menyatakan dalam laporan mereka tidak mengetahui apapun studi rinci lain pada kasus duktus parotis ganda. Bahkan, Ulasan bibliografi kami diberikan hanya laporan kasus oleh penulis tersebut. Lainnya berspekulasi atau membuat referensi saja tanpa spesifik sebagai sumber informasi mereka. Peterson et al. menyarankan bahwa drainase dari saliva sekresi dilakukan oleh duktus Stensen dapat dibantu dengan mungkin ada duktus parotis aksesori. Bailey (1971) menyatakan bahwa literatur menunjukkan terjadinya duktus parotis aksesoris dalam 7% dari populasi. Tujuan dari penelitian histologis adalah untuk menentukan keberadaan lumen, dan jika demikian, untuk menentukan kemungkinan karakteristik lapisan epitel, pada kedua duktus parotis syang dilaporkan. Analisis histologis dikonfirmasi terjadinya lumen lebar di kedua duktus seperti dilansir Aktan et al. dan Gaur et al. Selanjutnya, kedua duktus menunjukkan sebuah lapisan epitel mirip dengan struktur yang biasanya ditemukan di bagian paling anterior dari duktus parotid menunjukkan bahwa keduanya harus dianggap sebagai duktus utama. (Fernandes et al, 2009)
Studi embriologis menunjukkan bahwa selama pembentukan dari kelenjar parotid, kuncup epitel dari ektoderm menjangkau kembali ke telinga. Cabang-cabang yang berasal dari para kuncup nantinya akan membentuk duktus nantinya akan menjadi duktus parotis yang menghubungkan kelenjar parotis ke rongga mulut. (Williams et al,. Moore & Persaud). Berdasarkan asal embriologis kedua  kelenjar parotis dan bukti-bukti dari analisis histologis, kami berspekulasi bahwa dua duktus D1 dan D2 yang berbeda berkembang dari dua kuncup epitel dan invaginasi dari ektoderm yang  kemudian menjadi kompleks duktus dan asinus mengakibatkan pembentukan kelenjar parotis memiliki duktus parotis ganda. (Fernandes et al, 2009)
Divertikuli
Divertikulum adalah sebuah kantong kecil dengan leher sempit yang menonjol dari dinding kelenjar. Divertikula berarti lebih dari satu divertikulum. Mereka dapat berkembang pada setiap bagian dari kelenjar. Mereka paling sering berkembang di bagian kelenjar mengarah ke muara, di mana saliva menjadi lebih kental. Beberapa divertikula dapat berkembang dari waktu ke waktu. Beberapa orang akhirnya memiliki banyak divertikula. (Kenny, 2011)
Divertikula yang umum. Mereka menjadi lebih umum dengan bertambahnya usia. Sekitar setengah dari semua orang di Inggris memiliki divertikula pada saat mereka berusia 50 tahun. Hampir 7 dari 10 mengalami divertikula pada saat mereka berusia 80 tahun. (Kenny, 2011)
Alasan mengapa divertikula berkembang mungkin terkait dengan tidak makan cukup serat, rendahnya stimulasi saliva, hiposalivasi karena alasan-alasan lain (obat, penyakit sistemik, infeksi) dan sebagainya. (Kenny, 2011)
Kelenjar saliva bergerak dengan lembut untuk menghasilkan dan mensekresi saliva. Jika rangsang kinerja kelenjar saliva menurun, kelenjar harus bekerja lebih keras untuk menghasilkan dan mensekresi saliva.  Tekanan tinggi dapat berkembang di bagian kelenjar saliva ketika saliva mengental, produksinya sedikit, atau rangsangan gerak berkurang. Tekanan meningkat dapat mendorong lapisan dalam area kecil dari kelenjar melalui dinding otot untuk membentuk divertikulum kecil. (Kenny, 2011)
Pada sekitar 3 dari 4 orang yang memiliki divertikula, divertikula yang tidak menyebabkan kerusakan atau gejala. Istilah diverticulosis berarti bahwa divertikula yang hadir, tetapi tidak menyebabkan gejala atau masalah. Dalam kebanyakan kasus, kondisi tersebut tidak akan diketahui karena tidak ada gejala. Kadang divertikula ditemukan sebagai temuan insidental jika Anda memiliki tes seperti sialoendoskopi atau barium enema untuk alasan lain. (Kenny, 2011)
Istilah ini digunakan ketika divertikula menyebabkan intermiten, nyeri pada kelenjar (tetapi di mana tidak ada peradangan atau infeksi - yang akan didiskusikan kemudian). Rasa sakit biasanya crampy dan cenderung untuk datang dan pergi. Beberapa orang mengalami hiposalivasi dan ada juga yang mengeluarkan lendir kental dari mulut mereka, namun hal ini tidak jelas bagaimana divertikula menyebabkan gejala ini. (Kenny, 2011)
Diagnosis penyakit divertikular biasanya dibuat dengan mengkonfirmasi kehadiran divertikula dan dengan mengesampingkan penyebab lain dari gejala. Catatan: gejala penyakit divertikular, terutama jika mereka mulai pada orang tua, juga bisa sama dengan kanker kelenjar awal. Oleh karena itu, beritahu dokter jika Anda mengalami gejala ini sebagai beberapa tes mungkin perlu diatur. Sebagai contoh, sebuah tes yang disebut sialoendoskopi mungkin disarankan. Di sinilah seorang dokter menggunakan teleskop fleksibel khusus untuk melihat ke dalam kelenjar. Hal ini dapat mengkonfirmasi kehadiran divertikula, dan menyingkirkan kanker kelenjar. (Kenny, 2011)
Divertikulitis adalah suatu kondisi dimana satu atau lebih divertikula menjadi meradang dan terinfeksi. Hal ini dapat terjadi jika beberapa saliva terjebak dan mandek di divertikulum. Bakteri (kuman) dalam kelenjar terperangkap kemudian dapat berkembang biak dan menyebabkan infeksi. Sekitar 1 dari 5 orang dengan divertikula mengembangkan serangan divertikulitis pada tahap tertentu. Beberapa orang telah berulang diverticulitis. Gejala diverticulitis meliputi:
· Rasa sakit terus-menerus di bagian kelenjar yang terkena.
· Demam (suhu tinggi).
· Hiposalivasi
· Saliva bercampur darah.
· Tidak enak badan atau muntah.
· Obstruksi, abses, fistula, dan peritonitis
Sebuah divertikulum terinfeksi (diverticulitis) kadang-kadang semakin memburuk dan menyebabkan komplikasi. Kemungkinan komplikasi meliputi: penyumbatan (obstruksi) kelenjar saliva, abses (kumpulan nanah) yang dapat terbentuk di kelenjar, duktus (fistula) yang dapat membentuk ke organ lain, perforasi (lubang) di dinding kelenjar yang dapat menyebabkan infeksi. Pembedahan biasanya diperlukan untuk mengobati komplikasi serius tetapi jarang. (Kenny, 2011)
Divertikulum A terkadang berdarah dan terdapat perdarah melalui duktus saliva. Perdarahan biasanya tiba-tiba dan tanpa rasa sakit. Perdarahan karena pembuluh darah pecah yang kadang terjadi pada dinding divertikulum dan sehingga jumlah kehilangan darah dapat berat. Sebuah berdarah sangat besar yang membutuhkan transfusi darah darurat terjadi dalam beberapa kasus. Namun, pendarahan berhenti sendiri dalam waktu sekitar 3 4 kasus. Kadang-kadang operasi diperlukan untuk menghentikan pendarahan. Kadang-kadang hanya sedikit berdarah terjadi. (Kenny, 2011)
Untuk divertikula tanpa gejala, tidak ada kebutuhan untuk perawatan apapun.
Namun, diet tinggi serat biasanya disarankan. Diet tinggi serat umumnya dianggap sebagai hal yang baik bagi semua orang pula - apakah Anda memiliki divertikula atau tidak. Dewasa harus bertujuan untuk makan antara 18 dan 30 gram serat per hari. Perawatan lainnya juga meliputi minum 2 liter per hari. Jika gejala yang parah maka Anda mungkin perlu dirawat di rumah sakit. Bila perlu akan diberi antibiotik, cairan langsung ke pembuluh darah melalui infus, dan diberi suntikan obat penghilang rasa sakit. Mungkin perlu dirawat di rumah sakit jika gejala tidak terlalu berat, tetapi tidak menetap setelah 48 jam atau lebih dengan tablet antibiotik. (Kenny, 2011)

Fistula Kelenjar Saliva Kongenital

Fistula merupakan koneksi antara dua organ epitel berlapis yang seharusnya tidak terhubung. Keadaan ini biasanya merupakan kondisi patologis, tetapi mungkin fistula dibuat dengan cara operasi untuk alasan terapeutik.  Fistula kelenjar saliva merupakan keadaan dimana terdapat jalur komunikasi atau penghubung antara permukaan kulit dengan saluran kelenjar saliva atau kelenjar saliva itu sendiri. Berdasarkan etiologinya fistula kelenjar saliva dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu fistula kongenital dan fistula acquired. Fistula acquired merupakan fistula yang lebih sering dijumpai akibat hasil dari operasi dan trauma. Fistula kongenital saliva diperkirakan timbul dari perkembangan yang abnormal dar kelenjar saliva dan sangat jarang terjadi (Gadodia et al, 2008).

Fistula kongenital dapat diklasifikasikan berdasarkan asal kelenjarnya yaitu fistula kongenital kelenjar parotis, submandibular, kelenjar ludah ektopik atau kelenjar aksesoris parotis. Pada umunya fistula saliva berasal dari kelenjar parotis . Pada beberapa penelitian, paling banyak ditemukan fistula saliva pada area retroauricular, kulit pipi, mukosa mulut dan regio servikal. Fistula kongenital yang timbul dari kelenjar akseori parotis sangat jarang terjadi. Pembukaan eksternal dari kelenjar parotis atau kelenjar aksesoris parotis terletak pada lateral sudut mulut yang sesuai dengan fusi dari maksila dan protuberansia mandibula (Gadodia et al, 2008).

Defek Perkembangan Kelenjar Saliva
Ketidakberadaan kelenjar ludah sangat jarang terjadi meskipun mungkin terjadi disertai dengan cacat perkembangan lain, terutama malformasi pada lengkung brachial pertama yang bermanifestasi pada anomali kraniofasial. Defek perkembangan kelenjar saliva juga dikenal sebagai static bone cyst, static bone defect, stafne bone cavity, latent bone cyst, latent bone defect, idiopathic bone cavity, developmental submandibular gland defect, aberrant salivary gland defect dan lingual mandibular concavity (Ohanesian, 2006).

Defek perkembangan kelenjar saliva yang umum ditemukan  berupa suatu area depresi pada permukaan lingual dari ramus mandibula posterior. Lokasi yang paling sering ditemukan pada fossa kelenjar submandibularis dan seringkali mendekati batas inferior mandibula.defek perkembangan kelenjar ludah diyakini merupakan cacat bawaan walaupun penelitian pada anak-anak sangat jarang dilakukan dan lokasi anatomisnya masih belum pasti. Defek perkembangan kelenjar saliva ini juga  lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan dengan wanita (Ohanesian, 2006).

Lesi bersifat asimtomatik dan biasanya ditemukan pada saat pemeriksaan radiografi rutin . Lesi tersebut tampak sebagai gambaran radiolusen berbatas tegas berbentuk oval yang  umumnya terletak diantara canalis mandibularis dan batas inferior mandibula pada bagian sudut anterior mandibula. Pada kasus yang langka lesi ini terletak pada daerah apikal atau cuspid gigi premolar mandibula  dan daerah yang berhubungan dengan fossa kelenjar sublingualis.  Gambaran radiolusen dapat menggambarkan seberapa besar defek yang terjadi pada kelenjar saliva saat perkembangan embrio terjadi (Ohanesian, 2006).

Lesi ini lebih dianggap sebagai defek perkembangan daripada lesi patologis. Pada pemeriksaan histologis, jaringan saliva terlihat normal dan perawatan khusus tidak diperlukan kecuali pemeriksaan radiografi rutin.  Defek perkembangan kelenjar saliva ini harus dapat dibedakan dengan traumatic bone cyst (disebut juga hemorrhagic bone cyst). Traumatic bone cyst sangat jarang ditemukan kecuali  pada rahang bawah. Pada sebagian besar kasus lesi  ditemukan asimtomatik dan seringkali ditemukan pada pemeriksaan radiografi rutin.  Nyeri hanya dirasakan oleh 10%-30% pasien selebihnya merupakan gejala yang tidak biasa misalnya gigi sensitif, paresthesia, fistula, impaksi gigi, dan fraktur mandibula (Ohanesian, 2006).

Darier's Disease

Penyakit Darier adalah penyakit autosomal dominan, yang ditandai adanya papel-papel hyperkeratotik pada daerah seboroik serta adanya perubahan pada kuku dan membran mukosa. Penyakit ini bersifat progresif lambat, ditemukan pada dekade pertama dan dekade kedua dari kehidupan, terbanyak usia 11 - 15 tahun. Penyakit ini diperberat oleh sinar matahari (Burge, 2000; Hurwitz, 1993).

Kelainan yang dijumpai pada kulit berupa papul-papul sewarna kulit yang dapat berubah menjadi kecoklatan atau keabu-abuan, hyperkeratotik, dapat bersatu membentuk plak berkrusta dan disertai skuama berminyak. Mudah terjadi infeksi sekunder terutama pada daerah lipatan-lipatan terutama tungkai bawah sehingga berbau (Odom dkk, 2000).

Kuku biasanya berwarna lebih putih, mudah patah pada bagian distal, juga didapatkan gambaran seperti huruf V dibagian kuku yang bebas dan subungual keratosis. Kadang-kadang terdapat garis-garis longitudinal merah dan putih. Pada membran mukosa terdapat gambaran papel-papel putih dengan penekanan ditengah (umbilikasi) (Burge, 2000; Hurwitz, 1993). Pada pemeriksaan histopatologi didapat hyperkeratosis, parakeratosis dan akantosis tidak teratur serta akantolisis yang ditandai adanya celah suprabasal. Sel diskeratotik berupa corps ronds stratum spinosum dan grains distratum korneum (Murphy, 1995).
Hasil pengobatan biasanya selalu tidak memuaskan. Banyak pasien penyakit Darier tidak memerlukan pengobatan khusus, hanya diberikan emolien, sun-block dan menghindari pajanan sinar matahari. Topikal retinoid acid dapat membantu dan efektif meskipun berpotensi untuk tegjadi iritasi tapi dapat diminimalkan dengan penurunan konsentrai dan dikombinasi dengan topical kortikoteroid (Murphy, 1995).


Sialorrhea

Sialorrhea merupakan sebuah gejala yang memperlihatkan sekresi saliva yang berlebihan. Hal ini disebabkan oleh produksi saliva yang mengalami peningkatan.Hipersalivasi dapat disebabkan oleh medikasi obat-obatan, fase sekresi menstruasi,idiophatic paroxysmal hipersalivasi, keracunan logam berat, keracunan organofosforus, nausea, penyakit gastrophageal reflux, obstructive esophagitis, perubahan neurologik seperti kerusakan cerebral vaskuler, penyakit neuromuskuler, penyakit neurologik dan infeksi sistem saraf pusat (Bricker dkk, 2002).

Pada sialorrhea akan tampak genangan saliva pada dasar mulut serta dapat menyebabkan cairan saliva terus menerus mengalir. Hipersalivasi juga dapatmenyebabkan iritasi perioral dan traumatik ulserasi yang kemudian akanmenimbulkan infeksi sekunder jamur dan bakteri. Pada hipersalivasi akibat keracunan timbal, akan tampak pigmentasi abu gelap pada attached gingival (Bricker dkk, 2002).

Untuk menengakkan diagnosis perlu diketahui etiologi yang menyebabkan sialorhea apakah ada gangguan lokal atau sistemik. perlunya penelusuran mengenai kehidupan pasien dan kebiasaan makan untuk menyingkirkan faktor kemungkinan sialorea akibat logam berat. Evaluasi sistemik perlu dilakukan seperti ada atau tidaknya pembesaran kelenjar saliva, ulserasi di dalam mulut, kelainan pada kepala dan leher, fungsi neuromuscular dan kondisi protesa. Selain itu juga perlu dilakukan pengukuran laju aliran saliva kemudian dilakukan uji kemampuan menelan saliva melalui uji visual, digital maupun melalui radiograf. Pencitraan pada area oropharyngoesophageal sangat penting untuk mengetahui apakah ada benda asing (Bricker dkk, 2002).

Perawatan hipersalivasi harus sesuai dengan etiologi penyakit, resiko dan keuntungandari perawatan serta kualitas hidup pasien. Dari etiologi tersebut terdapat tiga perawatan dasar yaitu terapi fisik, medikasi dan pembedahan.Pembedahan dilakukan untuk menghilangkan benda asing. pasien yang mengalami hipersalivasi akibat keracunan harus di meninggalkan  lingkungan  yg mencemari dan menjalani terapi medikasi. pasien yang mengkonsumsi obat yang menyebabkan sialorrhea harus berkonsultasi dengan ahli untuk mengganti obat dengan efek yang lebih ringan (Bricker dkk, 2002).


Xerostomia

Xerostomia bukan merupakan sutau penyakit tetapi dapat menjadi gejala dari pernyakit tertentu (Rajendran, 2009). Xerostomia merupakan gejala kurangnya jumlah nomal saliva, keluhan subjektif dari mulut kering dan disfungsi kelenjar saliva (Bricker, 2002). Xerostomia lebih sering terjadi pada orang dewasa dibandingkan pada anak-anak (Walker, 2004). Sekitar 10%  di atas usia 50 tahun dan 30% di atas 65 tahun mengalami kondisi ini (Bricker, 2002). Xerostomia dapat menyebabkan dampak negatif pada kualitas hidup pasien, pola makan, status gizi, pengucapan, rasa, toleransi pada protesa gigi, dan peningkatan karies (Rajendran, 2009).

Xerostomia merupakan keluhan adanya rasa kering pada rongga mulut akibat adanya penurunan produksi dari kelenjar saliva / hiposalivasi. Kelainan pada kelenjar saliva dapat menyebabkan xerostomia. Etiologi dari xerostomia bermacam – macam, dapat disebabkan oleh kelainan pada kelenjar saliva yang merupakan akibat dari penyakit kelenjar saliva primer maupun manifestasi dari penyakit sistemik atau terapi obat – obatan. Xerostomia terjadi ketika jumlah saliva yang menggenangi selaput lendir berkurang (Lewis, 1998) .

Etiologi :
Penyebab temporer (Rajendran, 2009):
1.     Psikologi
Kecemasan dan stress dapat menyebabkan penurunan aliran saliva. Bagaimanapun masalah psikologi biasanya di atasi dengan obat yang merupakan salivary inhibitor
2.     Kalkulus Duktus
Penutupan saluran duktus dari glandula salivarius mayor, biasnya submandibulla, dapat menyebabkan kekeringan pada daerah sekitar, disertai dengan rasa nyeri dan pembengkakan pada daerah glandula. Jika tidak ditangani akan menyebabkan progresif fibrosis dari glandula dan permanen xerostomia.
3.     Sialodenitis
Inflamasi pada glandula saliva menyebabkan menurunnya sekresi. Infeksi akut termasuk mumps dan postoperative parotitis, ketika kondisi kronis termasuk bengkak dikarenakan defisiensi nutrisi dan hipersensitivitas iodine.
4.     Terapi Obat
Berbagai macam obat dapat menyebabkan xerostomia. Antikolinergik dan agen sympathomimetic dan kelompok obat tricyclic antidepressant, bronchodilators, dan antihistamin.
5.     Infeksi kelenjar saliva mayor
6.     Gangguan hormonal

Penyebab permanen, (Rajendran, 2009):
1.      Aplasia Glandula Saliva
Tidak ada satu atau lebih glandula saliva pada congenital, jarang terjadi, etiologynya belom diketahui.
2.      Sjorgren’s syndrome
Kombinasi dari mulut kering, mata kering dan kadang-kadang rheumatoid arthritis, terjadi pada wanita umurnya lebih dari 40 tahun yang disertai demam ringan.

Xerostomia berhubungan dengan penyakit sistemik diabetes mellitus, mungkin sebagai konsekuensi dari polyurea, serta penyakit parkinson. Telah dilaporkan dalam kasus defisiensi vitamin A, riboflavin dan asam nikotinat serta anemia.

Xerostomia  persisten menyebabkan berkurangnya rasa, ketidakmampuan untuk mengunyah dan menelan makanan, dan hilangnya elektrolit saliva dan immunoproteins yang berfungsi melindungi terhadap infeksi mikroba. Sebagai hasilnya, mukosa mulut menjadi meradang, kering, merah, dan mengkilap. Papilla filiformis lidah hilang, dan bibir pecah-pecah. Gejala umum yang terjadi yaitu  sensasi terbakar dan nyeri pada membran mukosa dan lidah. Tanpa adanya saliva, terjadi peningkatan insidensi karies (terutama  karies servikal dan karies akar), penyakit periodontal, infeksi candida, kekurangan gizi, anemia, dan menghasilkan keadaan halitosis (Bricker, 2002).

Xerostomia non spesifik terjadi pada kasus wanita yang mengalami  menopause dan menggunakan gigi tiruan yang lama. Umumnya penderita xerostomia sangat sulit untuk memakan makanan kering seperti biskuit, pemakaian gigi palsu mempunyai masalah pada retensi gigi palsu, luka akibat gigi palsu dan tidak lengket ke palatum, rasa terbakar kronis, halitosis dan tidak tahan makan makanan pedas. Keluhan xerostomia umumnya lebih banyak pada malam hari karena produksi saliva berada pada circadian level paling rendah selama tidur, dapat juga disebabkan karena bernafas melalui mulut. Kesulitan berbicara dan makan dapat mengganggu interaksi sosial dan menyebabkan menghindari pertemuan social (Rajendran, 2009).

Pasien dengan xerostomia biasanya mengalami tanda –tanda sebagai berikut, yaitu bibir pecah – pecah, mengelupas, dan atropik ; lidah halus dan memerah ; mukosa oral merah, tipis, dan rapuh ; peningkatan erosi dan karies gigi, khususnya pada gingival margin (Guggenheimer, 2003). Penderita dengan xerostomia akan mengeluhkan gangguan rasa (dysgeusia), lidah yang sakit (glossodynia), kebutuhan minum air yang meningkat, sakit tenggorokan, sensasi terbakar (burning mouth syndrome), kesulitan berbicara dan menelan, suara serak, dan menurunkan PH saliva yang secara signifikan dapat meningkatkan plak dan karies (university of Montana, 2010).

Diagnosis ditentukan berdasarkan anamnesis yang terarah, pemeriksaan klinis dalam rongga mulut dan pemeriksaan laboratorium. Dalam melakukan anamnesis dengan penderita dapat diajukan beberapa pertanyaan-pertanyaan terarah yang dapat menentukan penyebab dan mendiagnosis xerostomia (Rajendran, 2009).

Pemeriksaan klinis dapat dilakukan dengan melihat gajala-gejala klinis yang tampak dalam rongga mulut. Gambaran-gambaran klinis tersebut, antara lain: hilangnya genangan saliva pada dasar mulut, mukosa terasa lengket bila disentuh oleh jari ataupun ujung gagang instrumen. Mukosa mulut juga terlihat memerah dan pada kasus-kasus yang lebih lanjut permukaan dorsal lidah terlihat berfisur dan berlobul (Rajendran, 2009).

Akibat xerostomia dapat meningkatkan infeksi oral seperti kandidiasis dan infeksi oropharing, meningkatkan penumpukan plak penumpukan mukus, meningkatkan insiden karies, terjadi perubahan flora normal dan perubahan mukosa di rongga mulut (Rajendran, 2009).

Dasar utama perawatannnya adalah dengan menghilangkan faktor faktor etiologi seperti obat obatan, kalkulus, dan masalah emosional. Juga disarankan untuk merangsang keluarnya saliva dengan permenkaret bebas gula yang efektif (Rajendran, 2009).

Drug Induced Xerostomia
            Xerostomia merupakan suatu kondisi yang dapat menyebabkan kesulitan dalam menelan, berkurangnya kemampuan mengecap rasa, dan kesakitan pada mulut dan juga dapat menyebabkan meningkatnya persentase karies dan infeksi pada oral. Secara histology menerangkan bahwa terdapat hubungan antara usia dan perubahan pada glandula saliva mayor. Juga dilaporkan bahwa beberapa medikasi yang diberikan dapat berefek secara signifikan terhadap kekeringan pada rongga mulut (Shishir dkk, 2012).
Beberapa pasien yang memiliki penyakit sistemik lebih dari satu juga  dapat menyebabkan suatu kondisi komplikasi dan berakibat terhadap daya alir saliva, yang diakibatkan baik dari penyakit tersebut maupun dari medikasi yang diberikan. Xerostomia merupkan suatu kondisi pengurangan jumlah saliva yang melampaui batas normal yang dapat disebabkan oleh beberapa medikasi. Xerostomia merupakan suatu sensasi yang bersifat subjektif yang dapat berhubungan dengan bertambahnya usia (Shishir dkk, 2012).
Xerostomia berhubungan dengan lebih dari 500 macam obat-obatan. Namun insidensi xerostomia biasanya meningkat apabila seseorang mengkonsumsi obat lebih dari satu jenis. Drug induced xerostomia merupakan suatu masalah yang seringkali ditemukan pada pasien berusi tua yang mengalami medikasi dengan beberapa macam obat-obatan. obat-obatan yang dapat berhubungan dengan terjadinya xerostomia antara lain (Shishir dkk, 2012) :
·      Tricyclic antidepressants
·      Alpha receptor antagonists
·      Antipsychotics
·      Antihistamines
·      Diuretics
·      Antihypertensives
·      Antidepressants
·      Bronchodilators
·      Skeletal muscle relaxants
·      Benzodiazepines
·      Retinoids


Sialolithiasis
Sialolithiasis merupakan penyakit yang paling banyak ditemukan pada glandula salivarius. Insidensi sialolithiasis ditemukan 12  kasus dari 1000 populasi orang dewasa (Leung dkk, 1999). Laki-laki lebih rentan terkena sialolithiasis jika dibandingkan dengan perempuan (Cawson and Odel, 1998). Insidensi sialolithiasis pada anak sangat jarang ditemukan. Lebih dari 80% sialolithiasis terjadi pada duktus glandula submandibular, 6% pada duktus glandula parotid, dan 2% pada duktus glandula sublingual (Steiner dkk, 1997).
Penyumbatan duktus glandula saliva akibat adanya suatu masa yang dapat terdiri dari komponen organis maupun anorganik. Komponen organis seperti halnya timbunan asam amino dan karbohidrat (Williams, 1999). Pada pemeriksaan ekstraoral biasanya ditemukan perbesaran pada region glandula salivarius ketika dilakukan palpasi. Radiografi intraoral oklusal biasanya menandakan adanya gambaran radiopaq disekitar daerah molar satu permanen (Zenk dkk, 1994).
Etiologi dari sialolithiasis masih belum diketahui secara pasti. Namun, diduga bahwa terbentuknya batu dalam duktus glandula salivarius biasnya berhubungan dengan saliva yang memiliki kandungan calcium yang banyak. Terbentuknya batu pada duktus juga diduga akibat tebentuknya deposisi kalsium yang dapat memicu gangguan pada sekresi mucin glandula salivarius, bakteri dan terjadinya desquamasi sel epitel (Carr, 1965). Perubahan produksi mucin akan menimbulkan kandungan mukoid dalam saliva dan dapat membentuk seperti gel. Gel yang terbentuk dapat memproduksi deposisi garam dan komponen organic sehingga dapat terbentuknya stone (Williams, 1999).

Mucous Plug
Obstruksi duktus kelenjar saliva dapat disebabkan oleh mucous plug, benda asing, sialodeochitis, serta kompresi akibat neoplasma (Capaccio, 2007). Terbentuknya mucous plug atau batu yang tidak mengalami kalsifikasi dalam duktus kelenjar saliva mayor dapat menyebabkan pembengkakan, rasa tidak nyaman dan berkurangnya aliran saliva (Gibson, 1994). Glandula parotidea merupakan glandula salivarius mayor yang lebih sering terkena penyumbatan oleh mucous plug yang tidak mengalami kalsifikasi (Pedersen, 1996).
            Diagnosis mucuos plug didasarkan pada riwayat klinis, radiografi dan sialogram. Jika sialogram yaitu dengan tampakan adanya penyakit obstruktif intraductal sekunder yang bersifat non mineral intraductal. Gejala klinis dan tanda dari mucous plug sama dengan obstructive batu saliva (Ghom, 2005). Operative sialoendoscopy merupakan pilihan terapi terbaik untuk mucous plug (Cappacio, 2007). Sialography juga dapat digunakan sebagai alat bantu terapi pada gangguan obstruktif kelenjar saliva karena membantu dalam mengidentifikasi mucous plug dalam saluran kelenjar saliva yang tidak dapat terlihat pada radiografi rutin (Reddy, 2009).

Sialadenitis
Sialadenitis adalah infeksi berulang-ulang di glandula submandibularis yang dapat diserati adanya batu (sialolith) atau penyumbatan. Biasanya sistem duktus menderita kerusakan, jadi serangan tunggal sialadentis submandibularis jarang terjadi. Kelenjar ini terasa panas, membengkak, nyeri tekan dan merupakan tempat serangan nyeri hebat sewaktu makan. Pembentukan abses dapat terjadi didalam kelenjar maupun duktus. Sering terdapat batu tunggal atau multiple (Greenberg dkk, 2008).
Sialadenitis merupakan keadaan klinis yang lebih sering daripada pembengkakan parotid rekuren dan berhubungan erat dengan penyumbatan batu duktus submandibularis. Penyumbatan tersebut biasanya hanya sebagian dan oleh karena itu gejala yang timbul berupa rasa sakit postpradial dan pembengkakan. Kadang-kadang infeksi sekunder menimbulkan sialadenitis kronis pada kelenjar yang tersumbat tersebut, tetapi keadaan ini jarang terjadi. Kadang-kadang pembengkakan rekuren disebabkan oleh neoplasma yang terletak dalam kelenjar sehingga penyumbatan duktus (Greenberg dkk, 2008).
Sialadenitis biasanya terjadi setelah obstruksi tetapi dapat berkembang tanpa penyebab yang jelas. Terdapat tiga kelenjar utama pada rongga mulut,diantaranya adalah kelenjar parotis, submandibular, dan sublingual. Sialadenitis paling sering terjadi pada kelenjar parotis dan biasanya terjadi pada pasien dengan umur 50-an sampai 60-an, pada pasien sakit kronis dengan xerostomia, pasien dengan sindrom Sjögren, dan pada mereka yang melakukan terapi radiasi pada rongga mulut (Greenberg dkk, 2008).
Remaja dan dewasa muda dengan anoreksia juga rentan terhadap gangguan ini. organisme yang merupakan penyebab paling umum pada penyakit ini adalah Staphylococcus aureus; organisme lain meliputi Streptococcus, koli, dan berbagai bakteri anaerob. Peradangan kronis dapat terjadi pada parenkim kelenjar atau duktus seperti batu (sialolithiasis) yang disebabkan karena infeksi (sialodochitis) dari Staphylococcus aureus, Streptococcus viridians ataupneumococcus. Selain itu terdapat komponen obstruksi skunder dari kalkulus air liur dan trauma pada kelenjar. Faktor risiko yang dapat mengakibatkan sialadenitis antara lain dehidrasi, terapi radiasi, stress, malnutrisi dan hiegine oral yang tidak tepat misalnya pada orang tua, orang sakit, dan operasi (Greenberg dkk, 2008).
Klasifikasi Sialadenitis menurut Greenberg dkk (2008) :
a.     Sialadenitis akut
Sialadenitis akut akan terlihat secara klinik sebagai pembengkakan atau pembesaran glandula dan salurannya dengan disertai nyeri tekan dan rasa tidak nyaman serta sering juga diikuti dengan demam dan lesu. Diagnosis dari keadaan sumbatan biasanya lebih mudah ditentukan dengan berdasar pada keluhan subjektif dan gambaran klinis. Penderita yang terkena sialadenitis akut seringkali dalam kondisi menderita dengan pembengkakan yang besar dari glandula yang terkena. Regio yang terkena sangat nyeri bila dipalpasi dan sedikit terasa lebih hangat dibandingkan daerah dekatnya yang tidak terkena. Pemeriksaan muara duktus akan menunjukkan adanya peradangan, dan jika terliaht ada aliran saliva, biasanya keruh dan purulen (Greenberg dkk, 2008).
Pasien biasanya demam dan hitung darah lengkap menunjukkan leukositosis yang merupakan tanda proses infeksi akut. Pemijatan glandula atau duktus (untuk mengeluarkan secret) tidak dibenarkan dan tidak akan bisa ditolerir oleh pasien. Probing (pelebaran duktus) juga merupakan kotraindikasi karena kemungkinan terjadinya inokulasi yang lebih dalam atau masuknya organism lain, yang merupakan tindakan yang harus dihindarkan. Sialografi yaitu pemeriksan glandula secara radiografis mensuplai medium kontras yang mengandung iodine, juga sebaiknya ditunda. Bila terdapat bahan purulen, dilakukan kultur aerob dan anaerob (Greenberg dkk, 2008).
b.     Sialadenitis kronis
Infeksi atau sumbatan kronis membutuhkan pemeriksaan yang lebih menyeluruh, yang meliputi probing, pemijatan glandula dan pemeriksaan radiografi. Palpasi pada glandula saliva mayor yang mengalami keradangan kronis dan tidak nyeri merupakan  indikasi dan seringkali menunjukkan adanya perubahan atrofik dan kadang-kadang fibrosis noduler. Sialadenitis kronis seringkali timbul apabila infeksi akut telah menyebabkan kerusakan atau pembentukan  jaringan parut atau pembentukan jaringan parut atau perubahan fibrotic pada glandula (Greenberg dkk, 2008).
Tampaknya glandula yang terkena tersebut rentan atau peka terhadap proses infeksi lanjutan. Seperti pada sialadenotis akut, perawatan yang dipilih adalah kultur saliva dari glandula yang terlibat dan pemberian antibiotic yang sesuai. Probing atau pelebaran duktus akan sangat membantu jika sialolit ini menyebabkan penyempitan duktus sehingga menghalangi aliran bebas dari saliva. Bila kasus infeksi kronis ini berulang-ulang terjadi, maka diperlukan sialografi dan pemerasan untuk mengevaluasi fungsi glandula. Jika terlihat adanya kerusakan glandula yang cukup besar, perlu dilakukan ekstirpasi glandula. Pengambilan submandibularis tidak membawa tingkat kesulitan bedah dan kemungkinan timbulnya rasa sakit sebagaimana  pengambilan glandula parotidea. Karena kedekatannya dengan n. facialis dan kemungkinan cedera selama pembedahan, maka glandula parotidea yang mengalami gangguan biasanya dipertahankan lebih lama daripaa jika kerusakan mengenai glandula submandibula (Greenberg dkk, 2008).
c.     Sialadenetis supuratif
Sialadenitis supuratif akut lebih jarang terjadi pada glandula submandibularis, dan jika ada, seringkali disebabkan oleh sumbatan duktus dari batu saliva atau oleh benturan langsung pada duktus. Dilakukan pemeriksaan kultur dari sekresi purulen dan terapi antibiotic. Jika batu terletak pada bagian distal duktus (intraoral), batu harus dikeluarkan. Jika sialolit terletak pada duktus proksimal. Kadang-kadang glandula harus dipotong untuk mengontrol infeksi akut (Greenberg dkk, 2008).
Gejala yang timbul biasanya unilateral dan terdiri dari pembengkakan dan rasa sakit, serta trismus ringan meliputi gumpalan lembut yang nyeri di pipi atau di bawah dagu, terdapat pembuangan pus dari glandula ke bawah mulut dan dalam kasus yang parah, demam, menggigil dan malaise (bentuk umum rasa sakit).. Pada tahap ini belum dapat dilakukan penentuan diagnosa yang dapat ditentukan bila telah terjadi serangan berulang kali. Pembengkakan terjadi selama 2-10 hari dan serangan terulang kembalisetelah beberapa minggu atau bulan. Pembengkakan yang rekurens dan nyeri didaerah kelenjar submandibula (Greenberg dkk, 2008).
Demam terjadi jika timbul infeksi, menggigil, dan nyeri unilateral dan pembengkakan berkembang. Kelenjar ini tegas dan lembut difus, dengan eritema dan edema pada kulit di atasnya. Nanah sering dapat dinyatakan dari saluran dengan menekan kelenjar yang terkena dampak dan harus berbudaya. Focal pembesaran mungkin menunjukkan abses. Sekresi air liur yang sangat kental dapat dikeluarkan dari duktus dengan melakukan  penekanan pada kelenjar. Kelenjar ini dapat terasa panas dan membengkak (Greenberg dkk, 2008).
Terjadi penurunan fungsi duktus oleh karena infeksi, penyumbatan atau trauma menyebabkan aliran saliva akan berkurang atau bahkan terhenti. Batu ludah paling sering didapatkan di kelenjar submandibula. Pada glandula utama, gangguan sekresi akan menyebabkan stasis (penghentian atau penurunan aliran) dengan inspissations (pengentalan atau penumpukan) yang seringkali menimbulkan infeksi atau peradangan. Glandula saliva utama yang mengalami gengguan aliran saliva akan mudah mengalami serangan organism melalui duktus atau pengumpulan organism yang terbawa aliran darah (Greenberg dkk, 2008).
Mumps
Mumps adalah penyakit yang memiliki karakteristik pembengkakan pada glandula saliva terutama pada glandula parotis. Infeksi tanpa gejala dapat terjadi pada 40% individu yang terinfeksi (Julia, 2006). Sekitar 10% dari kasus mumps berkembang menjadi meningitis aseptik. Komplikasi yang kurang umum tetapi lebih serius adalah ensefalitis, yang dapat mengakibatkan kematian atau cacat, dan ketulian permanen, orchitis dan pankreatitis. Penyakit ini dapat dicegah dengan vaksinasi (Galazka, 1999).
Mumps adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh paramyxovirus dan terkait erat dengan virus parainfluenza. Meskipun penyakit ini biasanya ringan, namun tidak boleh dianggap remeh (Galazka, 1999). Virus ini memiliki dua permukaan glikoprotein utama yaitu hemagglutinin-neuraminidase dan protein fusi (Julia, 2006).
Gambaran Klinis:
1.     Pembengkakan kelenjar parotid. Gejala sistemik yaitu meliputi demam, sakit kepala, malaise, anoreksia dan nyeri perut. Makanan yang mengandung asam dapat memperburuk rasa ketidaknyamanan pada kelenjar parotid. Pada keadaan normal, glandula parotid tidak terasa saat dilakukan palpasi, namun saat mumps terjadi, dengan cepat berkembang menjadi bengkak selama beberapa hari. Pembengkakan unilateral pada awalnya, diikuti dengan keterlibatan pembengkakan parotid bilateral (Julia, 2006).
2.     Tenderness positif dan pembengkakan pada glandula submandibula dan sublingual (Laskaris, 2005)
3.     Orifice dari duktus stensen biasanya bengkak dan merah (Laskaris, 2005)
Komplikasi:
1.     Orchitis and Oophoritis
Sekitar sepertiga dari pasca pubertas laki-laki mengalami orchitis unilateral. Biasanya diikuti oleh parotitis dalam waktu 1 minggu tapi dapat juga terjadi tanpa komplikasi tersebut. Orchitis ini disertai dengan demam tinggi, nyeri parah, dan pembengkakan, Oophoritis jarang terjadi pada wanita. Timbulnya nyeri di bagian pelvis ditemukan pada sekitar 7% pada penderita wanita yang mengalami mumps (Julia, 2006)
2.     Meningoenchephalitis
Pemeriksaan penunjang mumps yaitu antara lain ELISA yang cukup spesifik dan sensitif untuk deteksi dan pengukuran protein serum. Metode terbaru untuk serodiagnosis gondok termasuk in vitro serum netralisasi, penghambatan hemaglutinasi (HAI), IFA, dan CF (Fischbach, 2009)
Perawatan Dasar:
1.     Vaksin mumps sangat dianjurkan (Laskaris, 2005)
2.     Pasien harus istirahat sekitar 1 minggu dan harus tetap diam di tempat tidur (Laskaris, 2005)
3.     Tidak ada antiviral spesifik yang dapat menyembuhkan infeksi dan komplikasi mumps oleh karena itu pengobatan parotitis seluruhnya simptomatis dan suportif. Namun pengobatan suportif untuk demam atau sakit diindikasikan jika gejala yang terjadi merupakan gejala parah (Julia, 2006)
4.     Perawatan dari komplikasi yang terjadi harus ditangani oleh dokter spesialis (Laskaris, 2005)
 Perawatan yang disarankan menurut Laskaris (2005)
1.     Analgesik dan NSAID dapat digunakan untuk mengontrol gejala parotis
2.     Banyak minum dan konsumsi makanan yang lembut
3.     Penggunaan kortikosteroid sistemik
Sjogren’s sindrom
Sindrom Sjogren disebut juga dengan Mikulicz dan Sindrom Sicca, merupakan penyakit autoimun sistemik yang menyerang sel imun dan menghancurkan kelanjar eksokrin yang memproduksi air mata dan ludah (saliva). Sindrom Sjogren diberi nama setelah seorang ahli penyakit mata asal Swedia Henrik Sjogren (1899-1986) yang memaparkan tentang penyakit ini. Sindrom Sjogren berhubungan dengan kelainan reumatik seperti Athritis Rheumatoid (AR) dan terdapat faktor Rheumatoid positif pada 90% dari jumlah kasus. Penelitian berikutnya menunjukkan bahwa Sindrom Sjogren bisa saja merupakan penyakit utama atau mungkin saja penyakit lanjutan pada penyakit autoimun yang lain, seperti Systemic Lupus Erythematosus (SLE), Rheumatoid Arthritis (RA), scleroderma, dan biliary cirrhosis (Greenberg dkk, 2008).
Gejala utama pada sindrom Sjogren adalah kekeringan pada mulut dan mata. Sindrom Sjogren juga dapat menyebabkan kekeringan pada kulit, hidung, dan vagian. Sembilan dari sepuluh pasien yang pengidap sindrom Sjogren adalah wanita dengan usia mendekati 40 tahun. Wanita 9 kali lebih rentan terkena penyakit ini daripada pria. Sindrom Sjogren diderita oleh 1-4 juta jiwa di Amerika (Greenberg dkk, 2008).
Faktor Resiko (Greenberg dkk, 2008) :
1.     Usia
Umumnya terdiagnosis pada seseorang dengan umur lebih dari 40 tahun.
2.     Gender
Wanita lebih sering terjangkit penyakit ini.
3.     Penyakit Reumatik
Umum terjadi pada orang yang terkena Sindrom Sjogren juga mengidap penyakit reumatik seperti Rheumatoid Arthritis (RA) atau Lupus.

Komplikasi yang paling umum dari Sindrom Sjogren melibatkan mata dan mulut, diantaranya (Greenberg dkk, 2008) :
1.         Gigi berlubang
Karena kelenjar saliva membantu melindungi gigi dari bakteri yang menyebabkan berlubang, gigi kita mudah berlubang bila mulut kita kering.
2.         Infeksi kapang
Orang dengan Sindrom Sjogren lebih mudah terkena sariawan, infeksi kapang pada mulut.
3.         Masalah penglihatan
Mata yang kering mengarah pada sensitivitas pada cahaya, pandangan yang kabur, dan infeksi pada kornea.

Sindrom Sjogren dapat merusak organ penting. Beberapa penderita mungkin hanya menderita gejala ringan dan yang lain cukup buruk. Sebagian penderita dapat mengalami penglihatan yang buruk, rasa tidak nyaman pada mata, infeksi mulut, pembengkakan kelenjar liur, kesulitan menelan dan makan. Rasa lelah dan sakit pada persendian juga dapat mengganggu kenyamanan. Terdapat penderita yang juga dapat terkena gangguan ginjal hingga terdapat gejala proteinuria, defek urinasi dan asidosis tubular renal distal (Greenberg dkk, 2008).
Tanda dari gejala Sindrom Sjogren umumnya kekeringan pada selaput lendir, yang khas xerostomia (mulut kering) dan xeropthalmia (mata kering). Sebagai tambahan, sindrom Sjogren juga dapat menyebabkan kekeringan kulit, hidung, dan vagina, dan mungkin saja mempengaruhi oragan lain seperti ginjal, pembuluh darah, paru-paru, hati, pankreas, sistem saraf perifer, dan otak (Greenberg dkk, 2008).
Sindrom Sjogren berhubungan dengan meningkatnya kadar IL-1RA sebuah interleukin 1 antagonis pada cairan sumsum tulang belakang. Hal ini terkesan bahwa penyakit dimulai dengan meningkatnya aktivitas sistem interleukin1, diikuti dengan auto regulator IL-1RA untuk mengurangi secara signifikan dari interleukin 1 ke reseptor. Hal ini menunjukkan bahwa interleukin 1 penyebab pada kelelahan, bagaimana pun, meningkatnya IL-1RA telah diamati pada CSF dan berhubungan dengan meningkatnya kelelahan berpengarug pada cytokine yang berimbas pada gangguan tingkah laku. Pasien dengan sindrom Sjogren sekunder juga selalu menimbulkan gejala dan tanda-tanda pada penyakit reumatik primer, seperti SLE, RA atau sclerosis sistemik (Greenberg dkk, 2008).
Sindrom Sjogren mungkin saja sulit untuk didiagnosis karena tanda-tanda dan gejala yang bervariasi dari setiap orang dan dapat juga sama gejalanya tapi menyebabkan penyakit yang lain. Tes darah, dapat dilakukan untuk menetukan apabila pasien memiliki kadar antibodi yang tinggi yang dapat mengindikasikan keadaannya seperti Anti-Nuclear Antibody (ANA) dan faktor Rheumatoid (karena Sindrom Sjogren sering terjadi setelah terjadi Reumatoid Arthritis), dimana berkaitan dengan penyakit imun. Tes Schimer, dapat mengukur produksi air mata dengan menggunakan selembar strip kertas saring yang diletakan pada bawah kelopak mata selama 5 menit. Kemudian dilakukan pengukuran jumlah yang terbasahi pada kertas dengan penggaris (Greenberg dkk, 2008).

Tes Slit-lamp, dapat  mengukur kekeringan pada permukaan mata. Fungsi kelenjar saliva dapat diuji dengan mengumpulkan saliva dan menentukan jumlah yang diproduksi selama 5 menit (Greenberg dkk, 2008). Biopsi bibir dapat dapat dilakukan apakah terdapat pengumpulan limfosit pada kelenjar liur dan merusak kelenjar karena reaksi radang. Sialogram, untuk memeriksa kondisi kelenjar saliva. Pengujian ini menunjukkan seberapa banyak aliran saliva pada mulut. X-ray. Karena sindrom Sjogren dapat juga menyebabkab inflamasi paru-paru, pemeriksaan rotgen mungkin diperlukan (Greenberg dkk, 2008).

Belum ditemukan terapi yang spesifik untuk penyakit ini dalam proses penyembuhan yang sempurna. Pemberian terapi diberikan hanya sebatas simtomatik. Banyak orang dapat mengatur kekeringan pada mulut dan mata yang berhubungan dengan Sindrom Sjogren dengan menggunakan obat tetes mata dan meminum air dengan lebih sering. Namun beberapa orang mungkin membutuhkan resep dokter atau pembedahan (Greenberg dkk, 2008).

Pengobatan Sjogren syndrome menurut Greenberg dkk (2008) :
·      Meningkatkan produksi saliva
Obat-obatan seperti pilocarpin dan ceyimeline dapat meningkatkan produksi saliva, dan kadang-kadang air mata. Efek samping yang mungkin terjadi, berkeringat, sakit pada perut, kulit muka memerah, dan sering buang air kecil.
·      Apabila berkembang gejala Arthritis, dapat digunakan obat-obat golongan NSAID untuk membantu mengatasi gejala musculoskeletal. Bagi penderita dengan komplikasi dapat diberikan kortikosteroid atau obat penekan sistem imun. Infeksi kapang pada mulut dapat diobati denga obat anti jamur.
·      Obat yang dapat menekan sistem imun seperti methotrexate atau cyclosporine dapat juga diresepkan.
·      Pembedahan
Untuk mengurangi kekeringan pada mata, dapat dipertimbangkan menjalani prosedur pembedahan kecil untuk menutup saluran air mata dari kekeringan air mata pada mata (punctual occlusion).

Mikulicz Disease
Miculicz’s disease, sebelumnya dikenal dengan lesi jinak lymphoepithelial, ditandai dengan simmetric lakrimal, parotis, dan pembesaran kelenjar submandibular dengan infiltrasi limfositik. Miculicz’s disease  pada suatu kondisi dapat dimasukkan ke dalam diagnosis Sjogren sindrom primer, tetapi presentasi klinis dan imunologi mendapatkan pertimbangan Miculicz’s disease sebagai fenomena autoimun yang berbeda. Histopatologi, Miculicz’s disease yang dikaitkan dengan infiltrasi menonjol dari plasmacytes IgG4-positif ke kelenjar eksokrin. Miculicz’s disease mungkin penyakit sistemik daripada gangguan kelenjar lakrimal dan ludah lokal. Telah diusulkan bahwa entitas disebut sebuah exocrinophaty plasmacytic IgG4 (Greenberg dkk, 2008).
Etiologi Miculicz’s disease sendiri tidak diketahui. Ada yang berspekulasi bahwa etiologinya adalah autoimun, virus, atau faktor genetik yang terlibat. Kondisi ini terutama mempengaruhi wanita paruh baya. Pasien datang dengan unilateral atau bilateral kelenjar ludah pembengkakan akibat infiltrasi limfoid. Mengurangi aliran saliva membuat paatients ini rentan terhadap infeksi kelenjar ludah. Diagnosis diferensial meliputi sindrom Sjogren, limfoma, sarkoidosis, infeksi virus, dan penyakit lainnya yang berhubungan dengan pembesaran kelenjar ludah. Diagnosa didasarkan pada temuan biopsi kelenjar ludah dan tidak adanya perubahan dalam darah perifer dan serologi autoimun terlihat pada sindrom Sjogren (Greenberg dkk, 2008).
Lesi yang ditemukan sangat responsif terhadap corticosterroids, yang merupakan terapi yang lebih disukai. Pengobatan yang direkomendasikan yaitu dengan metilprednisolon dan prednisolon. Satu pertimbangan penting adalah possibillity transformasi neoplastik. Hal ini penting untuk membedakan lesi Miculicz’s disease dari jaringan indolen mukosa terkait limfoid (MALT) limfoma (timbul secara spontan atau dalam konteks Sjogren sindrom), dan pemeriksaan spesimen biopsi untuk limfositik monoklonal menyusup ditunjukkan (Greenberg dkk, 2008).

Tumor Benigna pada Kelenjar Saliva
1.     Pleomorphic Adenoma
Pleomorphic Adenoma adalah tumor yang paling sering pada glandula saliva, keseluruhan sekitar 60% dari tumor glandula saliva. Sekitar 85% dari tumor ini ditemukan pada glandula parotid, 8% pada glandula submandibula dan sisanya pada glandula sublingual dan glandula saliva minor (Pedersen, 1996).

Pleomorphic Adenoma sering disebut mixed tumor, karena melibatkan jaringan epitel dan mesenkim sekaligus. Dapat terjadi di segala umur, namun yang paling sering adalah pada dekade 4 sampai 6 dalam hidup. Hal tersebut menunjukkan bahwa tumor ini sering terjadi pada anak-anak, dan sering terjadi pada wanita (Pedersen, 1996).

Gejala serta tampakan klinis dari tumor ini biasanya tidak sakit, berbatas tegas, dapat digerakkan (mobile) yang jarang terjadi ulserasi pada kulit atau mukosa. Pada glandula parotid, tumor ini tumbuh dengan lambat dan sering terjadi pada aspek posterior inferior dari superficial lobe. Pada intraoral tumor ini sering terjadi pada palatum diikuti oleh bibir atas sampai mukosa bukal (Pedersen, 1996).

Pleomorphic Adenoma memiliki ukuran yang bervariasi tergantung pada lokasinya. Pada glandula parotid dapat beberapa centimeter pada diameternya,tetapi bisa menjadi lebih besar bila tidak dirawat. Perawatan yang dilakukan untuk Pleomorphic Adenoma adalah dilakukan pembedahan dengan margin adekuat. Bila tumor dalam capsul, maka tidak boleh dilakukan close exicion. Superficial parotidectomy sudah cukup untuk mayoritas penanganan lesi ini (Pedersen, 1996).

2.     Monomorphic Adenoma
            Monomorphic Adenoma adalah tumor yang terdiri dari predominan dari satu tipe sel. Bertentangan dengan pleomorphic adenoma, berbeda elemen yang ditunjukkan. Menejemen yang dilakukan ama dengan pleomorphic (Pedersen, 1996).

3.     Oncocytoma
            Oncocytoma merupakan tumor benigna yang jarang terjadi.  Hanya ditemukan kurang dari 19% dari seluruh tumor glandula saliva. Nama dari tumor ini berasal dari fakta bahwa tumor ini terdiri dari sonocytes, dengan granular acidophilic cells. Tumor ini terjadi hampir selalu pada glandula parotid dan dapat terjadi pada pria maupun wanita. Paling sering terjadi pada dekade ke 6 (Pedersen, 1996).

            Oncocytoma biasanya solid pada sekitar tumor yang dapat terlihat pada semua glandula saliva mayor tetapi sangat jarang terlihat pada intra oral. Lesi ini dapat ditemukan pada superficial lobe dari glandula parotid. Dapat terjadi bilatral. Dan merupakan tumor kedua paling sering terjadi setelah tumor Warthon (Pedersen, 1996).

            Oncocytoma merupakan tumor yang pertumbuhannya sangat lama. Superficial Parotidectomi dengan pemeliharaan nervus facialis adalah pemilihan perawatan yang baik umtuk tumor glandula parotid. Removal glandula adalah perawatan yang di[ilih untuk tumor glandula submandibula dan removal glandula dengan pemotongan jaringan normal adalah pilihan untuk oncocytoma pada glandula saliva minor (Pedersen, 1996).

4.     Basal Cell Adenomas
            Basal Cell Adenoma merupakan tumor yang pertumuhannya lama yang terjadi sekitar 1-2% dari adenoma glandula saliva. Lesi ini banyak ditemukan pada pria dibandingkan wanita. Ratio pria dibandingkan dengan wanita adalah 5:1. 70% dari Basal Cell Adenoma terjadi pada glandula parotid dan bibir bagian atas merupakan sisi yang terkena basal cell adenoma yang beraal dari glandula saliva minor. Lesi ini dapat dihilangkan dengan eksisi pembedahan konservatif  yaitu dengan pemanjangan jaringan normal (Pedersen, 1996).

Tumor Maligna pada Kelenjar Saliva :
1.     Adenoid Cystic Carcinoma
Adenoid Cystic Carcinoma merupakan tumor yang terjadi seiktar 6% dari seluruh tumor glandula saliva dan tumor maligna yang paling sering terjadi pada glandula submandibula dan glandula saliva minor. Tumor ini terjadi 15-30% dari tumor glandula submandibula, 30% pada glandula saliva minor dan 2-15% dar tumor glandula parotid (Pedersen, 1996).

            50% dari tumor ini terjadi pada glandula saliva minor. Tumor ini dapat menyerang pria maupun wanita dan biasanya terjadi pada dekade ke 5. Adenoid Cystic Carcinoma biasanya terlihat unilobular pada glandula. Tumor ini sangat sakit, dan sebagian kecil dapat melumpuhkan nervus facial. Tumor ini memiliki pertumbuhan yang lambat sehingga dapat menunda diagnosis untuk beberapa tahun. Pada intraoral, terlihat ulserasi mukosa. Secara radiografis, memperlihatkan perluasan perbatasan tulang. Karena lesi ini nelibatkan nervus, maka eksisi pembedahan radical merupakan treatment yang dipilih untuk lesi ini (Pedersen, 1996).

2.     Acinic Cell Carcinoma
            Acinic Cell Carcinoma terlihat hanya 1% dari keseluruhan tumor yang terjadi pada glandula saliva. Sekitar 90-95% dai tumor ini ditemukan pada glandula parotid. Distribusi dari Acinic Cell Carcinoma menggambarkan lokasi dari sell acinar dalam glandula yang berbeda. Tumor ini ering terjadi pada wanita dan biasanya ditemukan pada dekade ke 5. Tumor ini adalah tumor maligna kedua yang sering terjadi pada anak-anak (Pedersen, 1996).

Pertumbuhan tumor ini angat lambat. Bisa terasa sakit, tetapi bukan merupakan indikasi dari prognosis. Sisi yang terkena adalah superficial lobe dan inferior pole pada glandula parotid. Ditemukan bilateral pada glandula parotid sekitar 3% dari kasus (Pedersen, 1996).

            Penanganan Acinic Cell Carcinoma hampir ama dengan penanganan tumor benigna. Treatment terdiri dari superficial parotidectomy dengan pemeliharaan nervus facialis. Apabila tumor terjadi pada glandula submandibula, pengangkatan seluruh glandula merupakan perawatan yang harus dilakukan (Pedersen, 1996).

II.3 Analisa Kasus
Candidiasis
Zat antiseptik pada obat kumur dapat menimbulkan kelainan mukosa mulut karena memang berfungsi untuk mematikan bakteri melalui efek sitotoksik yang tidak saja terjadi pada bakteri patogen, tetapi juga pada bakteri komensal rongga mulut (Sudiono, 1999). Salah satu zat antiseptik yang dapat dijumpai dalam obat kumur yaitu hidrogen peroksida (H2O2), di mana pemakaian obat kumur ini untuk jangka waktu yang lama dapat menimbulkan Candidiasis. Candidiasis adalah suatu keadaan di mana Candida albicans menginfeksi, menimbulkan gambaran klinis lesi putih yang dapat dikerok, kadang disertai deskuamasi. (Harty, 1995)
Candidiasis oral sering terjadi pada orang dengan imunitas yang rendah, berupa bercak putih (membrane) pada mulut atau lidah. Bila membrane diangkat akan tampak dasar yang kemerahan dan erosive. Parleche berupa retakan kulit pada sudut mulut, terasa perih dan nyeri bila tersentuh makanan atau air. Faktor predisposisinya adalah defisiensi riboflavin, imun yang buruk, dan faktor host. (Brown dan Burns, 2005)  Faktor host pada kasus contohnya karena penggunaan obat kumur yang sering, maka bakteri komensal berkurang dan candida dapat melekat dan tumbuh dengan baik.

Xerostomia
Xerostomia merupakan keluhan adanya rasa kering pada rongga mulut akibat adanya penurunan produksi dari kelenjar saliva / hiposalivasi. Kelainan pada kelenjar saliva dapat menyebabkan xerostomia. Etiologi dari xerostomia bermacam – macam, dapat disebabkan oleh kelainan pada kelenjar saliva yang merupakan akibat dari penyakit kelenjar saliva primer maupun manifestasi dari penyakit sistemik atau terapi obat – obatan. Xerostomia terjadi ketika jumlah saliva yang menggenangi selaput lendir berkurang (Lewis, 1998).
Pasien dengan xerostomia biasanya mengalami tanda –tanda sebagai berikut, yaitu bibir pecah – pecah, mengelupas, dan atropik ; lidah halus dan memerah ; mukosa oral merah, tipis, dan rapuh ; peningkatan erosi dan karies gigi, khususnya pada gingival margin (Guggenheimer, 2003). Penderita dengan xerostomia akan mengeluhkan gangguan rasa (dysgeusia), lidah yang sakit (glossodynia), kebutuhan minum air yang meningkat, sakit tenggorokan, sensasi terbakar (burning mouth syndrome), kesulitan berbicara dan menelan, suara serak, dan menurunkan PH saliva yang secara signifikan dapat meningkatkan plak dan karies (university of Montana, 2010).
Pada xerostomia terjadi hiposalivasi atau penurunan produksi saliva. Padahal saliva memiliki fungsi penting dalam rongga mulut. Pada saliva terdapat komponen dengan fungsi antimikrobial dan buffer yang dapat membantu mencegah karies. Saliva berfungsi sebagai self cleansing karena mengandung enzim lyzozyme yang berperan dalam mengontrol pertumbuhan bakteri.  Saliva juga memiliki peranan penting dalam mempertahankan integritas kimia dan fisik dari enamel gigi dengan cara mengatur proses reminalisasi dan demineralisasi. Karena berkurangnya produksi saliva yang memiliki berbagai fungsi seperti yang telah disebutkan maka xerostomia dapat meningkatkan resiko karies gigi dan penyakit gingiva. Selain itu, pada xerostomia dapat terjadi penurunan PH saliva yang secara siginfikan dapat meningkatkan karies (Lewis, 1998).
Ca Channel Blocker
Calcium Channel Blockers (CCB) merupakan bahan kimia yang mengganggu pergerakan kalsium (Ca 2 +) melalui saluran kalsium (Schmitz, 2008). Obat CCB dirancang untuk neuron target digunakan sebagai antiepileptics . Namun, penggunaan klinis CCB yang paling luas adalah untuk menurunkan tekanan darah pada pasien yang menderita hipertensi (Schmitz, 2008).
Mekanisme utama CCB adalah menghambat masuknya ion  melalui voltage-dependent L dan calsium channel type-T. L type  banyak terdapat di otot jantung dan otot polos vaskuler. Hambatan terhadap otot jantung menyebabkan efek inotropik negatif, dan terhadap otot polos menyebabkan relaksasi. Dengan efek mengurangi kontraktilasi miokard dan otot polos, obat ini dapat digunakan sebagai obat antihipertensi dan antiangina, juga menyebabkan depresi miokard. CCB bekerja dengan cara menghambat influks kalsium pada otot polos pembuluh darah dan miokard. Jenis obat CCB seperti Hidralazin, Minoksidil, dan Nitroprusid (Schmitz, 2008). 
Hidralazin : bekerja pada arteri dan arteriole, menimbulkan penurunan tekanan darah dengan menginduksi vasodilatasi pada artiole otot polos. Efek ini disertai dengan refleks takikardi dan kenaikan curah jantung. Manfaat utama adalah untuk pengobatan hipertensi dan gagal jantung. Efek sampingnya yaitu retensi cairan, palpitasi, refleks takikardi.
Monoksidil : merupakan obat vasodilatator yang sangat poten. Merupakan pilihan akhir pada pengobatan hipertensi berat yang tidak responsif terhadap obat antihipertensi lainnya. Monoksidil sering digunakan bersamaan dengan diuretik karena menyebabkan retensi cairan, juga menyebabkan refleks takikardi sehingga dikombinasikan dengan golongan β – blocker. Efek sampingnya yaitu lesi otot jantung, hidralazin, hirsutisme.
Nitroprusid : di metabolisme menjadi nitric oxide, yang selanjutnya mengaktivasi guanylatecyclase dan terbentuk cyclic GMP. Pembentukan cGMP mengakibatkan relaksasi otot polos vaskuler dan vasodilatasi. Aktivasi nitroprusid di katalisis oleh berbagai nitric oxide sehingga potensi obat ini berbeda pada berbagai tempat vaskuler dan hal ini menyebabkan tidak terjadi toleransi pada penggunaan nitroprusid. Efek sampingnya yaitu hipotensi berat, hepatotoksisitas.

CCB bekerja dengan cara menghambat influks kalsium pada otot polos pembuluh darah dan miokard. Kalsium merupakan unsur organis saliva, bila influks kalsium pada otot pembuluh darah dihambat, secara tidak langsung akan mempengaruhi saliva dengan mengubah keseimbangan cairan dan elektrolit atau dengan mempengaruhi aliran darah ke kelenjar (Schmitz, 2008).

Ace Inhibitor
Gejala hipofungsi saliva pada lansia pada umunya disebabkan oleh berbagai macam sebab yaitu usia, penyakit sistemik, terapi medis, dan lain sebagainya. Terapi medis  yang biasanya menyebabkan gangguan salivasi contohnya adalah pengobatan menggunakan obat-obatan anthicholinergic atau terapi radiasi. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan gangguan kelenjar saliva adalah sjogren syndrome, diabetes, Alzheimer, dehidrasi, dan kemoterapi (Turner, 2007).
Terapi obat-obatan merupakan penyebab hipofungsi saliva  yang paling umum banyak terjadi baik obat yang diresepkan maupun yang tidak diresepkan. Screebny dan Schwartz (1997) melaporkan bahwa 80% dari obat yang paling sering diresepkan dokter menyebaban xerostomia, dengan lebih dari 400 obat-obatan yang terkait dengan disfungsi kelenjar saliva sebagai efek samping yang merugikan. Lansia merupakan populasi terbanyak yang mengonsumsi obat-obatan dan lebih rentan terhadap efek yang disebabkan obat-obatan yaitu salivary disorder (Bergdahl, 2000).
Obat dengan efek antikolinergik adalah yang paling cenderung untuk menghasilkan keluhan mulut kering dan hipofungsi saliva. Selain itu, obat dengan mekanisme kerja menghambat neurotransmitter dengan mengikat reseptor membran kelenjar ludah, atau mengganggu jalur transportasi ion sel asinar dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas output saliva. Kategori umum dari obat-obat tersebut adalah tricyclic antidepressants, sedatives and tranquilizers, antihistamine, antihypertensives (diuretics, calcium channel blockers, angiotensin-converting enzyme, α dan β blockers), cytotoxic agents,  anti-Parkinsonism dan antiseizure  drugs (Turner et al, 2007).
Penurunan sekresi saliva dan perubahan komposisi saliva dapat ditemukan pada penderita hipertensi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Elias et al (2006) pada penderita hipertensi akan meproduksi lebih sedikit jumlah saliva dibandingkan dan konsentrasi protein yang lebih rendah dibandingkan dengan orang normal. Penurunan fungsi kelenjar saliva disebabkan oleh penurunan densitas atau sensitivitas dari reseptor muskarinik pada kelenjar saliva. Di sisi lain terdapat peningkatan sesitivitas dari b-adrenoreceptor/ adenylate cylase receptor yang berpartisipasi dalam penurunan jumlah viskositas saliva dari stimulasi simpatik.

Penurunan Saliva pada Usia Lanjut
            Saliva memainkan peranan penting dalam menjaga kesehatan orofaringeal (Turner et al, 2007). Saliva merupakan suatu kunci elemen dalam homeostasis oral, yaitu fungsi dan pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut (Gupta et al, 2006). Keluhan mulut kering (xerostomia) umum pada populasi yang lebih tua, yang dapat mengakibatkan gangguan digesti makanan, pertahanan kesehatan mulut dan komunikasi. Dry mouth memiliki beberapa konsekuensi pada kesehatan mulut, sedangkan menurut Turner (2007), xerostomia  dan disfungsi saliva bisa mengakibatkan gangguan faring dan dapat merusak kualitas hidup seseorang. Fungsi saliva tetap sangat penting pada lansia, namun kebanyakan penyakit sistemik (seperti Sjögren syndrome), obat-obatan (seperti antikolinergik) dan radioterapi leher kepala (misalnya kanker) dapat menyebabkan xerostomia, khususnya pada pasien usia lanjut.
            Usia lanjut (usila) menurut World Health Organization (WHO) dibagi menjadi usia pertengahan (45 – 59 tahun), usia lanjut (60 – 75 tahun), usia lanjut tua (75 – 90 tahun), dan usia lanjut sangat tua (diatas 90 tahun), sedangkan usia lanjut menurut Undang-Undang Republik Indonesia tentang kesejahteraan lanjut usia pada pasal 1 ayat 2, adalah seseorang yang telah mencapai usia enam puluh tahun keatas (Manurung, 2012).
Dampak perubahan usia terhadap saliva tampak pada seringnya terjadi keluhan mulut kering (xerostomia) pada usia lanjut. Keadaan ini disebabkan oleh adanya perubahan berupa atropi pada kelenjar saliva sesuai dengan pertambahan umur yang akan menurunkan produksi saliva dan sedikit mengubah komposisinya. (Sonis dkk, 1995; Nanci, 2003).
Seiring dengan meningkatnya usia, terjadi proses penuaan (aging). Terjadi perubahan dan kemunduran fungsi kelenjar saliva, dimana kelenjar parenkim hilang yang digantikan oleh jaringan lemak dan jaringan ikat, lining sel ductus intermediate mengalami atropi, Keadaan inilah yang kemudian akan mengakibatkan pengurangan jumlah aliran saliva (Sonis dkk, 1995; Nanci, 2003). Insiden xerostomia meningkat dari 6% pada usia 50 tahun dan 15% pada usia 65 tahun. Salah satu temuan memperkirakan terjadinya xerostomia pada usia 65 tahun menjadi sekitar 30%. Laju aliran saliva tanpa stimulasi (USFR/unstimulated salivary flow rate) <0,1 ml/min dan laju aliran saliva terstimulasi (SSFR/stimulated salivary flow rate) <1,0 ml/min adalah merupakan indikasi xerostomia (Manurung, 2012).
 Obat Kumur Listerine
Zat antiseptik pada obat kumur dapat menimbulkan kelainan mukosa mulut karena memang berfungsi untuk mematikan bakteri melalui efek sitotoksik yang tidak saja terjadi pada bakteri patogen, tetapi juga pada bakteri komensal rongga mulut (Sudiono, 1999). Salah satu zat antiseptik yang dapat dijumpai dalam obat kumur yaitu hidrogen peroksida (H2O2), di mana pemakaian obat kumur ini untuk jangka waktu yang lama dapat menimbulkan Candidiasis. Candidiasis adalah suatu keadaan di mana Candida albicans menginfeksi, menimbulkan gambaran klinis lesi putih yang dapat dikerok, kadang disertai deskuamasi (Harty, 1995).
Candidiasis oral sering terjadi pada orang dengan imunitas yang rendah, berupa bercak putih (membrane) pada mulut atau lidah. Bila membrane diangkat akan tampak dasar yang kemerahan dan erosive. Parleche berupa retakan kulit pada sudut mulut, terasa perih dan nyeri bila tersentuh makanan atau air. Faktor predisposisinya adalah defisiensi riboflavin, imun yang buruk, dan faktor host (Brown dan Burns, 2005).  Faktor host pada kasus contohnya karena penggunaan obat kumur yang sering, maka bakteri komensal berkurang dan candida dapat melekat dan tumbuh dengan baik.

Antikolesterol
Obat anti-hiperlipidemia atau obat anti-kolesterol diberikan dengan dasar adanya hubungan hiperlipidemia dengan arterosklerosis , penkretitis akut, , tendinitis , dan xantoma. Mekanisme kerja dari obat anti hiperlipidemia dalam pengobatan sangat beragam, tergantung kepada jenis obat anti-hiperlipidemia yang diberikan. Adapun macam-macam obat anti-hiperlipidemia adalah  (Departemen Farmakologi& Terapeutik FK UI, 2007) :
  1. Resin
Mekanisme : menghambat sirkulasi enterohepatik. tidak di absorpsi disaluran cerna, merupakan obat anti-hiperlipidemia yang paling aman baik bagi anak maupun bagi dewasa. Resin menurusnkan kolesterol dengan cara mengikat asam empedu dalam saluran cerna, derta menghambat sirkulasi enterohepatik. Efek samping : mual, muntah, dan konstipasi (Departemen Farmakologi& Terapeutik FK UI, 2007).
  1. Asam nikotinat
Mekanisme : utnuk dapat menurunkan kolesterol, asam nikotinat harus diberikan dalam dosis yang besar , mekanisme penurunan kolesterol terjadi karena asam nikotinat menghambat hidrolisis trigliserida oleh hormon sensitiv lipase, sehingga mengurangi trasport asam lemak ke hati dan mengurangi sintesis trigliserida di dalam hati. Efeksamping : rasa gatal, dan kemerahan pada kulit terutama kulit wajah (Departemen Farmakologi& Terapeutik FK UI, 2007).
  1. Probukol
Mekanisme : probukol menurunkan kadar kolesterol dengan cara menurunkan kadar LDL dalam serum. Juga dapat menghambat arterosklerosis karenan memiliki efek antioksi dan efek samping : umunya dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh, gangguan yang mungkin dapat ditemukan setelah konsumsi probukol adanya gangguan gastrointestinal ringan (Departemen Farmakologi& Terapeutik FK UI, 2007).
  1. Asam fibrat
Mekanisme : menurunkan kolesterol dengan cara berikatan dengan reseptor PPARs. Biasnaya diabsorbsi lewat usus secara cepat dan lengkapo terutama bila diberikan bersamaan dengan makanan. Efeksamping : umunya dapat ditoleransi baik oleh tubuh, efek samping yang paling sering ditemukan adalah kembung, mual, muntah,ruam pada kulit, anemia. Namun efek samping biasanya hilang seiring dengan berjalannya waktu (Departemen Farmakologi& Terapeutik FK UI, 2007).

Aspirin
Aspirin merupakan asam asetilsalisilat. Aspirin merupakan obat analgesic-anti inflamasi tertua dan masih digunakan secara luas. Efek samping yang ditimbulkan biasanya mual, muntah, gangguang lambung hingga ulser pada peptic  (Tripathi, 2003). Menurut BPOM (2008), efek samping yang mungkin ditimbulkan adalah iritasi saluran cerna dengan perdarahan ringan yang asimptomatis, memanjangnya bleeding time, bronkospasme, dan reaksi kulit pada pasien hipersensitif.

Glibenklamid
Glibenklamid atau Gliburid digunakan untuk mengobati diabetes tipe 2 (kondisi di mana sensitivitas insulin menurun/tidak normal dan karena itu tidak dapat mengendalikan jumlah gula dalam darah), terutama pada penderita diabetesnyang tidak dapat dikontrol dengan diet saja. Glibenklamid menurunkan gula darah dengan merangsang pankreas untuk mengeluarkan insulin dan membantu insulin digunakan tubuh secara efisien (peningkatan sensitivitas insulin) (Fischer et al., 2013).
Insulin adalah hormon yang diproduksi secara alami oleh tubuh , oleh pankreas. Insulin membantu mengontrol level gula darah . Jika tubuh tidak memproduksi insulin sesuai dengan kebutuhan , atau kerja insulin tidak efektif maka hasilnya akan terjadi kondisi diabetes melitus. Orang dengan diabetes memerlukan perawatan untuk mengontrol jumlah gula didalam darah, ini karena kontrol yang baik dari gula darah mengurangi resiko komplikasi. Pada beberapa orang, dengan merubah pola makan akan mempengaruhi gula darah orang tersebut, tapi untuk beberapa orang lainnya, obat seperti glibenclamide dikonsumsi bersamaan dengan diet yang diubah.Pankreas harus memproduksi insulin agar pengobatan ini dapat bekerja. Glibenklamid tidak digunakan untuk mengobati diabetes tipe 1 (kondisi dimana tubuh tidak memproduksi insulin dan karena itu tidak dapat mengendalikan jumlah gula dalam darah) (Azodo, 2009).
Glibenklamid dapat menyebabkan efek samping.  Efek Samping glibenklamid  (Azodo, 2009) :
1.     Ruam kulit
2.     Gatal atau kemerahan
3.     Kulit seperti terbakar
4.     Kulit atau mata menguning
5.     Feses berwarna mencolok
6.     Urin berwarna gelap
7.     Perdarahan atau memar tidak biasanya
8.     Demam
9.     Sakit tenggorokan


BAB III
PEMBAHASAN

III.1  Menentukan Diagnosis Diferensial
            a. Klasifikasi Abnormalitas
            Berdasarkan keluhan utama pasien  yaitu keluhan rasa terbakar pada lidahnyaa merupakan manifestasi abnormalitas atau gangguan kelenjar saliva dimana pada kasus ini sekresi saliva mengalami penurunan sehingga terjadi hiposalivasi dengan manifestasi xerostomia.
            b. Menentukan Ciri Sekunder
             Selai keluhan rasa terbakar pada lidahnya, pasien juga merasa tidak nyaman pada mulut dan indra pencecapannya sehingga mengganggu fungsi makan dan bicara. Pada pemerikasaan intra oral ludah nampak kental, lengket dan  lidah depapilasi, merah serta bagian posterior tertutup lapisan putih yang waktu dikerok meninggalkan area kemerahan juga terdapat marginal gingivitis. Mukosa bukal dan sulkus labialis nampak merah dan atrofik. Terdapat karies servikal pada sebagian besar  gigi-giginya.
            c. Membuat daftar etiologi yang mungkin
            Berdasarkan abnormalitas dan ciri-ciri sekunder di atas, maka dapat didapatkan kemungkinan etiologi sebagai berikut.
·      Infeksi bakteri
·      Infeksi virus
·      Obat-obatan
·      Infeksi jamur
·      Autoimun
·      Usia tua
·      Penyakit sistemik
            d. Eliminasi etiologi yang tidak mungkin
·      Infeksi bakteri
·      Infeksi virus
·      Obat-obatan
·      Infeksi jamur
·      Autoimun
·      Usia tua
·      Penyakit sistemik
            e. Susun berbagai etiologi berdasarkan probabilitas
            Berdasarkan riwayat medis pasien, diketahui bahwa pasien mengkonsumsi berbagai macam obat-obatan. Dari sekian banyak obat-obatan yang dikonsumsi pasien, ebberapa diantaranya memiliki efek samping yang signofokan terhadap penurunan produksi saliva seperi Calcium Channel Blocker dan ACE inhibitor. Maka obat-obatan merupakan probabilitas tertinggi etiologi kelainan pasien. Selanjutnya usia tua pasien seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, sedikit banyak berpengaruh terhadap kelenjar saliva, maka ini menjadi probabilitas kedua. Penyakit sistemik yang diderita pasien yaitu hipertensi dan DM mengakibatkan penurunan produksi saliva pada kelenjar, sehingga ini menjadi probabilitas ketiga. Dan autoimun merupakan probabilitas terakhir karena banyak hal yang perlu diperiksa lebih lanjut pada pasien apabila ingin memastikan jika ada kelainan autoimun yang menyebabkan xerostomia.
            f. Menentukan Diagnosis
            Setelah melewati langkah-langkah di atas, maka dapat disimpulkan berbagai kemungkinan diagnosis. Untuk memastikan diagnosis definitif, maka berbagai penyakit yang berhubungan dengan etiologi yang mungkin dibandingkan dalam tabel di bawah ini.

[TOLONG MASUKIN TABEL CEKLIS2 KITA YANG KEMARIN BIKIN DI PAPAN ITU, YANG NGEBANDINGIN PENYAKIT2]

            Berdasarkan tabel di atas maka dapat disimpulkan diagnosis definitifnya adalah drug induced hiposalivation.  Drug induced hiposalivation merupakan kondisi kekurangan saliva di dalam mulut yang sangat parah yang diinduksi oleh konsumsi obat-obatan tertentu. Pada pasien, obat yang berpengaruh adalah obat antihipertensi ACE inhibitor calcium channel blocker (CCB), dan obat sedatif.
            CCB bekerja dengan cara menghambat influks kalsium pada otot polos pembuluh darah dan miokard. Kalsium merupakan unsur organis saliva, bila influks kalsium pada otot pembuluh darah dihambat, secara tidak langsung akan mempengaruhi saliva dengan mengubah keseimbangan cairan dan elektrolit atau dengan mempengaruhi aliran darah ke kelenjar (Schmitz, 2008).  Sedangkan ada ACE inhibitor, obat dengan efek antikolinergik adalah yang paling cenderung untuk menghasilkan keluhan mulut kering dan hipofungsi saliva. Selain itu, obat dengan mekanisme kerja menghambat neurotransmitter dengan mengikat reseptor membran kelenjar ludah, atau mengganggu jalur transportasi ion sel asinar dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas output saliva. Kategori umum dari obat-obat tersebut adalah tricyclic antidepressants, sedatives and tranquilizers, antihistamine, antihypertensives (diuretics, calcium channel blockers, angiotensin-converting enzyme, α dan β blockers), cytotoxic agents,  anti-Parkinsonism dan antiseizure  drugs (Turner et al, 2007).
            Di dalam glandula salivarius terdapat banyak reseptor untuk substansi endogenus yang mengindikasikan bahwa glandula salivarius memiliki istem target untuk banyak obat. Gamma amino butyric acid (GABA) merupakan salah satu reseptor tersebut yang dapat berperan menurunkan sekresi cairan dan pelepasan amilase oleh organ sekretori (Kawaguchi dan Yamagishi, 1995).  GABA juga merupakan salah satu inhibitor mayor pada sistem saraf pusat. Obat-obat sedasi memiliki mekanisme aksi mengaktifkan reseptor GABA tersebut. Ketika reseptor GABA aktif, terjadi proses inhibisi sistem saraf pusat. Inhibisi tersebut kemudian berpengaruh pada glandula salivarius dengan menurunkan jumlah produksi sekresi saliva.
            Xerostomia  persisten menyebabkan berkurangnya rasa, ketidakmampuan untuk mengunyah dan menelan makanan, dan hilangnya elektrolit saliva dan immunoproteins yang berfungsi melindungi terhadap infeksi mikroba. Sebagai hasilnya, mukosa mulut menjadi meradang, kering, merah, dan mengkilap. Papilla filiformis lidah hilang, dan bibir pecah-pecah. Gejala umum yang terjadi yaitu  sensasi terbakar dan nyeri pada membran mukosa dan lidah. Tanpa adanya saliva, terjadi peningkatan insidensi karies (terutama  karies servikal dan karies akar), penyakit periodontal, infeksi candida, kekurangan gizi, anemia, dan menghasilkan keadaan halitosis (Bricker, 2002). Pasien dengan xerostomia biasanya mengalami tanda –tanda sebagai berikut, yaitu bibir pecah – pecah, mengelupas, dan atropik ; lidah halus dan memerah ; mukosa oral merah, tipis, dan rapuh ; peningkatan erosi dan karies gigi, khususnya pada gingival margin (Guggenheimer, 2003).
            Lapisan putih pada posterior lidah pasien yang sewaktu dikerok meninggalkan warna merah merupakan tanda terjadinya candidiasis. Ini berasal dari pemakaian obat kumur listerin yang terlalu sering sehingga mengurangi jumlah flora normal mulut dan meningkatkan pertumbuhan Candida. Zat antiseptik pada obat kumur dapat menimbulkan kelainan mukosa mulut karena memang berfungsi untuk mematikan bakteri melalui efek sitotoksik yang tidak saja terjadi pada bakteri patogen, tetapi juga pada bakteri komensal rongga mulut (Sudiono, 1999). Salah satu zat antiseptik yang dapat dijumpai dalam obat kumur yaitu hidrogen peroksida (H2O2), di mana pemakaian obat kumur ini untuk jangka waktu yang lama dapat menimbulkan Candidiasis. Candidiasis adalah suatu keadaan di mana Candida albicans menginfeksi, menimbulkan gambaran klinis lesi putih yang dapat dikerok, kadang disertai deskuamasi (Harty, 1995).

Aktan, Z. A.; Bilge, O.; Pinar, Y. A. & Ikiz, A. O. 2001. Duplication of the parotid duct: a previously unreported anomaly. Surg. Radiol. Anat., 23(5):353-4.
Al-Saif, KM. 1991. Clinical Management of Salivary Deficiency: A Review Article. The Saudi Dental Journal 3(2):77-80
Azodo, C.C. 2009. Current Trends In The Management Of Diabetes Mellitus: The Dentist’s Perspective. Journal of Postgraduate Medicine Vol. 11 No. 1
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2008. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Jakarta: Sagung Seto.
Bahadir, O.; Caylan, R.; Bektas, D. & Korkmaz, O. 2004. Sialolithiasis of an accessory parotid gland. Ann. Otol. Rhinol. Laryngol., 113(1):52-4.
Bailey, L. 1971. Short practice of surgery. 15th London, Lewis. p. 533.
Bergdahl, M. 2000. Salivary flow and oral complaints in adult dental patients. Community Dent Oral Epidemiol. 28(1): 59-66
Brainerd, Arey L. 1968. Human Histology A Textbook in Outline Form 3rd Edition. London : W.B.Saunders Company
Bricker, Steven L.,Langlais , Robert P., Miller, Craig S. 2002. Oral Diagnosis Oral Medicine and Treatment Planning. BC Decler Inc.Canada
Brown, R.G., Burns,T.. 2005. Infeksi Jamur. Dalam : Lecture Notes Dermatologi.
Edisi 8. Jakarta : Erlangga. 38-40
Brown, R.G., Burns,T.. 2005. Infeksi Jamur. Dalam: Lecture Notes DermatologiEdisi 8. Jakarta : Erlangga. 38-40
Burge. S. Darier's Disease, Dalam: Harper J, Oranje A, Prose N. 2000. Textbook of Pediatric Dermatology. Oxford : Blackwell Scince.
Cappacio P, Torretta S, Ottaviani F, Sambataro G, and Pignataro L. 2007. Modern Management of Obstructive Salivary Diseases. Acta Otorhinolaryngologica Italica. Vol. 27 (4):161-172
Carr, SJ. Sialolith of unusual size and configuration. Oral Surg, Oral Med, Oral Pathol 1965; 20: 709–712.
Cawson RA, Odell EW. 1998. Essentials of oral pathology and oral medicine 6th ed pp239–240 Edinburgh: Churchill Livingstone
Coleman GC and Nelson JF. 1993. Principles of Oral Diagnosis. Michigan: Mosby-Year Book
Departemen Farmakologi dan Terpeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
Elias GP, et al. 2006. Dental mineralization and salivary activity are reduced in offspring of spontaneously hypertensive rats (SHR). Journal Of Applied Oral Science. 14(4): 253-259.
Farmakologi Dan Terapi edisi 5, cetak ulang 2009. Balai Penerbit FKUI. Jakarta
Fernandes, A. C. S.; Lima, G. R.; Rossi, A. M. & Aguiar, C. M. 2009. Parotid gland with double duct: An anatomic variation description. Int. J. Morphol., 27(1):129-132.
Fischbach F and Dunning MB. 2009. A Manual of Laboratory and Diagnostic Tests, Edition 8. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins
Fischer, et al. 2013. Risk Assessment and Oral Diagnostics in Clinical Dentistry. Iowa: Wiley-Blackwell
Gadodia A, Seith A, Sharma R, Thakar A. 2008. Congenital salivary fistula of accessory parotid gland: imaging findings. JLO. 11: 1-4
Galazka AM, Robertson SE, and Kraigher A. 1999. Mumps and Mumps Vaccine: A Global Review. Bulletin of The World Health Organization. Vol.77 (1)
Gaur, U.; Choudhry, R.; Anand, C. & Choudhry, 1994. S. Submandibular gland with multiple ducts. Surg. Radiol. Anat. 16(4):439-40.
Ghom AG. 2005. Textbook of Oral Medicine. New Delhi. Jaypee Brothers Medical Publisers
Gibson J and Beeley JA. 1994. Natural and Synthetic Saliva: A stimulating Subject. Biotechnology and Genetic Engineering Reviews. Vol.12
Gleeson, M. 1997. Scott-Brown`s Otolaryngology. 6th. London, Butterworth-Heinemann, Bath, V.1. p.3.
Greenberg., Glick., Ship. 2008. Burket’s oral medicine eleventh edition. BC decker : Ontario
Guggenheimer.2003. Xerostomia: Etiology, Recognition, and Treatment. J Am Dent Assoc. 134(1): 61-69.
Gupta et al. 2006. Hiposalivasi pada Pasien Lansia. J Bisa Dent Assoc. 72 (9) : 841-6.
Harty FJ, Ogston R. 1995. Kamus Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC
Harty FJ, Ogston R. 1995. Kamus Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC.
Haskell R dan Gayford J.J. 1991. Penyakit Mulut. Jakarta: EGC
Hurwitz. S.1993. Clinical Pediatric Dermatology, Textbook of Skin Disorders of Childhood and Adolescence. W.B Saunders company
Jebejian, R. & Hajenlian, G. 1993. A simple setting for continuous irrigation in Charleux surgery for dry eye. Rev. Int. Trach. Pathol. Ocul. Trop. Subtrop. Sante Publique, 70:217-23.
Julia AM et.al. 2006. Oski’s Pediatrics: Principles & Practice. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins

Kenny, T. 2011. Diverticula (including Diverticulosis, Diverticular Disease and Diverticulitis). EMIS. Vol 35: (I) 423-6.

Laskaris G. 2005. Treatment of Oral Disease.  New York. Georg Thieme Verlag
Leung AK, Choi MC, Wagner GA. Multiple sialoliths and a sialolith of unusual size in the submandibular duct. Oral Surg, Oral Med, Oral Path, Oral Radiol, Endo 1999; 87: 331–333.
Lewis MAO. 1998. Tinjauan Klinis Penyakit Mulut. Jakarta : Widya Medika.
Manurung, Amelia K.W. 2012. Pengaruh Xerostomia Terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut Terkait Kualitas Hidup pada Usia Lanjut. Universitas Diponegoro.
Moore, K. L. & Dalley, A. F. 2005. Clinically Oriented Anatomy. 5th Toronto, Lippincott Williams & Wilkins.
Moore, K. L. & Persaud, T. V. N. 2002. The Developing Human: Clinically Oriented Embryology. 7th Philadelphia, Saunders.
Mori, S.; Wada, T.; Harada, Y. & Toyoshima, 1986. S. Accessory duct in the submandibular gland. Oral Surg. Oral Med. Oral Pathol. 62(5):607-8.
Murphy GF. 1995. Dermatophatology. WB, Saunders company .
Nanci, A. 2003. Oral Histology:Development, Structure, and Function. Philadelphia: Mosby
Odom. RB, James WD, Gerber. GT. 2000. Adrew's Diseases of the Skin Clinical Dermatology, 9th ed. WB. Saunders company 
Ohanesian S. 2006. Developmental mandibular salivary gland defect: the importance of clinical evaluation. Dentistry Today. 3: 1-3
Pedersen GW. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut (terj). Jakarta : EGC
Peterson, L. J.; Ellis, E.; Hupp, J. R. & Tucker, M. R. 2002. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery. 4th St. Louis, USA, Mosby.
Rahmathulla, M. 1973. A rare case of accessory duct in sub-mandibular sialography. J. Indian. Dent. Assoc., 45(11):563-4.
Rajendran R. 2009. Shafer’s Textbook Of Oral Pathology 6th edition. Elsevier: India.
Rauch S, Gorlin RJ. 1970. Diseases of the salivary glands. In: Gorlin RJ, Goldman HM, editors. Thomas’s oral pathology. 6th ed. St. Louis: C.V.Mosby; p. 968.
Reddy SS, Rakesh N, Raghav N, Devaraju D, and Biijal SG. 2009. Sialograph: Report of 3 Cases. Indian Journal of Dental Research. Vol.20 (4):499-502
Roth, Gerald I and Camles, Robert, 1981. Oral Biology. Philadelphia : Mosby p.196-213
Samanta, P. P.; Rana, K. K.; Khan, R. Q. & Das, S. 2007. An unusually located human accessory parotid glanda. A case report. Braz. J. morphol. Sci. 24(1):53-4.
Schmitz, Gery. 2008, Farmakologi dan toksikologi, Penerjemah : Luki Setiadi, Penerbit buku kedokteran EGC : Jakarta.
School of Pharmacy and Allied Health Sciences, University of Montana. 2010. Helping patients with dry mouth. http://www.oralcancerfoundation.org/dental/xerostomia. htm
Screebny LM, Schwartz SS. 1997. A reference guide to drugs and dry mouth 2nd Ediotion. Gerodontology. 14(1): 33-47
Shishir Ram Shetty, Sunanda Bhowmick, Renita Castelino, and SubhasBabu. 2012. Drug induced xerostomia in elderly individuals: An institutional study. ContempClin Dent. 2012 Apr-Jun; 3(2): 173–175
Sonis, S.T., Fazio, R.C., Fang, L. 1995. Principles and Practice of Oral Medicine. Second Edition. Philadelphia: Saunders
Standring, S. 2005. Gray`s Anatomy. The anatomical basis of clinical practice. 3rd Edinburgh, Elsevier Churchill Livingstone.
Steiner M, Gould AR, Kushner GM, Weber R, Pesto. A Sialolithiasis of the submandibular gland in an 8-year-old child. Oral Surg, Oral Med, Oral Pathol, Oral Radiol, Endod 1997; 83: 188.
Sudiono J. 1999. Pengaruh pemakaian obat kumur senyawa fenol terhadap gambaran SEM epitel mukosa bukal mulut tikus. M 1 Kedokt Gigi FKG Usakti. 38, 70-5
Sudiono J. 1999. Pengaruh pemakaian obat kumur senyawa fenol terhadap gambaran SEM epitel mukosa bukal mulut tikus. M 1 Kedokt Gigi FKG Usakti. 38, 70-5
Thibault, F.; Halimi, P.; Bely, N.; Chevallier, J. M.; Bonfils, P.; Lellouch-Tubiana, A. & Frija, G. 1993. Internal architecture of the parotid gland at MR imaging facial nerve or ductal system. Radiology, 188(3):701-5.
Tripathi, KD. 2003. Essentials of Medical Pharmacology, 5th ed. New Delhi: Jaypee Brothers
Turner et al, 2007. Mulut Kering dan Dampaknya pada Kesehatan Oral. JADA. 139 (9) : 15-20
Turner MD, Ship JA. 2007. Dry mouth and its effect on the oral healt of elderly people. JADA. 138(1): 15-20
Whelto H. 1996. Introduction : the anatomy and phisiology of the salivary gland. Thanet Press. Margate
Williams, MF. 1999. Sialolithisis Otolaryngologic Clinics of North America. Edinburgh: Churchill Livingstone 32: 819–834.
Williams, P. L.; Bannister, L. H.; Berry, M. M.; Collins, P.; Dyson, M.; Dussek, J. E. & Ferguson, M. V. J. 1995. Gray`s Anatomy. 38th ed. New York, Churchill Livingstone.
Zenk J, Benzel W, Iro H. New modalities in the management of human sialolithiasis. Minimally invasive therapy 1994; 3: 275–284.
Zenk, J.; Hosemann, W. G.; & Iro, H. 1998. Diameters of the main excretory ducts of the adult human submandibular and parotid gland. Oral Surg. Oral Med. Oral Pathol. Oral Radiol. Endodotol., 85(5):576-80.















Comments

Popular posts from this blog

KUMPULAN SOAL OSCE, PRETEST, DAN UKMP PART 2

KUMPULAN SOAL CBT, OSCE, UKMP, PRETEST PART 12