GINGIVEKTOMI : DEFINISI, TUJUAN, ALAT DAN BAHAN, PROSEDUR GINGIVEKTOMI, PERAWATAN PASCA OPERASI, PEMULIHAN
Gingiva
sehat secara umum dapat digambarkan berdasarkan warna yaitu merah muda (pink
coral), beradaptasi baik dengan gigi, memiliki permukaan yang ber-stippling (seperti tekstur kulit jeruk),
serta berikatan kuat dengan prosesus alveolaris dan struktur akar gigi. Sulkus
gigiva pada gingiva sehat bervariasi dengan kedalaman antara 1 mm sampai 3 mm
dan tidak ada tanda perdarahan saat probing
(Rose dkk., 2000).
Gingival enlargement, (disebut juga gingival overgrowth, hypertrophic gingivitis, gingival hyperplasia atau gingival hypertrophy) adalah keadaan terjadinya pembesaran jaringan gingiva.
Gingival enlargement merupakan salah satu kasus penyakit gingiva yang cukup banyak dijumpai
(Newman, dkk., 2002).
Kasus gingival enlargement sering dikaitkan
dengan keadaan jaringan gingival
hyperplasia ataupun gingival
hypertrophy. Kedua keadaan tersebut secara klinis tidak dapat dibedakan
karena keadaan gingival hyperplasia
dan gingival hyperthophy hanya dapat
dilihat melalui pengamatan mikroskopis. Gingival
hyperplasia terjadi karena pertumbuhan berlebih secara kuantitas pada sel
pembentuk jaringan gingiva. Gingival
hypertrophy terjadi karena pertumbuhan berlebih dari segi ukuran sel
pembentuk jaringan gingiva. Kedua keadaan tersebut sama-sama membentuk keadaan gingival enlargement (Newman, dkk.,
2002).
Pembesaran
gingiva dapat dikoreksi dengan gingivektomi, yaitu eksisi jaringan gingiva yang
berlebih untuk memperoleh margin gingiva yang baru. Gingivektomi dilakukan
apabila gingivitis tidak berhasil dirawat dengan perawatan dan prosedur oral hygiene (Harty dan Ogston, 1995).
Pembesaran gingiva dapat menimbulkan problem estetik karena menyebabkan kontur
gingiva yang tidak bagus, bentuk papila hilang, dan terbukanya permukaan akar
(Reddy, 2003), sehingga perawatan periodontal menjadi salah satu solusi untuk problem
estetik yang banyak dikeluhkan oleh masyarakat.
Bedah periodontal termasuk dalam tahap
koreksi pada terapi periodontal. Bedah periodontal merupakan istilah umum untuk
setiap tindakan bedah periodontal termasuk gigi, gingiva, tulang alveolar
maupun perlekatannya. Bedah periodontal ini bertujuan untuk memperbaiki segala
kelainan maupun kerusakan jaringan sebagai akibat dari penyakit periodontal dan
untuk mengembalikan bentuk serta fungsi dari jaringan periodontal sehingga
normal kembali (Reddy, 2003).
Menurut Suryono (2013), gingivektomi merupakan bedah periodontal yang
dilakukan dengan eksisi jaringan gingival yang membesar untuk meciptakan bentuk
anatomis yang baru. Prosedur ini bertujuan untuk menghilangkan poket gingival
pada penyakit periodontal atau pada pembesaran gingival karena obat-obatan agar
tercipta suatu gingival normal baik funsi, kesehatan, dan estetika. Newman dkk.
(2006) menambahkan tujuan bedah dalam perawatan periodontal, yaitu untuk
mencegah akumulasi plak gigi dan mencegah terbentuknya poket kembali.
TUJUAN GINGIVEKTOMI
1.
Mengkoreksi kelainan pada
gingiva sehingga dapat menghilangkan gangguan estetik.
2. Memperbaiki estetis pasien
sehingga dapat memungkinkan untuk mendapat jaringan gingiva yang lebih sehat.
3.
Menambah efisiensi pembersihan
gigi sehingga mengurangi akumulasi plak dan kalkulus.
4. Membuang dinding poket,
menghilangkan kalkulus dengan sempurna sebagai faktor penyebab gingivitis sehingga
akan tercipta kondisi yang memungkinkan proses penyembuhan gingiva dan
kembalinya kontur gingiva sesuai bentuk anatomis dan fisiologis.
1.
Alat
diagnostic
2.
Kuret
anterior
3.
Scalpel holder
4.
Blade
kecil
5.
Probe periodontal
6.
Scaler dan tip USS
7.
Cytoject
8.
Saliva ejector
9.
Pocket marker
10.
Plat
Kaca
11.
Spatula
12.
Orban
13.
Kirkland
14. Larutan anestesi
15. kapas
16. Kassa Steril
17. Iod
18. Aquades (larutan irigasi)
19. Gliserin
20. Coe-Pack
|
PROSEDUR GINGIVEKTOMI
Prosedur gingivektomi
adalah sebagai berikut (Fedi dkk., 2004; Manson dan Eley, 1993):
1.
Melakukan
anestesi lokal yang memadai dengan teknik blok atau infiltrasi.
2.
Menandai poket. Untuk dapat menghilangkan seluruh dinding poket, batas
apikal dari poket harus diidentifikasi terlebih dahulu dan diberi
tanda dengan menggunakan pocket marker atau sonde periodontal. Beberapa tanda yang dibuat pada
gingiva fasial dan lingual dapat digunakan sebagai acuan dalam membuat insisi
gingivektomi.
3.
Insisi gingivektomi. Insisi
dibuat dengan bantuan beberapa buah pisau seperti misalnya; Swann-Morton No. 12
atau 15 pada pegangan skapel konvensional; pisau Blake menggunakan blade disposable; pisau
gingivektomi khusus seperti Kirkland, Orban atau pisau Goldman-Fox yang harus diasah ketika akan
digunakan. Pemilihan jenis pisau yang akan digunakan adalah tergantung pada
operator masing-masing, namun bila memungkinkan selalu gunakan blade disposabel. Insisi harus dibuat di
sebelah apikal dari tanda yang sudah dibuat yaitu di apikal dasar poket dan
bersudut 45o sehingga blade
dapat menembus seluruh gingiva menuju ke dasar poket. Insisi yang kontinyu
dibuat mengikuti dasar poket. Insisi yang akurat akan dapat menghilangkan
dinding poket dan membentuk kontur jaringan yang ramping; bila insisi terlalu
datar akan terbentuk kontur pascaoperasi yang kurang memuaskan. Kesalahan yang
paling sering dibuat pada operasi ini adalah insisi pada posisi koronal sehingga
dasar poket tetap tertinggal dan penyakit cenderung timbul kembli. Setelah
pembuatan insisi bevel, dapat dibuat insisi horizontal di antarasetiap daerah
interdental dengan menggunakan blade
no. 12 yang mempunyai pegangan skapel konvensional, untuk memisahkan sisa
jaringan interdental.
4.
Pemotongan jaringan. Bila
insisi sudah dapat memisahkan seluruh dinding poket dari jaringan di bawahnya,
dinding poket akan dapat dengan mudah dihilangkan dengan kuret atau skaler yang
besar misalnya skaler Cumine. Sisa jaringan fibrosa dan jaringan granulasi
dapat dibersihkan seluruhnya dengan kuret yang tajam untuk membuka permukaan
akar. Di sini dibutuhkan penyedotan yang efisien namun bila jaringan granulasi
sudah dibersihkan seluruhnya perdarahan umumnya akan sangat berkurang.
5.
Skaling dan root planing. Permukaan akar harus
diperiksa untuk melihat adanya sisa deposit kalkulus dan bila perlu
permukaan akar harus diskaling dan dilakukakn root planing. Bila perlu, gingiva dapat dirampingkan dan dibentuk
ulang kembali dengan menggunakan skalpel, gunting kecil atau diatermi. Kasa
steril dapat ditempatkan di atas luka untuk mengontrol perdarahan sehingga
dapat dipasang dressing periodontal
pada daerah luka yang relatif cukup kering.
6.
Dressing periodontal. Dressing yang digunakan untuk menutupi luka
mempunyai berbagai fungsi sebagai berikut: untuk melindungi luka dari iritasi, untuk
menjaga agar daerah luka tetap dalam keadaan bersih, untuk mengontrol
perdarahan, untuk mengontrol produksi jaringan granulasi yang berlebihan. Karena
itu, dressing dapat mempercepat pemulihan dan memberikan kenyamanan pasca
operasi. Dressing
harus dipasang dengan hati-hati sehingga dapat menutupi daerah luka dan mengisi
seluruh ruang interdental. Dressing harus dimuscle
trimming dengan cara menggerakkan bibir, pipi, dan lidah dan semua
kelebihan dressing pada permukaan oklusal harus dibersihkan.
PERAWATAN PASCA OPERASI
Pasien perlu diberi informasi
yang lengkap tentang cara-cara perawatan pasca operasi, antara lain (Eley dan
Manson, 2004):
1.
Hindari makan atau minum selama 1 jam
2.
Jangan minum minuman panas atau alkohol selama 24 jam dan jangan
berkumur-kumur satu hari setelah operasi.
3.
Jangan makan makanan yang keras, kasar atau lengket dan kunyahlah makanan
dengan sisi yang tidak dioperasi
4.
Minumlah analgesik bila merasa sakit setelah efek nestesi hilang. Aspirin
merupakan kontraindikasi selama 24 jam.
5.
Gunakan larutan kumur salin hangat setelah satu hari. Gunakan larutan
kumur klorheksidin di pagi hari dan malam hari bila anda tidak dapat melakukan
kontrol plak secara mekanis. Larutan ini dapat langsung digunakan pada hari
pertama setelah operasi asalkan tidak dikumurkan terlalu kuat di dalam mulut.
Teh, kopi, dan rokok harus dihindari bila menggunakan larutan kumur
klorheksidin untuk mengurangi stain
6.
Bila terjadi perdarahan, tekanlah dressing selama 15 menit dengan
menggunakan sapu tangan bersih yang sudah dipanaskan; jangan berkumur, hubungi
dokter bila perdarahan tidak juga berhenti
7.
Sikat gigi pada bagian mulut yang tidak dioperasi saja.
8.
Bila tahap pascaoperasi tidak menimbulkan gangguan namun sakit dan bengkak
timbul 2-3 hari kemudian, segeralah hubungi dokter.
Antibiotik pascaoperasi
sebaiknya hanya digunakan untuk kasus tertentu saja misalnya untuk penderita
diabetes dan penderita cacat. Dressing biasanya dibuka setelah satu minggu.
Setelah semua kotoran sudah dibersihkan dan luka diirigasi dengan air hangat.
Bila luka masih belum terepitelisasi dengan baik dan masih rentan, pasanglah
dressing yang baru selama 1 minggu kemudian.
Setelah dressing dibuka, dapat
diberikan instruksi perawatan selanjutnya. Larutan kumur klorheksidin dapat
tetap digunakan setiap pagi dan malam hari selama 1 minggu, pemakaian yang
berkepanjangan dapat menimbulkan stain yang sulit dibersihkan. Pasien harus
diberi dorongan untuk segera menyikat giginya dengan sikat lembut dan air
hangat. Pada tahap ini digunakan teknik roll atau Charter. Teknik Bass dan
pembersih interdental sebaiknya baru digunakan setelah 1 minggu kemudian. Pasien
dapat diinstruksikan untuk menghindari makanan dingin dan keras.
Setelah 2 minggu, luka dapat
diperiksa dan gigi dibersihkan. Kebersihan mulut penderita harus diperiksa
ulang sampai semuanya memuaskan dan pemulihan sempurna, baru kemudian
dijadwalkan pengontrolan ulang dengan interval 3-6 bulan.
PEMULIHAN PASCA GINGIVEKTOMI
Luka jaringan ikat tertutup beku darah.
Daerah di baliknya akan mengalami fase inflamasi akut yang singkat, diikuti
dengan demolisi dan organisasi. Sel-sel epitel bermigrasi dari tepi luka ke
balik beku darah. Sel akan menutupi luka dalam waktu 7-14 hari dan
terkertinisasi setelah 2-3 minggu. Pembentukan perlekatan epitel yang baru
berlangsung selama 4 minggu. Kebersihan mulut yang baik sangat diperlukan
selama periode pemulihan ini (Manson dan Eley, 1993).
DAFTAR PUSTAKA
Bartold, P. M., Walsh, L.
J., dan Narayanan, A. S., 2000, Molecular and Cell Biology of Gingiva, Periodontology 2000, vol. 24 : 28-55.
Burket, L.W., 2008. Burket’s
Oral Medicine. PMPH: USA. p. 135.
Eley, B. M., and Manson, J. D., 2004, Periodontics, Philadelphia: Elsevier Saunders, pp. 264-265.
Greenberg,
M.I., 2005. Greenberg’s Text-atlas of
Emergency Medicine. Lippincott Williams & Wilkins: Philadelphia. p.
177.
Harpenau, 2013, Hall’s Critical Decisions in Peridontology, People’s Medical
Publishing House, USA, pp. 57-59.
Heasman, P., 2008. Master Dentistry: Volume 2: Restorative Dentistry, Paediatric Dentistry
and Orthodontics. Elsevier Health Sciences: Philadelphia. p. 30.
Hess, C.T., 2005. Clinical Guide: Wound Care. 5th
ed. Lippincott Williams & Wilkins: USA. pp. 8-10.
Karimbux, N., 2011. Clinical Cases in Periodontics: volume
42. John Wiley & Sons: USA. p. 31.
Kelly, D., 2009. Diseases
of the Liver and Biliary System in Children. John Wiley & Sons: USA. p.
426.
Komsta, L., Waksmundzka-Hajnos, M., and
Sherma, J., 2013. Thin Layer
Chromatography in Drug Analysis. CRC Press: USA. pp. 333-334.
Manson, J. D., and Eley,
B. M., 1993, Buku Ajar Periodonti
(Alih bahasa Anastasia), Jakarta: Hipokrates, pp. 178-182.
Newman, M. G., Takei, H. H.,
dan Carranza, F. A., 2002, Carranza’s
Clinical Periodontology, Ninth Edition, W.B. Saunders Company: Philadelphia,
pp. 63-94.
Reddy, S., 2008, Essentials
of Clinical Periodontology and Periodontics, 2nd Edition, Jaypee, New Delhi, pp. 151-152.
Reichart, P.A. and Philipsen, H.P., 2000. Oral Pathology: Color Atlas of Dental
Medicine. Thieme: New York. p. 161.
Rose, L. F., Genco, R. J.,
Cohen, D. W., dan Mealey, B. L., 2000, Periodontal
Medicine, BC Decker Inc: London, p. 4.
Saraf, S., 2006, Textbook of Oral Pathology, Jaypee, New Delhi, p. 335.
Newman,
M.G., Carranza, F.A, Bulkacz, J., Quiryen, M., Teughels, W., Haake, S.K., 2006,
Microbiology of Periodontal Disease in
Carranza’s Clinical Periodontology,
Saunders Elsevier, Phildelphia.
Reddy,
M.S., 2003, Achieving Gingival Esthetics, J
Am Dent Assoc,134 (3) : 295 – 304. http://jada.ada.org/cgi/content/full/134/3/295
Suryono, 2013, Bedah
Dasar Periodonsia, Deepublish, Yogyakarta.
Comments
Post a Comment