HIPERTENSI : Definisi, etiologi, klasifikasi, manajemen dental pasien hipertensi
1. Definisi
Hipertensi adalah keadaan di mana tekanan darah arteri meningkat secara persisten (ISFI, 2008). Tekanan darah dalam kehidupan seseorang bervariasi secara alami. Bayi dan anak-anak secara normal memiliki tekanan yang jauh lebih rendah daripada dewasa. Tekanan darah juga dapat dipengaruhi oleh aktivitas fisik di mana akan lebih tinggi pada saat melakukan aktivitas dan lebih rendah ketika beristirahat. Tekanan darah dalam satu hari juga berbeda paling tinggi di waktu pagi hari dan paling rendah pada saat tidur di malam hari (Sigalarki, 2006). Tekanan darah meningkat secara normal seiring dengan pertambahan umur, namun ketika tekanan darah terus meningkat di atas normal maka hal ini yang dapat disebut hipertensi (Bricker dkk., 1994). Hipertensi dikenal secara luas sebagai penyakit kardiovaskular dan merupakan salah satu faktor resiko utama gangguan jantung (Depkes RI, 2006).
Hipertensi seringkali tidak menimbulkan gejala, sementara tekanan darah yang terus menerus tinggi dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan komplikasi. Oleh karena itulah, hipertensi perlu dideteksi secara dini yaitu dengan pemeriksaan tekanan darah secara berkala (Sigalarki, 2006).
2. Etiologi
Faktor pemicu hipertensi dapat dibedakan atas yang tidak dapat terkontrol (keturunan, jenis kelamin, dan umur) dan yang dapat dikontrol (kegemukan, kurang olahraga, merokok, konsumsi alkohol dan garam). Hipertensi dipengaruhi oleh faktor resiko ganda baik yang bersifat endogen seperti neurotransmitter, hormon, dan genetik, maupun yang bersifat eksogen seperti rokok, nutrisi, dan stressor (Sigalarki, 2006).
Hipertensi diklasifikasikan menjadi 2 berdasarkan penyebabnya, yaitu hipertensi primer (idiopatik/esensial) dan hipertensi sekunder (Bricker dkk., 1994). Pada kebanyakan pasien etiologi patofisologinya tidak diketahui (esensial/primer). Hipertensi primer tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol (Depkes RI, 2006). Penyebab hipertensi primer tidak diketahui, tidak tergantung umur, ras, dan keluarga. Hipertensi primer sering terjadi pada usia lanjut (Bricker, dkk., 1994). Hipertensi sering turun-temurun dalam suatu keluarga, hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik berperan penting dalam patogenesis hipertensi primer. Bila ditemukan gambaran bentuk disregulasi tekanan darah yang monogenik dan poligenik mempunyai kecenderungan timbulnya hipertensi esensial. Banyak karakteristik dari genetik ini yang mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga didokumentasikan adanya mutasi-mutasi genetik yang merubah ekskresi kalikrein urin, pelepasan nitric acid, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan angiotensinogen (Depkes RI, 2006).
Beberapa faktor yang dapat menimbulkan hipertensi primer adalah :
a. Ketidaknormalan humoral meliputi system rennin-angiotensin-aldosteron, natriuretik atau hiperinsulinemia.
b. Masalah patologi pada system saraf pusat, serabut saraf otonom, volume plasma, dan kontraksi arteriol.
c. Definisi senyawa sintesis local vasodilator pada endotelium vaskuler misalnya protasiklin, bradikinin, dan nitrit oksida atau terjadinya peningkatan produksi senyawa vasokonstriktor seperti angiotensin II dan endotelin I. asupan natrium yang tinggi dan peningkatan sirkulasi hormone natriuretik yang menginhibisi transport natrium intraseluler, menghasilkan reaktivitas vascular dan tekanan darah.
d. Peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler memicu perubahan vaskuler, fungsi otot halus dan peningkatan retensi vaskuler perifer.
Hipertensi sekunder merupakan kejadian hipertensi dengan penyebab khusus, baik endogen maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara potensial (Depkes RI, 2006). Karakteristik hipertensi sekunder adalah adanya peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik secara bersamaan. Peningkatan terisolasi tekanan darah sistolik sering disebabkan oleh kelainan ejeksi jantung seperti aortic regurgitation dan patent ductus arteriosus atau disebabkan oleh thyrotosicosis (Bricker dkk., 1994). Hipertensi sekunder berpengaruh secara langsung sebagai penyebab atau komplikasi sekunder. Hipertensi ini berpotensi untuk disembuhkan dengan jalan bedah. Kasus mayoritas penyebab hipertensi sekunder adalah penyakit ginjal seperti renal artery stenosis, renal failure, atau pyelonephritis. Selain itu, penyakit endokrin seperti hiperaldosteronisme dan pheochromocytoma dan medikasi pil yang mengandung estrogen symphatomimetic diet aids dan dekongestan dapat menjadi penyebab terjadinya hipertensi sekunder (Bricker dkk., 1994). Beberapa obat-obatan tertentu dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah :
a. Penyakit ginjal kronis : kortikosteroid, ACTH (adreno corticothropic hormone)
b. Hiperaldosteronisme primer : estrogen (biasanya pil KB dengan kadar estrogen tinggi)
c. Penyakit renovaskuler : NSAID, COX 2 inhibitor
d. Sindroma Cushing : fenilpropanolamine dan analog
e. Pheochromocytoma : cyclosporine dan tacrolimus
f. Penyakit tiroid atau paratiroid : sibutramin
g. Antideperesan terutama venlafaxine
(Depkes RI, 2006)
Apabila penyebab hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati/mengkoreksi kondisi komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder.
3. Klasifikasi Hipertensi
Di Indonesia, klasifikasi yang digunakan adalah menurut JNC VII :
Kategori Tekanan sistolik (mmHg) Dan/ atau Tekanan diastolik (mmHg)
Normal < 120 Dan < 80
Pre-hipertensi 120-239 Atau 80-89
Hipertensi tahap I 140-159 Atau 90-99
Hipertensi tahap II ≥ 160 Atau ≥ 100
Selain itu, ada klasifikasi yang disebut hipertensi sistolik terisolasi. Hipertensi jenis ini biasanya terjadi pada individu berusia lanjut di mana tekanan sistolik mencapai angka 140 mmHg atau lebih, sementara tekanan diastolik biasanya kurang dari 90 mmHg atau termasuk normal.
4. Manajemen Dental Pasien Hipertensi
Manajemen dental pasien dengan hipertensi tergolong rumit karena ada banyak prosedur dental yang dapat meningkatkan tekanan darah dan memicu cardiac arrest atau kecelakaan cerebrovascular. Komplikasi kronis hipertensi yaitu kegagalan fungsi ginjal juga dapat berdampak pada manajemen dental (Muzyka dan Glick, 1997).
Modifikasi perawatan untuk pasien dengan hipertensi :
a. Pemakaian anestesi lokal
Pastikan anestesi lokal yang digunakan tidak akan memicu peningkatan tekanan darah maupun kecemasan pasien. Epinefrin dapat memicu peningkatan tekanan darah oleh karena itu menjadi kontraindikasi bagi pasien hipertensi yang tidak terkontrol. Selain itu, juga harus dihindari suntikan intravena, intraarteri, intraligamen, dan intraoseus yang memicu kecemasan dan mungkin aritmia (Muzyka dan Glick, 1997).
b. Kontrol kecemasan (reduksi stres)
Kecemasan dan ketakutan pasien terhadap tindakan dental yang akan dilakukan dapat meningkatkan tekanan darah pasien. Oleh karena itu, edukasi dan sedasi oral dapat digunakan untuk memberikan efek yang nyaman bagi pasien. Penggunaan nitrous oxide (N2O) dapat menurunkan tekanan darah hingga 10-15 mmHg, setelah 10 menit penggunaan sebelum operasi (Muzyka dan Glick, 1997).
c. Perjanjian waktu tindakan
Peningkatan tekanan darah pasien biasa terjadi pada siang hari. Oleh karena itu, perjanjian tindakan dental pada pagi hari setelah konsumsi obat antihipertensi sangat dianjurkan (Muzyka dan Glick, 1997). Selain itu, diusahakan agar tindakan dental yang dilakukan selesai dalam waktu singkat sehingga memberikan kenyamanan bagi pasien dan dapat mereduksi kecemasan pasien.
C. Konsep Perawatan Dental yang Sesuai pada Pasien dengan Penyakit Sistemik
Perubahan-perubahan kondisi lokal dan sistemik pada pasien dengan penyakit sistemik membuat para praktisi kesehatan membutuhkan suatu modifikasi perawatan dalam menangani pasien tersebut. Beberapa klasifikasi yang biasa digunakan sebagai acuan dalam manajemen pasien dengan penyakit sistemik adalah ASA (The American Society of Anesthesiologist) dan ORA (Oral Risk Assesment).
Klasifikasi ASA adalah sistem subyektif yang mengklasifikasikan pasien berdasarkan tingkat keparahan penyakit tersebut mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Setiap pasien dapat menunjukkan kategori yang berbeda pada setiap kunjungannya tergantung kontrol dan stabilitas penyakitnya. Klasifikasi ASA :
1. ASA I
Pasien sehat normal, tidak memerlukan perubahan tindakan perawatan dental.
2. ASA II
Pasien dengan penyakit sistemik ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari atau seseorang yang memiliki faktor resiko kesehatan seperti merokok, penyalahgunaan alcohol, dan kegemukan. Contohnya adalah pasien dengan kasus hipertensi stage 1 atau 2, diabetes tipe 2, mur-mur jantung, RHD asimptomatik, alergi, asma terkontrol, hepatitis B surface antigen positif, HIV, chronic Pulmonary Obstructive Disease (COPD) ringan, stable angina pectoris.
3. ASA III
Pasien dengan kondisi sistemik sedang hingga parah yang dapat mengganggu aktivitas sehari-hari, memerlukan pertimbangan pemakaian obat, perawtan khusus, perlu modifikasi perawatan dental. Contohnya adalah pasien dengan diabetes tipe 2, hipertensi stadium 2, unstable angina pectoris, recent myocardial infarction, congestive heart failure yang tidak terkontrol, AIDS, COPD, dan hemophilia.
4. ASA IV
Pasien dengan penyakit sistemik parah yang terus-menerus mengancam kehidupan sehingga memerlukan modifikasi perawatan dental yang memerlukan kerjasama antara dokter dengan dokter spesialis. Contohnya adalah pasien dengan gagal ginjal, gagal hati, dan AIDS tingkat lanjut (Little dkk., 2002).
Bricker dkk (1994) menyatakan bahwa pengambilan keputusan dalam manajemen pasien dengan penyakit sistemik merupakan suatu keputusan yang sulit karena bergantung pada 4 variabel, yaitu : 1) keinginan pasien, 2) rencana perawatan, 3) emosi dan kondisi fisik pasien, dan 4) saran dari ahli, misalnya dokter spesialis. Rencana perawatan disusun menurut tingkat stres pasien dan resiko yang mungkin terjadi. Pendekatan untuk menentukan tingkat resiko adalah Oral Risk Assesment (ORA) :
1. ORA tipe I
Perawatan meliputi diagnosis dan prosedur dental pencegahan yang tidak menimbulkan reaksi lanjut. Pengamatan klinis dan radiograf, kesan pertama, dan prosedur pengumpulan data.
2. ORA tipe II
Perawatan meliputi prosedur dental rutin yang memiliki resiko kecil untuk menimbulkan reaksi lanjut, termasuk tindakan dental sederhana dengan administrasi anestesi local, terapi saluran akar standar tanpa administrasi anestesi local, perawtan orto sederhana, prosedur untuk meminimalkan perdarahan (skaling dan polishing, penggantian tumpatan), dan perawatan darurat.
3. ORA tipe III
Perawatan termasuk prosedur dental yang mempunyai resiko sedang untuk menimbulkan reaksi lanjut. Prosedur yang termasuk ORA tipe 3 antara lain : prosedur invasive dan hemoragi sedang (pencabutan gigi yang sederhana) dan perawatan yang membutuhkan beberapa waktu (1-2 jam) yang melibatkan fase 2 tindakan dental rekonstruktif kompleks, ortodonsia, periodonsia, atau endodontic. Juga termasuk prosedur yang memerlukan administrasi obat-obatan intravena (agen ankiolitik, antibiotic, atau beberapa karpul anestesi local untuk kontrol rasa sakit).
4. ORA tipe IV
Prosedur meliputi prosedur perdarahan (ekstraksi multiple, bedah flap mukoperiosteal, dan bedah endodontic). Prosedur berlangsung lebih dari 2 jam, infeksi orofacial dengan pembengkakan wajah, rasa sakit yang sulit dikontrol dan memerlukan sedasi sadar atau terapi ankilotik intravena, dan perawatan darurat yang menimbulkan tekanan fisik dan emosional pasien (contohnya adanya infeksi, perdarahan, trauma kraniofasial).
5. ORA tipe V
Perawatan meliputi prosedur dental yang menimbulkan resiko reaksi lanjut yang tinggi seperti infeksi orofacial yang parah, prosedur sedasi yang dalam, prosedur bedah ekstensif, dan prosedur yang memerlukan anestesi umum.
D. Geriatri
Proses penuaan pada individu biasanya diiringi dengan perubahan-perubahan fisiologi. Terdapat beberapa sistem organ yang dipengaruhi oleh proses penuaan seperti sistem kardiovaskular, pulmonari, gastrointestinal, renal, hepatik, endokrin, sistem imun, sistem hematopoetik, sistem nervus, sistem muskuloskeletal, dan orodental. Selain itu, beberapa pertimbangan lain yang perlu diperhatikan adalah adanya berbagai penyakit seperti penyakit kognitif, depresi, terjatuh (fall), penyakit-penyakit infeksius, diabetes, dan hipertensi.
Diabetes tipe 2 mewakili 90-95% dari kasus diabetes yang terdiagnosis, dan sebagian besar penderitanya berusia 40 tahun ke atas. Sebanyak kira-kira 50% dari pasien DM berusia 65 tahun atau lebih. Penyakit ini dapat ditemukan secara seimbang pada pria maupun wanita. Lebih dari 45-50% individu berusia lanjut diperkirakan menderita tekanan darah tinggi. Hipertensi sistolik terisolasi pada individu berusia lanjut adalah merupakan bagian normal dari proses penuaan. Laporan terkini menyatakan bahwa bahkan hipertensi sistolik terisolasi yang ringan saja dapat menghasilkan komplikasi yang signifikan pada individu usia lanjut. Pada individu berusia lanjut dengan nilai hipertensi sistolik terisolasi 180 mmHg atau lebih, tujuan perawatan adalah untuk menurunkannya sampai di bawah 160 mmHg. Pada pasien dengan hipertensi sistolik terisolasi dengan kisaran antara 160-179 mmHg, perawatan awal bertujuan untuk menurunkan tekanan tersebut sebanyak 20 mmHg. Jika tekanan diastolik juga meningkat, maka tujuan perawatan adalah untuk menurunkannya sampai di bawah 90 mmHg.
Comments
Post a Comment